twitter


Bersamamu,
rembulan tak pernah terbit
bintang - bintang tak pernah hilang
lautan tak surut-pasang.

Bersamamu,
aku seperti rumput yang menari karena angin.
Langit tak pernah bermendung, tak ada hujan,
hanya tiang - tiang putih menyala di kejauhan.

Bersamamu,
gemerlap dunia jauh dari pelupuk mata
hilang semua di cakrawala.

Bersamamu,
si kuncup tak menolak mekar.
kelopak - kelopaknya tak pernah gugur.

Bersamamu,
tanah - tanah basah tak lagi kurindui,
berpasang mata indah tak lebih berharga dari senja
kelapa gading kubiarkan meninggi.

Bersamamu,
Andai saja aku tidak sedang bermimpi.


Seorang pria tua bermata sendu baru saja selesai menyantap hidangan penutupnya di sebuah restoran perancis. Ia berpaling pada sebotol wine, yang kemudian dituangkan ke gelas kosong dan lalu diteguknya dengan cara elegan. Selepas menyeka anggur di sudut bibir batinnya berbicara, "Eksistensi manusia pasti adalah sebuah kesalahan."

Kendati tak terdengar oleh telinga, tapi suara hati itu sampai padaku, yang pada waktu yang sama sedang meneguk kopi panas di angkringan seberang jalan, tepat segaris dengan pintu restoran perancis itu. Kalimat pak tua menarik kelopak mataku untuk menutup, nafasku menghembus dan lidahku berkata lirih, "Aku setuju denganmu, Pak Tua, dengan sejumlah catatan tertentu."


Sekelumit apresiasi untuk Sapardi Djoko Damono (selanjutnya disebut pak Sapardi).

Berawal dari keinginan untuk mengasah ketrampilan menguntai kata dalam sebuah tulisan, saya mencoba merambah dunia puisi. Misi umumnya mengembangkan pengetahuan, misi khususnya berupaya menarik hati seorang perempuan. Saya pun berkenalan dengan puisi - puisi pak Sapardi. Awalnya saya punya "Hujan Bulan Juni" yang kemudian menuntun saya pada "Melipat Jarak".

"Hujan Bulan Juni" adalah antologi yang banyak menginspirasi saya dalam upaya belajar menulis sajak (untuk kemudian dikirim ke bribikan). Buku yang satu ini saya acungi jempol tanpa komentar apa - apa. Tapi "Melipat Jarak" agak lain ceritanya.

Sebelum ini saya tidak pernah mengenal sastra kecuali satu - dua bahan yang disusupkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Bayangan saya, puisi / sajak yang tergolong indah itu adalah sajak - sajak empat (atau tiga) seuntai. Maka ada rasa aneh yang muncul ketika saya berinteraksi dengan "Melipat Jarak" ini. Pasalnya dalam antologi tersebut, kebanyakan puisi yang disajikan bukan berupa sajak empat seuntai. Ada puisi yang sangat panjang, dan penulisannya per-paragraf, seperti "Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?" dan "Surah Penghujan : Ayat 1-24". Berikut saya kutipkan Surah Penghujan Ayat 1 (paragraf pertama) :

musim harus berganti musim agar langit menjadi biru untuk kemudian membeku agar pohon tumbuh untuk kemudian rubuh agar menyerap air untuk dikirim ke tunas daun untuk kemudian gugur agar lebah menyilangkan putik dan benang sari untuk kemudian layu agar rumput meriap untuk kemudian kering agar telur meretas dan burung terbang untuk kemudian patah sayapnya agar hari bergeser dari minggu ke sabtu agar kau mengingat untuk kemudian melupakan-Ku

Susunan seperti ini asing bagi saya, sudah begitu arah kata - katanya susah diterka. Maksudnya apa? Dari musim berganti, rumput meriap, hingga ke "kau" yang "melupakan-Ku". Aneh, dan saya tidak menyukainya. Mengingat nama pak Sapardi di dunia sastra, saya lalu bertanya, apakah di dunia sastra sajak - sajak semacam ini justru mencerminkan kepiawaian dan kecerdasan penulisnya? Jika ya, maka saya harus membatasi diri untuk tidak masuk terlalu dalam di dunia asing itu.

Sebaliknya, sajak - sajak pendek yang "menepuk" kesadaran seperti penggalan berikut (masih di buku yang sama) :

mencintai cakrawala
harus menebas jarak

mencintai-Mu
harus menjelma aku

justru (hemat saya) memikat. Sajak - sajak seperti ini banyak dijumpai dalam "Hujan Bulan Juni", maka wajar kalau kemudian saya menjadikannya inspirasi untuk menulis sajak.