twitter



Udara panas yang datang bersama bulan Agustus menerobos jendela kamar kos dan menerpa wajahku. Hampir pukul dua belas siang, aku masih terpaku di depan layar laptop semenjak dua jam yang lalu. Aku tengah memberi sentuhan – sentuhan akhir bagi skripsiku agar menjadi skripsi yang sempurna, menurut kriteriaku sendiri.

Pintu kamar kubiarkan terbuka lebar, awalnya kumaksudkan agar ruangan yang relatif sempit itu sedikit lebih sejuk. Akan tetapi buah pikiran itu justru memberi kesempatan bagi teman kosku, yang kebetulan kuliah di jurusan yang sama lagi seangkatan denganku, tiba – tiba masuk. Mungkin dia sudah memperhatikanku selama beberapa saat, hanya aku saja yang tidak sadar.

“Kamu nggak ke kampus?” tanyanya. Pertanyaan itu sempat membuatku bingung, sebab kalau diperhatikan raut wajahnya tidak mencermikan keinginan untuk berbasa – basi. Dilihat dari dandanannya yang rapi, dapat disimpulkan bahwa ada suatu acara tertentu di kampus yang informasi mengenainya terlewatkan olehku.

“Memangnya adal apa Min?” tanyaku pada Wagimin dengan raut muka bego. “Aku nggak ada kegiatan di kampus hari ini.”

“Lho... Kamu ini bagaimana ta? Beberapa teman kita kan tadi diwisuda. Upacara formalnya sudah selesai, sekarang waktunya menjalankan tradisi, ngasih bunga sama foto bersama.”

“Pantas saja,” kataku dalam hati. Terjawab sudah, aku tidak harus bertanya balik mengenai alasan di balik kerapian Wagimin.

“Heh, kok malah bengong. Ayoh, gek ndang ganti klambi trus mangkat.”

“Apa? Aku nggak ke kampus kok.”

“Kamu nggak mau ngasih selamat ke teman – teman kita, khususnya yang seangkatan?”

“Untuk?”

“Ya atas diwisudanya mereka semua. Tahu nggak? Teman angkatan kita bahkan ada yang menyandang gelar cum laude, dua orang lagi. Wati dan Eko, keduanya beda tipis, masing – masing selesai dengan IPK 3,79 dengan masa studi tepat tiga tahun delapan bulan dan 3,80 dengan masa studi tepat tiga tahun sembilan bulan. Baru kali ini lho, jurusan fisika kita mendapat cum laude dobel. Pantas dong dikasih selamat.”

Aku hanya menggaruk – garuk kepala mendengar penuturan Wagimin. Tiba – tiba saja kulit kepalaku terasa gatal kendati aku yakin seratus persen bahwa aku tidak berketombe.

“Kamu tahu judul skripsi Wati dan Eko?” tanyaku, kali ini dengan mimik yang lebih serius.

“Iya.” Wagimin menyebutkan judul skripsi yang sudah diselesaikan oleh Wati dan Eko, keduanya sangat panjang sehingga tidak perlu kusebutkan kembali. Ia juga tidak lupa memuji kedua teman seangkatanku yang sudah lulus itu dengan mengatakan bahwa mereka menyelesaikan tugas akhirnya hanya dalam waktu satu bulan.

Well, aku pernah mencari judul – judul skripsi yang menarik di perpustakaan pusat. Sudah ada beberapa judul yang mirip dengan punya Wati dan Eko. Seingatku bahkan hampir sama, dan kalau tidak salah, hanya obyek penelitiannya saja yang berbeda.”

“Itu nggak jadi masalah, sebab tidak melanggar aturan kampus. Selebihnya, cepat selesai kan keren!”

“Cepat lulus kan berarti masa belajar di kampus lebih singkat daripada yang tidak. Masalahnya, apakah bisa dipastikan bahwa mahasiswa yang lulus cepat itu berarti mahasiswa yang mampu menyerap pengetahuan yang sama banyak, sama berat, tetapi lebih cepat daripada mahasiswa yang tidak segera lulus? Kalau IPK kan asalnya dari kumpulan nilai, dan yang berhak memberi nilai adalah dosen. Seperti yang pernah kukatakan, nilai tinggi untuk suatu mata kuliah bagi seorang mahasiswa tidak langsung berarti bahwa mahasiswa itu betul – betul menguasai mata kuliah yang bersangkutan.”

“Haisssah! Kok malah ngajak debat. Sudah, ayo berangkat.”

Aku hanya meringis menanggapi ajakan tak sabar dari kawanku itu, dan baginya gigi – gigiku sudah menunjukkan penolakan bagi ajakannya barusan dengan jelas. Dia pun segera ngeloyor pergi.

“Dasar orang aneh! Tukang debat!” umpatnya.



Ketika aku sedang duduk merenung di lobby fakultas MIPA, seseorang yang terlihat bingung mendatangiku. Raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia hendak mengajukan suatu pertanyaan yang membosankan.

“Maaf Mas, mau tanya. Ruang dosen di sebelah mana ya?”

Benar kan?

“Ada di lantai dua. Kamu mau cari dosen jurusan apa?” Aku bertanya balik. Entah kenapa, spontan saja pertanyaan itu meluncur dari lidahku. Basa – basi tanpa sengaja, mungkin.

“Fisika Mas,” jawabnya

“Oh, kamu pasti maba.”

“Benar. Mas sendiri, jurusan apa?”

Orang di hadapanku ini tidak akan mungkin membuat perkiraan tentangku sebagaimana perkiraanku terhadapnya, bahwa aku adalah mahasiswa baru seperti dia. Karena salahku juga (yang mengawali basa - basi), sepertinya percakapanku kali ini akan sedikit lebih panjang.

“Fisika juga.” jawabku singkat.

“Kebetulan. Semester?”

“Tiga belas,” aku menjawab dengan tenang, dan jujur. Memang, saat ini aku telah menjadi mahasiswa tingkat “legendaris”. Sampai tahun terakhir pra-DO (yaitu tahun ini) pun, aku masih harus mengulang beberapa mata kuliah. Aku, adalah anggota MAPALASSKA alias MAhasiswa PAling LAma univerSitaS ...K...A (titik – titik silakan diisi sendiri).

Tiba – tiba dia tersenyum simpul, dan tak kusangka dia melontarkan pertanyaan lancang. “Berarti Mas bego dong?”

“Ya, dalam hal mengumpulkan nilai dari dosen!”

Aku pun tersenyum simpul juga, dalam hati. Jangan dikira kalau aku akan tersinggung lantas marah - marah karena tidak siap menjawab pertanyaan seperti itu.

“Lho, bukankah nilai itu mewakili kemampuan seseorang dalam menguasai ilmu yang bersangkutan? Bukankah, kalau nilai seseorang jelek, kemampuannya juga jelek? Begitu pula sebaliknya.”

“Ha ha ha!” Gelak tawa singkatku pun membahana.

“Well, itu sama sekali tidak benar. Contoh gampangnya sangat mudah untuk diberikan, misalkan kamu sangat pandai tapi sama sekali tidak mengikuti ujian. Maka kamu punya kemampuan yang sangat bagus tapi nilaimu nol,” paparku.

Aku belajar beberapa trik ‘bagaimana berpikir’ benar dari buku – buku logika, sehingga tidak sulit bagiku untuk menemukan kesalahkaprahan masalah hiruk – pikuk kampus seperti yang tersirat dalam ungkapan orang di depanku ini. Penyetaraan “nilai” dengan “kemampuan” jelas salah.

“Kamu sudah tahu sistem belajar-mengajar di perguruan tinggi?”

Seraut wajah yang menampakkan kecerdasan terpendam itu mengangguk.

“Begini, berdasarkan aturan yang telah berlaku, seorang mahasiswa dinyatakan lulus untuk suatu mata kuliah jika dia bisa mendapatkan nilai, katakanlah, C atau yang lebih tinggi dari itu. Tentu saja label “C atau yang lebih tinggi” ini diberikan oleh dosen yang bersangkutan, meskipun berdasarkan kontrak belajar yang telah disepakati sebelumnya. Dengan praanggapan bahwa dosen tersebut tidak mempunyai cacat dalam penilaian, kita masih dapat mempertanyakan apakah porsi materi yang disampaikan si dosen sudah tepat atau belum. Misalkan hampir semua mahasiswanya mendapat nilai jelek, jangan – jangan bukan karena mereka kurang cerdas, melainkan porsi kuliahnya terlalu banyak. Sebaliknya, jika hampir semua mahasiswanya mendapat nilai bagus, jangan – jangan materi dari si dosen terlalu sedikit dan akhirnya terlalu mudah.”

“Aku yakin, rata – rata temanmu menganggap ujian nasional matematika sangat mengerikan, tapi situasinya akan berbalik seratus delapan puluh derajat jika soal – soalnya diganti matematika SD. Penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pecahan, dan sebagainya.”

“Selain itu, untuk seorang mahasiswa yang mendapat nilai jelek, kita juga masih bisa mempertanyakan apakah mahasiswa itu memang tidak menguasai materi atau sekadar tidak berminat mendapat nilai. Kemungkinan kedua memang terdengar aneh, tapi sangat mungkin terjadi. Seperti yang telah kusinggung tadi, mahasiswa yang sebenarnya pandai pun pasti akan mendapat niai jelek kalau dia sama sekali tidak mengikuti ujian, apalagi tidak pernah mengumpulkan tugas dari dosen.”

Maba itu tidak menanggapi lebih jauh, senyum simpulnya berubah kecut. Ia hanya ngeloyor pergi setelah berpamitan singkat. Kudengarkan derap langkah kakinya menapaki tangga gedung yang menghubungkan lobby dengan lantai dua itu dengan penuh perhatian.

“Well... Sampai jumpa lagi di kelas Fisika Dasar, gadis lancang,” kataku dalam hati.


“Apa itu?” tanyaku pada seorang adik kelas setelah melihat sebuah “dokumen” bersampul mika berwarna merah jambu di tangannya. “Coba pinjam,” pintaku pada gadis bergigi gingsul yang masih duduk di bangku kuliah semester empat itu.

“Tugas makalah Mas. Besok jam sembilan pagi harus dikumpulkan,” katanya sebelum benda itu sempat beralih tangan.

“Oh ya? Aku kok tidak tahu. Memangnya makalah seperti apa apa yang harus dikumpulkan?” Kebetulan aku juga mengambil mata kuliah yang sama. Jadi tugas itu berlaku untukku juga. Akan tetapi kurang update perkara tugas dosen, jadi tugas penyusunan makalah itu luput dariku.

“Membuat makalah tentang perangkat listrik alamiah dan buatan. Bapak ngasih tugas ini baru kemarin,” papar adik kelasku yang lain.

“Tugas akhir, hiu kepala martil dan...” Aku membaca judul makalah bersampul pink itu. Penggal pertama judulnya sedemikian mengesankanku sehingga sampai beberapa bulan ke depan, yakni ketika aku menuliskan cerita ini, aku masih dapat mengingatnya dengan jelas.

“Ini bikin sendiri?” tanyaku.

Si gigi gingsul pun tersenyum sehingga gigi gingsulnya makin terlihat dengan jelas. Dia memahami maksud pertanyaanku itu dan hanya mengatakan “Yaaa...” untuk menjawabnya.

Setelah membolak – balik beberapa halaman, aku menyimpulkan jawaban atas pertanyaanku barusan. “Copy-paste to ternyata?”

“Tapi yang depan doang Mas! Bagian belakangnya nggak.”

Aku lalu berpaling pada semua adik kelas yang duduk di depanku. “Kalian nggak ngerasa gimana gitu dengan tugas semacam ini?”

“Gimana... Gimana maksudnya Mas?”

Well, tugas makalah itu kalau mau diseriusi sulit. Setidaknya, butuh waktu yang relatif lama untuk mengerjakannya. Menentukan tema, mencari referensi, mengutip sana-sini, merangkai kutipan sampai menjadi tulisan yang baik. Sementara kita hanya diberi waktu satu hari untuk melakukan semua itu. Ditambah lagi, kalaupun kita mengerjakan tugas makalah dengan serius pun, pak dosen paling juga tidak melakukan penilaian dengan saksama. Mengingat jumlah mahasiswa yang menerima tugas ini,  makalahnya pasti dibaca sekilas saja. Aku yakin, jatuhnya juga banyak yang copy-paste,” paparku.

“Tapi kalau tidak mengumpulkan, nanti kan tidak dapat nilai Mas,” sanggah si gigi gingsul.

“Iya, yang penting mengumpulkan, dan nama kita tercatat dalam daftar mahasiswa yang mengumpulkan tugas ini,” timpal yang lain.

Gambar 1 : Hiu kepala martil.
Aku pun diam setelah itu, mencoba melihat skema percakapan barusan melalui kerangka sudut pandang yang lebih luas. Sampai kapan “sang hyang batara” dosen akan mengarahkan mahasiswanya untuk mengejar nilai -dan bukan kemampuan, seperti itu? Sampai kapan sistem tukar nilai dengan tugas “asal kumpul” itu akan diberlakukan?

Betapa memprihatinkan!

Betapa menyedihkan!


Pengalaman yang saya alami sore ini cukup menarik sehingga membuat saya ingin menuliskannya di blog. Saya mengunjungi seorang kakak sepupu yang terkena penyakit stroke ringan. Kira – kira hampir pukul lima sore saya memasuki ambang pintu rumahnya yang berukuran sekitar 5x11 meter. Ruang tamunya, yang sekaligus digunakan sebagai kios kecil itu, tidak lebih luas dari kamar kos saya di Jogja. Itu saja sudah membuat saya prihatin.

Ketika saya datang, anak keduanya yang menyambut. Anak itu masih kelas 6 MI, kata dia bapaknya -kakak sepupu saya yang sakit itu, baru selesai solat dan hendak keluar. Saya pun menunggu sambil bercakap dengannya seputar hal – hal terkait dunianya yang masih hijau. Sayang, bapak dari anak sekecil itu sebagai tulang punggung keluarga harus terkena penyakit yang mempersempit ruang gerak bagi perekonomian keluarganya, pikir saya.

Tidak lama sebelum akhirnya kakak sepupu saya itu keluar, dia berjalan dengan tertatih. Sesaat setelah duduk, dia bercerita bahwa mulai kemarin menjelang maghrib kaki kanannya susah untuk digerakkan. Lidahnya telah beberapa bulan kaku secara fisik, sehingga dia juga mengalami kesulitan dalam berbicara.

Saya mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian. Meskipun saya jarang berkomunikasi dengannya tapi saya bisa membedakan dengan jelas bahwa “rasa” dibalik kata – kata yang meluncur dari lidahnya sekarang sangat berbeda dari “rasa kata - kata”-nya sewaktu sehat dahulu. Ada sesal yang terungkap secara tersirat dalam pengakuannya atas dosa – dosa yang pernah dia lakukan, dosa ini dan itu. Selebihnya dia percaya bahwa sakit yang dideritanya itu adalah cobaan, kalau bukan peringatan Tuhan agar dia kembali ke jalan yang benar.

Saya pun mengamini, saya katakan padanya bahwa penyakit yang diterima dengan tabah akan mendatangkan kebaikan pada akhirnya. Jika tidak di dunia, pasti di akhirat kelak kebaikan itu akan datang. Secara ilmiah, saya memang tidak berhak berbicara seperti itu. Akan tetapi saya tidak berbicara sebagai seorang ilmuwan ketika itu, saya adalah seorang anak muda dengan keyakinan yang kuat terhadap rahmat Tuhan, Allah.

Well, ketika saya merasa percakapan kami telah cukup, saya pun mohon pamit. Sembari melangkahkan kaki menuju rumah, saya tenggelam dalam perenungan. Betapa saya harus jauh lebih banyak memanjatkan rasa syukur pada Allah. Dibanding teman – teman kuliah saya, mungkin saya bukan termasuk anak orang berpunya. Akan tetapi bagaimanapun, jika melihat kakak sepupu saya yang sedang sakit stroke ringan itu, keadaan keluarga saya jelas jauh lebih makmur...


Stephen Hawking mungkin luar biasa brilian dalam hal fisika teoretis, hingga konon ia pernah disebut sebagai "Master of The Universe". Akan tetapi sebagai manusia"normal", ia hanyalah seorang bapak tiga anak yang tubuhnya digerogoti kelumpuhan secara perlahan. Di balik kesuksesan akademiknya yang gemilang, sosok rapuh ini ditopang oleh seorang perempuan yang sedemikian setia menemaninya sebagai istri selama tiga dekade. Perempuan tersebut tidak lain adalah Jane Wilde. Uniknya, selama bersama Stephen, peran besar Jane Wilde-Hawking kurang disorot dan bahkan terkesan dikesampingkan dalam hampir semua pemberitaan yang berkaitan dengan (mantan) suaminya, itu.

Gambar 1 : Terjemahan "Traveling to Infinity", kisah hidup Jane bersama Stephen Hawking.

Buku di atas ini (yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia serta dibuat filmnya dengan judul "The Theory of Everything"), adalah curahan hati Jane selama menemani Stephen. Suka-duka yang dialami dalam mengurus kebutuhan sehari - hari keluarganya, yakni seorang suami difabel dan tiga anak yang laih berselang beberapa tahun. Frase "curahan hati" yang dimaksudkan di sini bukan sekadar keluh kesah yang didasarkan pada egoisme semata, melainkan suatu penuturan bahwa menjadi istri seorang difabel yang juga seorang fisikawan terkenal itu tidaklah mudah. Apalagi ketika keluarganya mulai bertambah dengan hadirnya buah hati.

Barangkali Jane tidak menyumbangkan apa - apa terhadap penguasaan Stephen akan fisika teoretis, akan tetapi perannya dalam kehidupan sehari - hari Stephen sama sekali tidak layak untuk diabaikan. Bagi saya pribadi, kisah hidup Jane yang dituangkan dalam bentuk buku ini memberi pelajaran bahwa ketika kita hendak menyorot kesukesesan seseorang, jangan pernah lupa untuk juga memperhatikan pihak manapun yang menyokong orang tersebut. Tidak peduli apakah sokongan itu menyumbang langsung pada kesuksesannya atau tidak. Lebih dari itu, seorang istri benar - benar layak disebut sebagai "istri" manakala ia berjuang demi keluarga tanpa memperhatikan pengakuan orang terhadap perjuangan itu.
Gambar 2 : Jane Wilde yang berusia 70 tahun.
Terakhir, saya suka pemberitaan dari dailymail yang menyatakan bahwa Stephen dan Jane kembali lebih dekat setelah Stephen bercerai dari istrinya yang kedua, Elaine Mason pada 2006.

Gambar 3 : Jane Wilde dan Stephen Hawking zaman dahulu (kiri) dan 9 Desember 2014 (kiri). Foto - foto diambil dari "sini".












Aku punya seorang teman sejurusan, fisika, tapi beda kampus. Sebut saja namanya Andri, dia lebih tua beberapa tahun dariku. Dia kuliah di sebuah kampus di Malang tapi sudah lulus, dan sekarang sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan kuliahnya di Bandung. Dia sangat gemar menceritakan kisah - kisah tentang dirinya. Kendati demikian, aku tidak pernah bosan berbincang dengannya. Faktanya dia punya pengalaman yang aneh – aneh dan aku suka mendengarkannya.

“Aku pernah ketemu cewek cantik di sebuah warung.” Andri memulai ceritanya dengan berapi - api, suatu ketika. “Waktu itu aku kan lagi beli makan siang, kelihatannya dia juga. Secara reflek, aku ajak dia kenalan. Kutanya – tanya, namanya siapa, tinggalnya di mana dan sebagainya. Eee, dia diam saja. Acuh tak acuh gitu, sombong banget pokoknya.”

Mataku tak lepas dari setiap gerak bibir Andri. Raut wajah temanku itu membuatku ingin tertawa, nyaris tak tertahankan. Diamnya saja lucu, apalagi kalau sedang bercerita.

“Waktu aku mau bayar itu, si cewek juga bayar barang yang dibelinya” Andri melanjutkan. “Tanpa sengaja tanganku menyenggol tangan cewek itu. Dia langsung lari ketakutan. Dikiranya aku ini perampok atau apa gitu. Aku kan juga tersinggung. Aku segera memasang wajah angkuhku, mendengus pendek, lalu sambil terus melirik cewek yang meghilang ditelan tikungan itu, aku berjalan ke arah sebuah tempat air. Tanpa mikir tempat air itu ternyata wastafel, kucuci tanganku di bagian yang menyenggol cewek tadi, seolah baru kena najis besar saja. Tiba – tiba ada yang bilang, ‘Lho mas, jangan cuci tangan di situ! Itu kan air bekas cucian piring…’ Kulihat, tanganku malah kotor. Beberapa potongan cabe rawit, sayur bekas gigitan orang dan sebagainya menempel di telapak tanganku tanpa sengaja. Malu kuadrat aku Cak!”


Aku pun tertawa seketika.


Tok tok tok... Pintu kamar kosku diketuk seseorang dari arah luar.

"Masuk," ujarku singkat. Pintu itu memang tidak kukunci, jadi setelah ucapan singkatku itu dipahami, seorang teman menyerbu masuk.

"Aku minta air ya? Punyaku habis, dan belum sempat beli."

Menanggapi permintaan itu, aku hanya menunjuk ke sebuah galon berisi penuh air mineral yang berada di pojok ruangaan, tanpa menoleh. Barangkali sikap acuh yang kutampakkan membuat kawanku itu tidak enak hati, dan sebagaimana lazimnya orang yang tidak enak hati, ia pun berbasa - basi. "Kamu lagi ngapain?" tanyanya sambil memompa air mineral dari galonku, tepat ke dalam tupperware warna biru laut yang ia bawa.

"Membaca. Elektrostatika dalam bahan, tepatnya bab polarisasi," jawabku dengan nada lebih ketus.

"Kolorisasi!?" tanya temanku lagi. Entah dia salah dengar, ingin bercanda untuk mencairkan suasana, atau apa.

"Bukan, tapi polarisasi. P-O-L-A-R-I-S-A-S-I. Jumlah momen dipol listrik persatuan volume." Aku masih berkata tanpa melihat ke arahnya.

Tanpa menyambung lagi, begitu tupperware-nya penuh air mineral, teman kosku itu keluar.


Hari ini saya secara iseng meminjam sebuah buku bertemakan "Fikih Wanita" dari perpustakaan pusat kampus. Berhubung beberapa hari yang lalu saya ditanya seorang kawan terkait masalah aurat perempuan, dan hanya mampu memberi jawaban yang bersifat perkiraan saja. Soalnya saya memang kurang tahu fikih, khususnya yang berkaitan dengan perempuan.

Setelah membaca salah gagasan penulis buku tersebut pada bab yang bersangkutan, saya agak terkejut. Berikut gagasan yang saya maksud :
"... Sebaliknya, wanita yang tidak berhijab hendaknya diremehkan, memandang mereka dengan hina sehingga mereka tidak bisa bekerja, dan mewasiatkan agar tidak membantu mereka -karena mereka telah mengoyak tabir Allah-, serta menyarankan mereka untuk menutup aurat. Jika semua warga masyarakat berbuat demikian, tentu akan berpengaruh besar terhadap berhijabnya kaum wanita. Tentunya dengan menjelaskan dalil-dalil dan keterangan bahwa hukum hijab adalah wajib dan menanggalkannya adalah haram. Selain itu, mereka yang berani membuka hijab akan menyandang sifat wanita - wanita durhaka dan menyerupai orang kafir."

Pertama, penggunaan kata "wanita" dan bukan "muslimah" dalam pernyataan di atas membutuhkan penjelasan lebih jauh. Kedua, saya membayangkan ibu saya di kampung yang kesehariannya jarang mengenakan hijab (ketika pergi ke tempat umum). Beliau biasa mengenakan baju lengan pendek, rok sampai pertengahan betis dan tidak berhijab, apalagi ketika pergi ke pasar atau sawah. Gaya busana seperti itu juga sudah lazim di desa saya untuk perempuan berusia empat puluh tahun ke atas, termasuk ibu saya.

Akan tetapi berdasarkan buku tersebut, seorang perempuan yang kesehariannya berbusana sebagaimana pakaian ibu saya dan perempuan - perempuan paruh baya lain di desa saya itu harus diremehkan, dipandang hina agar tidak bisa bekerja, dan seterusnya. Kok mengenaskan sekali ya? Padahal gaya busana demikian itu di desa saya sudah umum. Pun juga, di desa itu tidak ada ceritanya syahwat seorang laki - laki (penduduk di sana) terbangkitkan oleh karena melihat perempuan paruh baya yang tidak berhijab.

Setelah melihat halaman depan untuk mengetahui siapa yang menulis buku tersebut, saya mendapati bahwa penulisnya merupakan seorang pengajar fikih di Kota Madinah. Sementara kondisi sosial dan budaya desa saya jelas sangat berbeda dari Madinah. Jadi kesimpulan sementara yang biasa saya ambil adalah, bahwa barangkali perbedaan kondisi sosial dan budaya ini mengharuskan saya untuk tidak secara langsung menerima gagasan si penulis untuk diterapkan di desa saya, dan beberapa daerah lain yang kondisinya serupa desa itu.