Mas, ojo diguyu...
Iki belajar translate saking wikipedia...
Persamaan Medan Einstein (PME) atau biasanya disebut persamaan Einstein merupakan satu set persamaan dalam Teori Relativitas Umum Albert Einstein yang mana menjelaskan interaksi dasar gravitasi. Dalam hal ini gravitasi tidak dipandang sebagai gaya melainkan efek pelengkungan ruang-waktu oleh kehadiran materi dan energi. Pertama kali dipublikasikan oleh Albert Einstein pada 1915 dalam bentuk persamaan tensor. Persamaan ini menyetarakan kelengkungan ruang-waktu yang dinyataan dalam tensor Einstein dengan dengan energi dan momentum dalam ruang-waktu itu (yang dinyatakan dalam bentuk tensor tegangan-energi).
Sama halnya, medan elektromagnetik ditentukan dengan muatan dan kuat arus ala Persamaan Maxwell, PME digunakan untuk menentukan geometri ruang-waktu yang berubah akibat kehadiran massa-energi dan momentum linear, yang mana, semua itu menentukan susunan ulang tensor metrik ruang-waktu. Hubungan antara tensor metrik dengan tensor Einstein mengizinkan PME dinotasikan sebagai satu set himpunan persamaan diferensial parsial non-linear. Solusi PME adalah komponen - komponen tensor metrik. Lintasan lembam partikel dan radiasi (geodesik) dalam menghasilkan geometri, kemudian dihitung menggunakan persamaan geodesik.
Seperti halnya mematuhi konservasi energi-momentum, PME merupakan turunan dari Hukum Gravitasi Newton jika medan gravitasinya lemah dan laju yang berlaku amat kecil dibanding dengan kecepatan cahaya.
Tehnik penyelesaian PME meliputi penyederhanaan asumsi, seperti simetri. Solusi tepatnya banyak digunakan untuk menjelaskan beberapa gejala gravitasi, misalnya putaran lubang hitam dan mengembangnya alam semesta. Lebih lanjut, kita sederhanakan ruang-waktu sebagai bidang datar dengan sedikit penyimpangan, yang nantinya membawa kita pada PME terlinearisasi. Persamaan - persamaan di atas digunakan untuk mempelajari gejala - gejala yang mungkin terjadi seperti gelombang gravitasi.
Kalo salah tolong dibetulkan...
2
komentar
Posted in
Label:
Relativitas,
Religi
Teori Relativitas merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Albert Einstein, seorang fisikawan terkemuka abad ke-20. Teori ini diyakini oleh sebagian orang sebagai salah satu teori paling indah yang pernah dicetuskan oleh manusia. Di sini kami akan mecoba untuk menggunakannya sebagai solusi untuk menggabungkan pandangan Jabariyah dan pandangan Qodariyah yang tampaknya susah untuk disatukan. Hal ini karena di satu sisi Jabariyah benar, namun salah di beberapa bagian. Sedangkan di sisi yang lain Qodariyah juga benar, namun tidak sepenuhnya. Adapun pandangan satu kelompok yang berdiri di antaranya tidak kami bahas. Jadi, bagaimanakah jadinya teori relativitas yang berada dalam ruang lingkup sains itu digunakan untuk menjelaskan pandangan religius?
Check it out!
Makna Relativitas
Secara singkat, relativitas atau kenisbian bisa dipahami dengan kalimat berikut : “Keabsahan suatu kejadian itu sesuai dengan tempat mengamatinya. Pengamat boleh mengetahui apa yang dilehat pengamat lain, namun tidak dapat menggunakan hasilnya.” Itulah yang penting. Maka yang akan kita gunakan di sini adalah kaidahnya, jadi tidak akan ada rumus – rumus atau angka – angka yang merepotkan.
Bayangkan, Andi duduk tenang di dalam bus yang melaju di jalanan, sedangkan Budi berdiri di pinggir jalan mengamatinya. Adalah tampak jelas bahwa dalam pandangan Budi, Andi dan bus itu yang bergerak. Namun menurut penglihatan Andi, rumah – rumah serta lampu – lampu di pinggir jalan-lah yang bergerak. Menurut sistem kerangka acuan dalam teori relativitas, dalam kasus ini Andi harus meyakini bahwa rumah – rumah itulah yang bergerak. Sekalipun akalnya tidak berkata demikian. Hal ini dimaksudkan agar ia ‘menyesuaikan diri dengan kerangka acuan yang dipakainya’. Anggapan bahwa bus yang ditumpangi Andi bergerak hanya berlaku untuk Budi yang berada di pinggir jalan (dan kerangka acuan yang relatif diam lainnya).
Kalau ini terlalu susah, bayangkan saja anda berada dalam pesawat terbang di angkasa yang saat itu tanpa awan. Yang anda lihat dari kaca jendela sejauh mata memandang hanyalah langit biru. Apakah anda bisa menentukan apakah pesawat sedang bergerak atau diam? Tidak kan…
Pandangan Jabariyah dan Qodariyah
Secara singkat pandangan Jabariyah dapat didefinisikan sebagai berikut: Tuhan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Akibatnya, seluruh aktivitas di alam semesta ini berada dalam kendali-Nya. Dari gerak planet sampai reaksi atom – atom, dari pembelahan sel sampai perkembangbiakan binatang telah diatur oleh Tuhan. Tak ada yang dapat lepas dari kekuasaan-Nya. Sampai sini kita masih bisa menerima, namun lebih lanjut kita akan mendapati beberapa keganjilan. Bayangkan saja, kita beriman atau kafir semua tergantung takdir-Nya. Sehingga setiap manusia yang berbuat baik tidak berhak atas surga dan setiap manusia yang berlaku jahat tidak pantas dimasukkan ke neraka. Benar saja, lha wong semuanya Tuhan yang merencanakan. Selain itu, ini menyalahi sifat Maha Adil dari Tuhan itu sendiri. Bagaimana tidak, beberapa orang dijadikan Nabi dan beberapa orang dijadikan penyembah berhala yang musyrik.
Sementara pandangan Qodariyah berlaku sebaliknya, manusia sendiri yang memilih apakah dirinya menjadi orang baik atau orang jahat. Dengan begitu setiap orang baik berhak atas surga dan setiap orang jahat pantas masuk neraka. Selain itu, ungkapan “manusia yang berusaha sedangkan Tuhan yang menentukan” akan berlaku. Tapi, bukankah itu akan menolak sifat Maha Kuasa-Nya. Dengan kata lain, Tuhan hanya kuasa menciptakan, tetapi tidak mampu mengendalikan. Selain itu, misalkan kita berdoa lantas berusaha dan Tuhan yang menentukan, akan timbul pertanyaan. Apakah ketika kita berdoa, Dia mikir – mikir untuk mengabulkan doa kita atau menolaknya? Juga apakah sebelumnya Dia tidak tahu kalau kita akan berdoa pada-Nya, sehingga pengabulan atas doa kita baru ditentukan?
Bukankah ini juga menolak sifat Maha Tahu dari-Nya?
Lantas mana yang benar?
Untuk menjawab pertanyaan terakhir ini, kami mengusulkan agar meninjau kembali makna relativitas yang telah kami terangkan di awal tulisan ini.
Sekarang begini, dalam kerangka acuan (sebut saja sudut pandang) kita, pandangan Jabariyah adalah masuk akal dan benar. Menurut Tuhan semua gerak telah ditentukan oleh-Nya, tidak ada yang tidak Dia ketahui dan tidak pula ada sesuatu yang luput dari kekuasaan-Nya. Namun, ini hanya berlaku untuk sudut pandang Tuhan dan sudut pandang – sudut pandang lain yang berada di luar sistem hamba-Tuhan kalaupun itu ada (tapi ini tidak ada)[1]. Sedangkan kita tidak dapat menggunakannya sama sekali. Kerangka acuan kita sebagai makhluk membenarkan pandangan Qodariyah. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, bahkan dalam waktu barang sedetik-pun di masa depan. Sehingga -dalam pandangan kita- yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Dengan demikian kita tidak bisa protes tentang hasil akhir takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Kesimpulannya, kedua pandangan religius itu sama – sama sahih. Yang membuatnya bertentangan hanyalah sudut pandang saja. Pandangan Jabariyah untuk sudut pandang Tuhan Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu, sedangkan Qodariyah untuk makhluk-Nya yang tidak bisa mengetahui rahasia takdir.
Wallahu A’lam… Semoga bermanfaat.
[1] Kami menolak jika ada sesuatu yang lain, karena ini berarti terdapat dua Tuhan yang berkuasa. Dan kami menolak itu secara tegas.
0
komentar
Posted in
Label:
Einstein,
Paradoks
Sebagai implikasi dari teori relativitas khusus, dimungkinkan adanya paradoks si kembar. Yaitu jika salah satu dari dua saudara kembar melakukan perjalanan ke luar angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, maka ketika ia kembali ke bumi saudara kembarnya lebih tua darinya (begitu juga dengan alam semesta yang lebih tua dari yang seharusnya). Hal ini sering dimasukkan dalam soal – soal relativitas khusus di SMA. Namun, apakah perhitungannya benar – benar tepat? Tentu tidak! Karena saat sang astronot meninggalkan bumi ia membutuhkan percepatan. Sedangkan teori Einstein ini hanya berlaku untuk kecepatan konstan. Sehingga perhitungan hanya berlaku untuk area – area di mana astronot bergerak dengan kecepatan tetap. Kecuali jika saat meninggalkan bumi ia bisa mencapai kecepatan mendekati kecepatan cahaya (0,8c misalnya)dalam rentang waktu yang sangat pendek. Kita cukupi masalah percepatan sampai di sini.
Untuk mempermudah pembahasan selanjutnya, kita ambil cerita berikut:
Nakula dan Sadewa merupakan saudara kembar berumur dua puluh tahun. Nakula pergi ke sebuah planet yang jaraknya 20 tahun cahaya, dengan kecepatan konstan sebesar 0,8c. Menurut perhitungan Sadewa, Nakula sampai tujuan dalam waktu 25 tahun (ingat rumus dilasi waktu). Jadi, ia akan kembali ke bumi setelah sekitar 50 tahun kemudian. Sadewa juga mengetahui bahwa jam di pesawat Nakula bergerak lebih lambat dan ia akan lebih tua dari Nakula. Sehingga ketika mereka bertemu kembali, usia Sadewa adalah 20 + 50 = 70 tahun. Sedangkan usia Nakula adalah 20 + 30 = 50 tahun.
Sekarang kita melihat dari sudut pandang Nakula. Menurut Einstein, setiap pengamat boleh menganggap bahwa dirinya diam. Jadi dalam pandangan Nakula, Sadewa-lah yang bergerak meninggalkannya dengan kecepatan konstan sebesar 0,8c. Jadi seharusnya Sadewa yang lebih tua. Ini sudah cocok dengan makna relativitas itu sendiri, di mana setiap pengamat berhak memakai hasil pengamatannya sendiri. Pertanyaannya, siapa yang benar? Inilah kenapa disebut “paradoks”.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Nakula mengabaikan sesuatu. Yang bergerak relatif terhadapnya bukan hanya Sadewa dan Bumi, tapi juga Alam Semesta. Sehingga ia harus merubah pengamatannya dari dilasi waktu ke jarak yang ditempuh. Jadi dalam kerangka acuan Nakula, jarak yang ditempuhnya berkontraksi menjadi 12 tahun cahaya. Untuk pulang-pergi, kerangka acuan Nakula membutuhkan waktu selama 24 tahun. Waktu yang ditempuh Nakula-pun berubah menjadi 30 tahun. Sehingga saat Nakula tiba kembali di bumi, ia berusia 20 + 30 = 50 tahun. Sama dengan perhitungan Sadewa.
Kesimpulannya, perbedaan pendapat antara Nakula dan Sadewa bukan tentang siapa yang lebih tua. Nakula mengatakan “Jarak yang saya tempuh pulang-pergi adalah 24 tahun cahaya, dan waktu di pesawat saya berjalan normal.” Sedangkan kata Sadewa “Jam kamu bergerak lambat, dan jarak yang kamu tempuh pulang-pergi adalah 50 tahun cahaya.”
Masalah selanjutnya terpusat pada kerangka acuan Sadewa. Ia bertanya – tanya dalam hati “Jika efek pemuluran waktu Nakula berlangsung selamanya sehingga ia lebih tua dari saya saat kami bertemu, seharusnya ia juga gepeng selamanya. Tapi hal itu kok tidak terjadi?”
Nampaknya Sadewa harus memahami bahwa ruang dan waktu memiliki sifat yang berbeda. Ruang adalah kontinum yang diam sedangkan waktu adalah kontinum yang mengalir. Itulah kenapa dilasi waktu dan kontraksi panjang mempunyai perbedaan pada kondisi akhir, saat semua kembali normal.
Jika Sadewa dapat menonjok bola sampai penyok untuk beberapa saat dan kembali lagi ke bentuk awalnya, kemudian ia menceritakan kehebatannya itu pada Nakula – yang sebelumnya tidak tahu. Maka Nakula tidak akan dapat mempercayai kata – kata saudara kembarnya. Pasalnya tidak ada bukti.
Sedangkan jika Nakula tengah berada di hulu sungai menghanyutkan kapal kertas dan Sadewa bertugas menyongsong kapal kertas itu di hilir, maka ketika Nakula mengatakan aliran sungainya melambat Sadewa akan segera mempercayainya. Karena ia menyaksikan kapal kertas itu sampai ke tempatnya lebih lama dari yang seharusnya. Dengan postulat bahwa di sungai itu tidak ada penghalang apapun. Serupa itulah perbedaan antara efek relativitas panjang dan relativitas waktu.
0
komentar
Posted in
Label:
Paradoks,
Zeno
Zeno dari Elea (495 – 430 SM) seorang filsafat Yunani kuno ingin menunjukkan bahwa setiap benda yang bergerak sebenarnya tetap berada pada tempatnya. Ia menciptakan sebuah paradoks yang disebut paradoks Zeno. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Seorang serdadu melihat di seorang pemanah di belakangnya berada pada jarak 100 m mengarahkan busur kepadanya. Prajurit itu berlari menjauh, dan pada saat yang sama anak panah dilepaskan. Anak panah itu mempunyai kecepatan sepuluh kali kecepatan prajurit. Menurut Zeno, yang dibutuhkan prajurit itu agar dapat selamat hanyalah berlari dengan kecepatan tetap.
Ketika anak panah menempuh jarak 100 m dan sampai di tempat prajurit semula, ia telah menempuh jarak 10 m dan terus berlari. Saat anak panah melewati jarak 10 m itu ia telah maju 10 cm. anak panah maju 10 cm, prajurit meninggalkannya sejauh 1 cm. begitu seterusnya, prajurit itu selalu mendahului anak panah. Jarak antara keduanya terus berkurang tapi tak pernah bersentuhan. Akankah prajurit itu selamat?
Tentu saja tidak ada orang yang cukup bodoh untuk mencoba hal ini, karena prajurit tadi pasti akan menerima “ciuman” anak panah. Namun di manakah letak kesalahan pengandaian yang tampak masuh akal ini?
Mari kita analisa,
Bayangkan kecepatan anak panah (u) adalah 100 m/s, dan prajurit itu berlari dengan kecepatan sepersepuluhnya yaitu 10 m/s (dilambangkan dengan v). Hubungannya:
Dari t = 0s sampai t = 1s, jarak yang ditempuh oleh anak panah itu adalah 100 m dihitung dari tempat pemanah, sedangkan pelari sudah berlari sejauh 10 m dari tempat semula. Pada saat t = 1s sampai t = 2s, anak panah akan menempuh jarak 200 m kalau tidak ada prajurit. Tapi karena ada prajurit yang menghalangi lintasannya, anak panah itu akan menancap di tubuh prajurit dalam jarak sekitar 120 m. karena pada saat itu prajurit sudah bergerak lagi sejauh 10 m ke depan.
Ini berarti, untuk menyelamatkan prajurit itu dari anak panah yang mengejarnya waktu harus dipotong – potong. Dengan jarak yang semakin diperkecil sebanyak sepersepuluh kalinya dan kecepatan tetap, berarti waktu juga harus disusutkan sebanyak sepersepuluh kali, terus dan terus.
Jadi,
Analisa ini tidak sah, sebab kita melakukan kesalahan dalam membagi waktu. Tampak bahwa ruang dan waktu dipotong menjadi bagian – bagian yang semakin kecil. Dan prajurit itu tentu tidak dapat melakukan pelarian dengan cara seperti ini karena waktu yang berlaku di dunia nyata tidak terpotong – potong. Jika kita mengganti anak panah dan prajurit dengan dua partikel yang saling mengejar, kita akan mendapati bahwa Zeno benar. Tapi hanya sampai pada batasan tertentu, sampai waktu dan ruang tidak dapat dibagi – bagi lagi (ingat panjang dan waktu planck). Setelah itu, kita semua akan mendapati punggung prajurit tersebut ditembus anak panah.
Sekitar 2000 tahun kemudian, Sir Isaac Newton mengusulkan cara lain untuk membagi ruang dan waktu yang benar, yaitu dengan membaginya ke dalam potongan – potongan kecil mendekati tak terbatas yang sama besar. Kemudian menjumlahkannya untuk mendapatkan perhitungan yang benar. Metode ini kemudian menjadi sangat penting dalam dunia fisika, dan secara terpisah juga dikembangkan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz yang menamakannya kalkulus. (Sir Isaac Newton juga memberi nama “Science of Fluxions”, tetapi kurang populer).
0
komentar
Posted in
Label:
Relativitas
0
komentar
Posted in
Label:
Fisika Kuantum
0
komentar
Posted in
Label:
Fisika Kuantum
Jika suatu gas dipanaskan terus - menerus, maka saat sampai pada suhu tertentu gas tersebut akan mengalami ionisasi. Irving Langmuir memberikan istilah "plasma" sebagai sebutan untuk gas - gas terionisasi ini, untuk pertama kalinya tahun 1920. Plasma dianggap sebagai wujud keempat zat, sebab komposisi partikel - partikelnya berbeda dari ketiga zat yang telah dikenal (padat, cair, dan gas). Pada abad ke-20, plasma menjadi cabang ilmu tersendiri dalam dunia fisika, yaitu fisika plasma.
Contoh plasma : ionosfer
Plasma dalam ionosfer (lapisan E) dapat memantulkan gelombang radio dengan frekuensi yang relatif rendah, sehingga kita dapat men dengarkan siaran radio melalui proses pemantulan ini. Sedangkan lapisan yang lebih tinggi (lapisan F) dapat memantulkan gelombang dengan frekuensi yang lebih tinggi.
Pembentukan plasma dapat dilakukan dengan memanaskan gas tertentu, namun harus menggunakan suhu paling sedikit 10.000.000 K. Selain itu bisa dengan melewatkan elektron bertenaga tinggi sekitar 10 eV (elektron volt), itupun keberadaan plasma tidak dapat bertahan lama. Plasma hanya dapat bertahan spersekian juta detik, sebelum menghilang. tentu saja ini menyulitkan bagi para ahli yang ingin menelitinya.
Lalu muncullah ide untuk mengurung plasma dengan menggunakan tabung yang di luarnya dililit kawat berarus. Secara teoritis, medan magnet yang ditimbulkan oleh kawat tadi akan menggencet plasma ke dalam. Tapi timbul masalah terhadap cara ini, seberapapun kuatnya medan magnet yang menggencet plasma, kedua ujungnya tetap berlubang (dari medan magnet).
Ide lain muncul dengan menyatukan kedua ujung tabung tadi, sehingga sekilas nampak seperti donat yang dipenuhi lilitan kawat. Rupanya tehnik inipun belum sepenuhnya sempurna. Akan segera ditemukan bahwa medan magnet disisi luar tabung donat tadi lebih lemah dibandingkan medan magnet di sisi dalam. Hal ini disebabkan karena jumlah lilitan di sisi dalam lebih banyak daripada bagian luarnya. Sehingga ketidak seimbangan itu akan menyebabkan bocornya tabung donat (untuk plasma).
Akhirnya tabung donat mengalami perbaikan, dengan memilinnya sekali akan terbentuk sebuah tabung yang berbentuk garis mobius (ingat simbol infinity?). Sisi dalam bagian kiri akan menjadi sisi luar bagian kanan, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, masalah medan magnet yang tidak seimbang karena jumlah lilitan dapat diatasi.
Sekarang, beberapa cara lain telah dikembangkan. Di antaranya dengan menjadikan plasma sebagai penghantar, dengan kata lain mengaliri plasma itu sendiri dengan arus listrik. Selain itu ada juga istilah tehnik mesin cermin, yaitu mengurung plasma dengan magnet super kuat. Namun ini juga membuat plasma lebih sulit untuk dianalisis.
Jika kita telah dapat ‘mengendalikan’ plasma, maka kemungkinan besar dunia ini akan bertambah makmur oleh karena energi yang dihasilkannya. Bayangkan sebuah sumber energi murah meriah dan tentunya aman untuk dioperasikan.
Sumber :
1. Jurnal Online
2. Ensiklopedi Pengetahuan Populer Fisika
0
komentar
Posted in
Label:
Einstein,
Relativitas
Semenjak tonggak fisika modern didirikan oleh Max Planck tahun 1900, berbagai usulan yang menentang fisika klasik-pun muncul. Tentu saja kemunculan ide – ide ini karena fisika klasik gagal menjelaskan fenomena - fenomena yang terjadi. Yaitu yang berkaitan dengan benda yang benar – benar besar seperti planet dan bintang, ataupun benda yang benar – benar kecil seperti atom, bahkan quarka.
Salah satu ide yang menarik untuk dibahas adalah teori relativitas, yaitu sebuah usulan bahwa segala sesuatu yang berada di jagad raya ini adalah relatif. Dimulai dari Newton yang mengusulkan gerak relatif. Ambillah contoh seorang bus yang bergerak kearah terminal, maka orang – orang yang berada di terminal akan mengatakan bahwa supir berikut busnya yang mendekat. Akan tetapi, menurut si supir, terminal dan semua orang di sanalah yang mendekatinya.
Relativitas ruang diusulkan oleh Henry Poincare, dengan mencontohkan bahwa apabila tiba – tiba dunia ini ( dan semua isinya ) menjadi seribu kali lebih besar, maka kita tak akan dapat mengetahuinya.
Kedua teori di atas tidak begitu terkenal dibandingkan dengan ide kenisbian yang ketiga, yaitu relativitas waktu. Teori ini diusulkan dan dikembangkan oleh Albert Einstein, ilmuwan abad ke-20 yang namanya kesohor ke seluruh dunia. Konsep relativitas waktu berkatitan erat dengan batas kecepatan tertinggi yaitu kecepatan cahaya.
Tahun 1905 menjadi tahun penting peluncuran teori relativitas waktu. Setelah suntuk memikirkannya selama musim semi, mbah Albert seolah mendapat ilham. Beliau mendasari teorinya dengan dua postulat :
~Hukum – hukum fisika berlaku sama untuk setiap kerangka inersial.
~Kecepatan cahaya di ruang hampa adalah konstan.
Teori mbah Albert ini selanjutnya disebut sebagai teori relativitas khusus, karena menerangkan kejadian dalam kerangka inersial / kerangka lembam. Yaitu katika sebuah benda bergerak dengan kecepatan tetap atau diam, seperti yang telah dinyatakan oleh hukum kedua Newton.
Namun, bagaimana jadinya jika kita menggunakan kerangka yang dipercepat?
Hal ini juga dipikirkan oleh mbah Albert secara serius. Bahkan, menurut Paul Strathern mbah Albert sampai makan seadanya, sup telur yang cangkangnya penuh dengan kotoran ayam tanpa dibersihkan lebih dulu. Setelah berpikir keras ( lihat saja rambut beliau ), berdiskusi dengan kawan – kawan, akhirnya beliau menemukannya juga. Teori relativitas dengan kerangka kejadian yang dipercepat, atau lebih dikenal dengan relativitas umum. Teori ini tidak lagi memandang gravitasi sebagai gaya tarik menarik antara dua buah benda, melainkan pelengkungan ruang dan waktu oleh kehadiran massa (adanya materi).
Setelah memasukkan waktu dan gravitasi ke dalam ruang lingkup relativitas, selanjutnya muncul satu ide lagi dari mbah Albert. Yaitu menggabungkan konsep elektromagnetik ke dalam teorinya. Gagasan ini yang nantinya dikenal dengan konsep medan tunggal. Sayangnya mbah Albert keburu wafat sebelum teori terakhirnya ini selesai.
Sumber :
Paul Strathern, judul asli: The Big Idea: Einstein and Relativity, Penerjemah: Fransisca Petrajani, S. Psi., Penerbit : Erlangga, Jakarta, 2002.
Catatan:
Sampai saat tulisan ini ditulis, saya masih kesulitan mendapatkan referensi teori relativitas umum dan teori medan terpadu, terutama hitung – hitungannya. Jadi, bagi yang tahu mohon saya ditulari wangsitnya. Terima Kasih…