twitter


Jepang pra-1945 menampilkan wajah congkak kepada dunia, khususnya kepada Asia. Ini tidak lain karena Jepang ketika itu mempercayai mitos bahwa ia keturunan dewa, dan bahwa balatentaranya tidak terkalahkan. Tetapi, begitu dipukul kekalahan dalam bulan Agustus 1945, rakyat Jepang menyadari bahwa mereka harus menyadari nilai-nilai perdamaian, demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Sebagai hasilnya, mereka menjadi rendah hati.

Paragraf di atas dapat kita temui dalam buku berjudul "Masalalu Selalu Aktual" tulisan P. Swantoro dalam bab ketika ia menulis tentang Prof. Rokuro Hidaka dan pandangannya terhadap Jepang modern. Mungkin sebagian dari kita beranggapan bahwa keyakinan sekelompok orang bahwa mereka punya hubungan khusus dengan entitas transendental dan karenanya berhak mendominasi kelompok lain, adalah keyakinan yang konyol. Apalagi jika kemudian keyakinan tersebut terbantahkan dengan cara yang sangat memalukan.

Well, saya juga beranggapan seperti itu meski tidak secara spesifik merujuk kepada Jepang. Tapi bagaimanapun, saya harus mengacungkan jempol pada negara yang mendapat julukan "Tanah Tempat Matahari Terbit" tersebut. Pasalnya keyakinan yang mereka anut adalah hasil swadaya mereka sendiri. Setidaknya "keyakinan konyol" itu bukan produk impor.


Bahkan setelah game Assassin's Creed punya banyak sekuel, saya rasa Altair (Ath-Thoir) bin Laa Ahad (tokoh utama game pertama) adalah tokoh yang paling keren. Semboyannya, "Laa syai-a waqii`un muthlaqon bal kullun mumkinun" tidak hanya menjadi doktrin yang terkenal di antara para assasin sesudahnya, tapi juga menarik untuk direnungkan penonton.

Altair bin Laa Ahad
Arti kalimat tersebut adalah "Tidak ada sesuatu pun yang terjadi secara mutlak, tetapi semuanya mungkin". Ezio, assassin penerus Altair, menafsirkan kalimat tersebut sebagai berikut, setiap tindakan yang kita lakukan selalu membawa konsekuensi dan karenanya kita sendiri lah sosok yang membentuk masa depan. Dipikir-pikir saya penasaran juga, akankah ada yang memaknai ini sebagai upaya penafian terhadap Tuhan sebagai sosok dengan kekuasaan mutlak oleh pihak pembuat game. Pemaknaan semacam itu sangat mungkin muncul mengingat beberapa kejadian terkait isu agama yang mencuat akhir-akhir ini.

Assasin lazimnya mengenakan jubah bertudung yang menutupi sebagian wajahnya. Mungkin kostum Assassin dirancag demikian sehingga pemakainya tidak gampang dikenali. Senjata andalan mereka adalah bilah tajam yang dipasang di lengan bawah bersama gauntlet. Selain doktrin di atas, kostum dan senjata yang khas assassin memberikan kesan mengagumkan tersendiri bagi penonton sekaligus penikmat jalan cerita seperti saya.


Setelah melihat beberapa orang mengaitkan antara angka 212 dengan Q.S. 21:2 dan Q.S. 2:21, saya lantas berpikir. Angka 212 berarti tanggal 2 Desember menurut penanggalan masehi. Tapi bukankah penanggalan masehi, menurut catatan sejarah, adalah sistem penanggalan yang diciptakan bangsa mesir penyembah berhala, dikembangkan oleh orang-orang kerajaan Romawi lalu disempurnakan Paus Gregorius XIII pada abad keenam belas? Di sisi lain, sistem penanggalan khas Islam adalah sistem penanggalan yang didasarkan pada pergerakan bulan, atau dengan kata lain kalender hijriyah. Jadi dasar bagi pengaitan antara angka 212 dengan Q.S. 2:12 dan Q.S. 21:2 cukup rapuh.

Setelah mengecek lewat aplikasi, tanggal 2 Desember 2016 bertepatan dengan tanggal 2 Rabiul Awwal 1428 H. Rabiul Awwal adalah bulan ketiga dalam kalender hijriyah, dan karena terprovokasi oleh pengaitan itu maka secara iseng saya mengecek Q.S. 2:3 yang ternyata isinya (berdasarkan terjemahan dari Depag RI) sebagai berikut : "(Orang-orang bertaqwa)... Yaitu orang-orang yang beriman pada yang ghaib, melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka." Saya pun berhenti sebab tidak segera melihat adanya kaitan antara ayat dengan tanggal tersebut.

Mikir yang lain...


Akhirnya kubeli juga novel berjudul Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas setelah dibuat penasaran oleh isinya. Novel itu sudah sering kulihat di rak toko buku tapi waktu itu belum ada keinginan untuk membelinya. Baru ketika salah seorang teman di tempat kerja meminjamiku sebentar agar aku membaca beberapa paragraf di dalamnya, lalu tidak berkenan meminjamiku agar novel itu kubaca lebih jauh, keinginan semacam itu baru muncul.

Seingatku dia sendiri yang menunjukkan bahwa dia mempunyai buku itu padaku. Karena aku adalah orang yang sangat obsesif terhadap buku baru, maka aku langsung meminjamnya. Dia ragu-ragu, dan ketika dia menyerahkannya padaku dan kusambut novel itu, dia masih menahan tangannya sambil memeringatkanku bahwa bahasa yang digunakan untuk menulisnya adalah bahasa dewasa. Aku tertawa. Kukatakan padanya bahwa aku hanya dua puluh hari lebih muda darinya. Jika dia bisa membaca dari sudut pandang orang dewasa, aku juga pasti bisa. Lalu aku pun membaca paragraf pertamanya.
 
"Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati," kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir. Ia satu dari beberapa orang yang mengetahui kemaluan Ajo Kawir tak bisa berdiri. Ia pernah melihat kemaluan itu, seperti anak burung baru menetas, meringkuk kelaparan dan kedinginan. Kadang-kadang bisa memanjang, terutama di pagi hari ketika pemiliknya baru terbangun dari tidur, penuh dengan air kencing, tapi tetap tak bisa berdiri. Tak bisa mengeras.

Aku nyengir, kesan pertama yang muncul setelah membaca paragraf pertama novel itu adalah bagaimana bisa temanku yang seorang gadis anggun berjilbab lebar itu bisa mempunyai dan membacanya. Dengan tersipu dia mengatakan bahwa dia tidak sengaja membelinya. Aku terkikik.

Lebih jauh, aku lalu berpikir. Ini pertama kalinya aku menemukan novel yang ditulis menggunakan gaya bahasa selugas itu ketika penulisnya menceritakan kelamin dan segala aktivitas yang berkaitan dengannya. Fakta bahwa naskahnya lolos dan diterbitkan oleh penerbit ternama adalah bukti bahwa bahasa selugas itu, ternyata, bisa juga menjadi konsumsi khalayak. Ini adalah hal baru. Maka sejak si teman enggan meminjamkannya lagi, aku berniat untuk membeli sendiri...






Orator dalam video di atas menyampaikan keberatannya secara berapi-api tentang seorang dosen dari Universitas Islam Negeri Sunankalijaga, yang sebagaimana disebutkannya telah membaca Al-quran (Mushaf Usmani) di Istana Negara menggunakan langgam Jawa.

Alasannya adalah bahwa jika langgam Jawa diperbolehkan untuk membaca Al-quran, maka nanti (dikhawatirkan) akan muncul orang-orang yang membacanya dengan langgam dangdut atau jaipongan. Well, dengan melihat fakta bahwa dangdut sekarang diwarnai oleh penyanyi erotis berpakaian minim, wajar jika pembacaan Al-quran menggunakan langgam dangdut dianggap menodai kesuciannya. Perbuatan seperti itu adalah perbuatan kurang ajar dan pelakunya disetarakan dengan beberapa binatang yang juga disebut dalam video.

Terlepas dari kapan video tersebut direkam, mari kita pikir lebih jauh. Peristiwa pembacaan Al-quran di Istana Negara yang dimaki oleh orator dalam video itu baru menggunakan langgam Jawa. Setahu saya, langgam Jawa tidak atau belum tersentuh erotisme sebagaimana dangdut (atau mungkin jaipongan). Maka kekhawatiran akan munculnya pembacaan Al-quran dengan langgam dangdut sebenarnya adalah kehawatiran yang terlalu dini.

Kemudian jika pembacaan Al-quran dengan langgam dangdut mulai muncul, lalu masalahnya di mana? Yang memberi nilai sedemikian negatif pada dangdut adalah sebagian dari kita sendiri, yakni dengan ketidaksukaan kita pada tampilan penyanyi yang erotis dan berpakaian minim, bukan pada langgamnya. Jadi, kesimpulan bahwa pembacaan Al-quran menggunakan langgam dangdut pastilah diambil berdasarkan analisis yang dangkal atau terburu-buru, jika tidak dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menjaga elemen "budaya asal tempat Islam lahir" terjaga.


Bertemu dengan orang baru di tempat kerja menjadi pengalaman yang sangat menarik ketika orang itu melakukan hal-hal yang menurutku tak biasa. Aku baru tiga kali bertemu dengannya dan baru kali ini, jumat malam ini, aku berbincang dengannya. Maka kukira wajar kalau namanya tak bisa kusebutkan karena aku lupa.

Perempuan itu sangat ekspresif, dia selalu memberi kesan 'wah' yang  untuk ukuran penggemar ekspresi datar sepertiku berlebihan. Dia punya penjelasan yang didasarkan pada pengalamannya sendiri perihal  kenapa dia menjadi begitu ekspresif padahal sebelumnya tidak seperti itu. Menurutnya, sikap ekspresif itu adalah cara khasnya untuk memberi kesan menyenangkan bagi orang lain. Jika kita menampakkan luapan kegembiraan yang ditampilkan oleh wajah ceria dan senyum, kata perempuan itu, maka orang lain akan 'diringankan'. Sebagai gantinya, kita lah yang akan diringankan di kemudian hari.

Perempuan itu memberi contoh, seorang manajer sebuah kafe mentraktirnya makan ketika ketepatan dia sedang tidak punya uang dan harus mengajar privat di kafe tersebut. Ketika dia meminta penjelasan, si manajer hanya mengatakan bahwa traktiran itu adalah ungkapan terima kasih padanya karena telah memberi bantuan di masa lalu.

Aku dan perempuan itu segera terlibat percakapan yang kalau dipikir-pikir aneh juga. Kami berbicara kesana-kemari, mulai dari pekerjaan perempuan itu sebelum bekerja di tempat yang sama denganku saat ini, pengalamannya lolos dari kanker otak dengan hanya berbekal pasrah yang kemudian menjadikannya konsultan kesehatan, proses studi lanjutannya ke luar negeri, akun media sosialnya yang aku tidak tahu apa itu, hingga ke anggapannya bahwa gunung adalah makhluk hidup.

Aku pun menolak anggapan tersebut berdasarkan ingatanku (yang sudah cukup kabur) tentang definisi "kehidupan" hasil usulan Lee Smolin dalam bukunya The Life of The Cosmos. Menurut Smolin, galaksi tidak bisa dikategorikan sebagai makhluk hidup karena tidak menggandakan diri, aku ingat betul bagian itu. Maka kutolak anggapan perempuan itu dengan menanyakan secara retoris, apakah gunung beranak pinak atau tidak. Bantahnya, gunung bisa beranak pinak, contohnya adalah gunung Krakatau.

Menurut perempuan itu juga, gunung pun bergerak, karena sudah jelas dalam Al-quran disebutkan bahwa memang begitu keadaannya. Kalau sudah bawa-bawa Mushaf Usmani seperti itu, tanggapan saya hanya senyum dan tiga patah kata, "Ya... Ya... Ya...". Tambahnya lagi, gunung juga punya jenis kelamin. Merapi berjenis kelamin laki-laki.

Percakapan kami terhenti oleh kedatangan tiga siswa yang harus dia ajar secara privat. Dia sekarang sedang mengajari mereka bertiga bahasa Inggris, dan aku masih tidak percaya ada menusia nyata yang seperti itu, sempat bertemu dan bercakap-cakap denganku sehingga membuatku merasa ingin menuliskan kisah ini. Aneh? Ayo kita tertawa saja...


Membaca buku-buku fisika populer kadang membawa kepuasan tersendiri. Ketika sebuah teorema dipaparkan dengan kata-kata belaka, tanpa simbol-simbol matematis yang rumit, tapi nyatanya itu berhasil menjelaskan gagasan pokok si pencetus teorema dengan gamblang, lalu kita bisa memahaminya setelah melakukan beberapa upaya, maka saat itulah kepuasan khas tersebut muncul. Kali ini aku membaca buku karya Lee Smolin yang judulnya The Life of The Cosmos dan mendapati sebuah teorema tentang lubang hitam.

Teorema tersebut menyatakan bahwa sebuah wilayah tertentu dalam ruang hanya dapat menampung informasi dalam jumlah yang terbatas. Batasan ini diberikan oleh entropi lubang hitam terbesar yang dapat dimuat oleh wilayah tersebut. Karena entropi lubang hitam sebanding dengan luasnya, maka jumlah maksimal informasi yang dapat ditampung oleh sebuah sistem sebanding dengan luas tapal batasnya.

Pembuktiannya demikian. Hukum kedua termodinamika menyatakan bahwa tidak ada proses termodinamis dalam sistem tertutup yang menurunkan entropi sistem tersebut. Andaikan di dalam sebuah wilayah dengan tapal batas yang telah ditentukan, ada suatu sistem yang bisa menampung informasi lebih banyak dari sembarang lubang hitam yang dapat dimuat oleh wilayah tersebut. Kita lalu dapat terus menambah energi sistem sehingga sistem memadat dan menjadi lubang hitam. Berdasarkan pernyataan sebelumnya, proses perubahan sistem menjadi lubang hitam ini menurunkan entropinya, yang jelas bertentangan dengan hukum kedua termodinamika. Karena itu pengandaian salah dan terbukti bahwa jumlah maksimal entropi yang dapat ditampung oleh suatu sistem berukuran tertentu sebanding dengan luas area lubang hitam terbesar yang dapat ditampung sistem tersebut. Maka informasi yang dapat ditampungnya pun terbatas, sebab entropi adalah ukuran informasi.

Membaca adalah kegiatan yang menyenangkan ketika kita berhadapan dengan buku yang bagus, apalagi buku itu bercerita tentang pengetahuan perihal bidang yang kita sukai tapi belum kita kuasai.



Cara laba-laba pelompat (Habronattus Clypeatus) untuk memperoleh pasangan bukan hal yang unik di dunia binatang. Untuk menarik perhatian betinanya, pejantan spesies ini biasa melakukan gerakan-gerakan khusus. Ilmuwan telah mengembangkan gawai yang memanfaatkan sensor khusus untuk mengonversi gerakan yang ditampilkan si laba-laba menjadi suara. Mereka menemukan bahwa pejantan seolah sedang "bernyanyi" ketika melakukan gerakan menggetarkan perut dan mengangkat kaki depan.

Nyanyian tersebut bernada mendominasi dan mempunyai tiga corak yang bergantung dari jarak antara pejantan dan betina. Jika nyanyian berhasil, maka si pejantan akan mendapatkan si betina sebagai pasangan untuk berhubungan seksual. Jika tidak berhasil, pejantan mungkin ditendang jauh sebab tubuh betinanya tiga kali lebih besar. Uniknya, memutuskan untuk menjadi jomblo seumur hidup bukan pilihan yang baik untuk laba-laba pelompat (Habronattus Clypeatus) jantan, sebab betinanya kanibal. Tidak ingin berpasangan berarti secara harfiah siap menjadi mangsa bagi betinanya.

Sumber :
https://www.youtube.com/watch?v=y7qMqAgCqME


Fisikawan abad ke-18 Pierre-Simon, Marquis de Laplace pernah menulis buku berjudul Mekanika Benda-Benda Langit (Mechanique Celeste) yang di dalamnya dia menjelaskan pergerakan benda-benda langit dengan berpijak pada landasan fisis hasil rumusan Newton pada periode sebelumnya. Menurut Laplace, konsekuensi dari fisika newtonan adalah determinisme. Jika kita hendak memrediksikan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi (atau telah terjadi), kita cukup tahu posisi dan momentum setiap partikel yang ada di alam semesta pada suatu waktu. Jika suatu saat kecerdasan seperti itu ada, maka dalam bahasa Laplace, tidak ada yang tidak pasti baginya.

Kesimpulan ini memunculkan kisah tentang pertemuan antara Laplace dengan Napoleon. Kisah itu menyebutkan bahwa Jendral Perancis tersebut menanyakan kenapa Laplace tidak menyertakan Tuhan dalam buku tentang alam semesta yang telah ditulisnya. Laplace kemudian menjawab bahwa dia tidak membutuhkan hipotesis semacam itu. Artinya, menurut Laplace tidak ada "sosok" di atas sana yang mengendalikan segala hal di alam semesta. Ini jelas merupakan tantangan bagi agamawan pada masa itu. Karena perannya yang mengancam keberadaan konsep tuhan, "kecerdasan" yang disinggung Laplace itu kemudian disebut dengan Iblis Laplace (Laplace's Demon).

Pierre-Simon, Marquis de Laplace (1749-1827) adalah matematikawan dan fisikawan berkebangsaan Perancis yang banyak menyumbangkan gagasan pada kalkulus interal, kalkulus diferensial serta astronomi.
Hari ini kita mempunyai fisika baru yang belum ada pada masa hidup Laplace, yaitu fisika kuantum. Dengan berpegang pada fisika kuantum yang salah satu pernyataan terkenal di dalamnya mengatakan bahwa kita tidak mungkin mengetahui posisi dan momentum partikel secara bersamaan sekaligus seratus persen akurat, kita dapat menyimpulkan bahwa Iblis Laplace tidak akan pernah ada.

Kendati demikian, sebenarnya gagasan tentang Iblis Laplace menimbulkan masalah serius dalam dirinya sendiri. Andaikan kita dapat membangun sebuah mesin yang mampu mencatat atau merekam posisi dan momentum setiap partikel di alam semesta berikut menghitung posisinya pada sembarang waktu berdasarkan fisika newtonian.

Mesin tersebut boleh menyimpan informasi dalam bentuk apapun, catatan di atas kertas, batu tulis bahkan hardisk raksasa. Akan tetapi dalam kaitannya dengan peran untuk meniadakan "agen luar yang ikut campur dalam cara alam semesta bekerja", mesin tersebut harus merupakan bagian dari alam semesta juga. Di sinilah letak kesulitannya, sebab mesin tersebut harus mampu mencatat setiap posisi dan momentum partikelnya sendiri. Dengan kata lain, mesin yang mampu memerikan dirinya sendiri di samping seluruh benda entitas fisis lain di alam semesta. Sulit kiranya membayangkan adanya mesin seperti itu, maka wajarlah jika kita ucapkan sayang sekali Iblis Laplace tidak pernah dapat mewujud.