Roda musim memaksa pepohonan di hutan dekat Negara Astinapura
untuk menggugurkan daun – daunnya. Sial, sebelum daun – daun itu
mencapai tanah beberapa batang anak panah yang ditembakkan dari kejauhan
tepat mengenainya secara horizontal. Alhasil ia berputar – putar di
udara, terpotong menjadi beberapa bagian. Tak hanya itu, anak panah –
anak panah yang menyambarnya tertancap pada sebatang pohon besar lapuk,
mereka saling mengena satu sama lain. Ujung yang satu tepat mengenai
ekor anak panah sebelumnya.
Seraut wajah merona jingga
karena efek mentari senja, tersenyum puas. Pemuda itu berbadan tegap dan
gagah. Rambutnya panjang, digelung, terawat rapi. Ia mengenakan pakaian
berbahan kain biasa, khas seorang pengembara. Namun cincin perak
berbatu permata ungu yang melingkar manis di jempolnya jelas menunjukkan
bahwa ia berasal dari kalangan bangsawan.
“Wah, sekarang
kakang sudah banyak kemajuan. Hebat!” puji seorang seorang perempuan
yang sedari tadi duduk tak terlampau jauh darinya. Bertepuk tangan
pelan, tersenyum kecil.
“He he he. Semua ini berkat bopo
Begawan Durna yang menurunkan ilmunya lewat patung itu,“ tanggap si
pemuda sambil mengenang. Rupanya diallah yang disebut – sebut orang
sebagai Bambang Ekalaya, atau kerap juga dipanggil Palgunadi.
Lima
purnama lalu, belum genap satu musim, Palgunadi memohon pada Begawan
Durna untuk mengajarinya seni memanah. Pandhita satu itu memang terkenal
sangat piawai dalam ilmu olah keprajuritan utamanya memanah, tak heran
jika setiap ksatria ingin menjadi muridnya termasuk Palgunadi.
Sayangnya
Durna tak mau menerima sembarang orang sebagai murid. Entah apa yang
dilihat dari Palgunadi, yang jelas ia menyimpan sesuatu yang membuat
Durna takut dirinya akan diungguli. Namun demikian, ia juga tak enak
menolak secara terang – terangan. Akhirnya ia tinggalkan sebuah patung
untuk menipu Palgunadi, figur seorang pemanah berpose unik.
Durna
lantas menyuruh Ekalaya untuk menirukan gaya patung itu. Bagaimana
posisi kaki, tangan, serta tatapan matanya. Melihat Ekalaya antusias
dengan bualannya ia pun tambah bersemangat dalam berujar. Dan setelah
memberikan penjelasan seperlunya, ia pamit dengan alasan urusan dinas
kepandhitaan tanpa menyebutkan lokasi yang hendak dia tuju. Tentu saja,
agar ia tak bertemu dengan Ekalaya lagi.
Karena
ketekunannya dalam berlatih, hanya dalam waktu lima purnama Palgunadi
menjadi ksatria pemanah pilih tanding. Diambah lagi, kesaktian dari
cincin Mustika Ampal yang ia pakai di ibu jarinya juga memberikan
kontribusi bagi bakatnya. Konon, orang yang memakai cincin sakti itu
akan menjadi pemanah terhebat di arcapada ini. Sebenarnya ia telah
mengetahui hal ini, namun ia tetap merasa berhutang budi pada guru
non-formalnya, Pandhita Durna. Karena itu, ia hendak bertemu langsung
untuk mengucapkan terima kasih. Tentang keberadaan Durna, lokasi
terakhir yang ia dengar adalah kota Astinapura. Ia juga mendapat
informasi bahwa gurunya itu sekarang menjadi pegawai negeri di sana.
Karir dan namanya meroket lantaran sukses mengajar serta mendidik
pandawa-kurawa dalam berbagai cabang ilmu.
…
Perjalanan
dari Paranggelung ke Astina cukup memakan waktu. Lagipula Palgunadi
juga tidak mau terlihat mencolok, ia tak mau ada berita bertema “Raja
Negara Paranggelung berkunjung ke Astina” diekspose berbagai media
massa. Risih kalau ke mana – mana harus dibuntuti para kuli tinta.
Selain itu, jika ia datang sebagai seorang raja maka pemerintah Astina
akan disibukkan dalam mengurusi penyambutannya. Karena itu dalam
perjalanan ia hanya mengajak istrinya Anggraeni serta menyamar menjadi
pengembara biasa. Sesekali, ia mengasah kemampuannya di hutan dekat
tempat ia menginap seperti yang ia lakukan sepanjang sore ini.
“Kita
kembali ke penginapan, yayi. Hari mulai gelap,” Ajaknya pada Anggraini
seusai merapikan busur dan sekeranjang anak panah yang masih tersisa.
“Iya kakang,” jawab sang istri lembut.
Tanpa
mereka sadari, dari kejahuan sepasang mata tak pernah luput dari setiap
gerak yang mereka lakukan. Ia bersembunyi dan mengintip dari balik
semak belukar. Agaknya orang ini lumayan sakti, buktinya ia bisa
menghilangkan hawa keberadaannya dari jangkauan indera kewaspadaan
Palgunadi.
“Wah, rejeki nomplok nih,” batin pemuda itu.
“Akan kutantang orang itu beradu panah. Jika dia kalah akan kuambil
semua pusaka yang dia miliki, dan yang terpenting istrinya. Tapi kalau
aku yang kalah, akan kubiarkan dia memotong kepalaku. Hm, kalau hanya
memanah seperti tadi anak kecil juga bisa. aku bahkan lebih hebat dan
lebih tampan, jadi seharusnya cewek itu jadi milikku dan bukan
miliknya.”
…
Malam pun berlalu tanpa terasa,
mentari telah meninggi, Palgunadi dan Anggraini melanjutkan perjalanan.
Masih ada satu hutan lagi yang harus ditembus untuk sampai ke Astina.
Tak ada kecurigaan apapun dalam benak mereka berdua. Terlepas dari
konflik – konflik internal yang isunya banyak beredar di masyarakat,
Astina tampak sebagai negara besar yang makmur. Para penjahat kelas teri
semisal perampok, pencuri dan kawan - kawannya di seluruh dunia enggan
beraksi di negeri itu. Apalagi dekat kotaraja, sebab resiko untuk segera
tertangkap dan diadili dengan hukuman berat sangat besar. Berdasarkan
asumsi itu Palgunadi dan istrinya ‘berjalan melenggang’, tanpa beban.
Tapi
siapa sangka jika Hyang Widhi berencana lain, keduanya dihadang oleh
seorang pemuda. Dialah orang yang kemarin memata – matai latihan
Palgunadi. Ia tak punya tampang perampok, malah ia terkesan sebagai
ksatria. Dan agaknya ia sengaja menunjukkan wajahnya yang bersinar
seterang mentari untuk memikat Anggraini. Palgunadi terkejut melihat
ketampanan pemuda di hadapannya, “Ini… bangsa manusia atau makhluk
halus? Adakah manusia punya paras setampan ini?” pikirnya. Anggraini
juga sempat terkesima, namun ia segera sadar bahwa ia telah bersuami
sekalipun dari segi ketampanan mereka sama sekali tak sebanding.
"He pengembara! Kutantang kau bertanding dalam seni memanah,” tantang pemuda itu, to the point.
“Sebentar, kamu ini siapa anak muda? Dan apa urusanku denganmu, sehingga aku harus menerima tantanganmu?”
Pemuda
itu tersenyum, “Heheh. Aku telah memperhatikan kalian sejak kemarin,
jadi aku tahu kalau kau pandai memanah. Kebetulan, aku juga menggemari
bidang itu. Nah, aku menantangmu untuk menguji kemampuanku. Tapi kalau
hanya itu rasanya kurang menarik. Ada ide begini, kalau kau kalah
serahkan busur, semua anak panah, pusaka serta istri yang kau miliki.
Tapi jika aku yang kalah, kau boleh memotong kepalaku sebagai hadiahnya.
O iya, pertanyaan pertamamu belum kujawab. Namaku Arjuna, boleh juga
dipanggil Dananjaya karena selalu berjaya dalam setiap pertempuran.
Bagaimana? Kau terima tantanganku atau lari seperti tikus?” tanya Arjuna
memancing.
Palgunadi cepat tanggap dengan maksud Arjuna,
ia pun naik pitam. “He Arjuna, keinginan mengambil istri orang lain itu
lebih pantas menjadi sifat raksasa daripada seorang ksatria. Tapi aku
tak akan lari, keluarkan semua kemampuanmu. Aku sama sekali tak gentar!”
Ekalaya ganti mengungguli. Disiapkan busur serta anak panah – anah
panahnya, lantas mengisyaratkan agar Anggraini menjauh sehinggaia tidak
terkena dampak pertarungannya nanti.
…
Keduanya
berhadapan, memasang anak panah, menarik busur serta menunggu saat
untuk menembak. Sehelai daun jatuh dari pohon induknya, itulah yang
mereka gunakan untuk aba – aba, mereka saling sepakat melalui komunikasi
batin. Ketika daun itu meyentuh tanah mereka pun saling melepas anak
panah masing - masing. Palgunadi yang marah dan merasa direndahkan itu
tak mau setengah – setengah, ia langsung mengerahkan seluruh
kesaktiannya. Arjuna pun demikian, semangatnya dipicu oleh hasrat yang
menggebu untuk memiliki Anggraini.
Mereka sama – sama
sakti, satu anak panah yang ditembakkan di udara mereplikasi diri
menjadi sepuluh, kesepuluhnya mereplikasi lagi, demikian seterusnya.
Kecepatan menembak mereka juga jauh melampaui pemanah biasa, sehingga
pertandingan itu lebih mirip adu senapan mesin yang semua pelurunya
berbenturan di udara lantas jatuh menghujam bumi.
Mereka
tetap bertempur dengan cara seperti itu, kira - kira sampai petang baru
kelihatan Palgunadi jauh lebih unggul. Arjuna mulai kesulitan mengatur
udara yang keluar masuk melalui hidungnya, nafasnya ngos-ngosan tak
menentu. Sementara Palgunadi masih saja tenang, sejak mereka mulai
dadanya hanya mengembang dan mengempis tiga kali. Artinya ia hanya
menghabiskan tiga tarikan nafas. Dan, saat Arjuna lengah karena fokusnya
menurun drastis Palgunadi lebih menggencarkan serangannya. Puluhan anak
panah menyerbu Arjuna, yang pertama mengenai busurnya hingga patah
menjadi dua. Lalu anak-panah berikutnya menggores setiap inci dari
tubuhnya yang kekar kecuali bagian wajah. Itu membuktikan bahwa amarah
Palgunadi telah mereda. Jika ia mau, dengan kekuatan cincin yang
dipakainya, membidik leher Arjuna dengan sangat tepat pun hanya masalah
sepele.
Melihat lawannya telah lumpuh, Palgunadi berjalan
mendekat. “Pergilah! Sebelum aku berubah pikiran dan membidik
lehermu,”hardiknya. Melihat mata Palgunadi yang menunjukkan ekspresi
serius itu Arjuna membalas dengan tatapan tidak puas. Pelan namun pasti,
Palgunadi memasang anak panah dan menarik busurnya yang diarahkan tepat
ke leher Arjuna. Itu membuatnya ketakutan setengah mati lalu lari
terbirit – birit.
“Sungguh aneh, ternyata ada orang seperti itu di Astina. Padahal waktu prabu Pandu masih memegang tampuk kekuasaan, bukan hanya rumor kalau negeri ini menjadi kerajaan terbesar dan termakmur di dunia. Zaman telah berubah ternyata,” gumam Palgunadi disusul ajakan untuk meneruskan perjalanan pada istrinya.
Di lain pihak, Arjuna tidak lantas jera begitu saja. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, ia mengerahkan kesaktiannya untuk berlari secepat angin menuju Dwarawati. Ia bermaksud menemui Sri Kresna dengan harapan mendapat bantuan, atau setidaknya saran untuk mengalahkan Palgunadi, dari penasehat para Pandawa itu.
Kebetulan, saat itu Kresna sedang menggelar rapat bersama para menterinya dalam rangka memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi di Dwarawati. Di balik itu, rapat sebenarnya adalah untuk memecat para pejabat yang terbukti ingin menggulingkan kekuasaan Kresna dengan memanfaatkan rakyat yang tidak tahu apa – apa melalui berbagai aksi masal. Ya, isu pemerintahan Kresna yang korup mulai menyebar di Dwarawati kala itu, yang pada giliran berikutnya memunculkan aksi demonstrasi di beberapa distrik Dwarawati. Kresna tahu siapa dalang di balik semua itu sejak lama, namun baru melakukan tindakan nyata setelah semua terbukti jelas. Memang begitulah watak titisan Bathara Wisnu, sportif dan berpikir dahulu sebelum bertindak.
Bosan dengan aktivitas menunggu, Arjuna memutar haluan sebentar. Ia berjalan mengendap – endap menuju dapur tempat para emban mempersiapkan masakan. Saat ia masuk, perhatian semua emban tertuju padanya. Arjuna berharap bahwa mereka akan terkesima oleh ketampanan wajahnya, tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka semua lari tunggang-langgang, ketakutan. Ada yang menjerit histeris, bahkan pingsan di tempat. “O iya, aku lupa. Badanku masih penuh luka sekalipun aku sudah tak merasakannya. Jika aku bercermin mungkin aku tampak seperti zombie. Pantas saja semua emban itu lari. Hi hi hi,” ujarnya terkikik.
“Yayi Arjuna, harap jangan melakukan kebiasanmu di sini. Kalau kau hendak menemuiku, aku ada di pendopo,” suara Kresna sampai ke telinga Arjuna. Mendengar pesan yang disampaikan secara telepati itu, ia langsung melesat menuju tempat yang dimaksud.
“Kamu itu memang tidak pernah kapok yayi. Setiap ada cewek selalu kamu goda, akibatnya justru kamu yang rugi kan?” tunding Kresna saat Arjuna menemuinya.
“Mohon jangan begitu Kakang Kresna, saya datang kemari untuk meminta petunjuk sebab hamba kalah bertarung dengan raja Negara Paranggelung, si Palgunadi. Yang kakang bicarakan itu soal lain, dan hendaknya dibicarakan lain waktu saja,” Arjuna berkelit. Namun Kresna tahu akal bulusnya, bahkan jauh melebihi dirinya sendiri. Salah satu kemampuan titisan Bathara Wisnu yang lain, ngerti sak durunge winarah atau tahu sebelum diberi tahu.
“Alaah, jangan kamu kira aku tidak tahu. Kau berantem dengan Palgunadi karena ingin merebut istrinya kan? Mengaku saja yayi,” kata Kresna diiringi seraut wajah tersipu Arjuna. “Sudah, sekarang daripada kau lama – lama di sini aku beri tahu saja info yang kau butuhkan. Palgunadi dapat mengalahkanmu dengan mudah karena ia memakai cincin Mustika Ampal. Konon yang memakai cincin itu akan menjadi pemanah terhebat di arcapada ini. Kedua, kedatangannya ke Astina adalah untuk menemui Pandhita Durna. Ia hendak berterima kasih karena merasa telah diajari memanah oleh beliau. Cukup itu saja yang kuberitahukan padamu. Mengenai bagaimana kau merangkainya menjadi suatu cara yang jitu untuk mengalahkan Palgunadi, aku tidak ingin ikut campur.”
Sebenarnya Arjuna masih ingin bertanya lebih jauh, tapi itu hanya akan membuat lebih banyak kartunya yang dibuka Kresna. Karenanya ia segera undur diri, dengan rasa malu. Sekali lagi ia kerahkan aji sepi anginnya untuk menemui Durna sebelum didahului Palgunadi. Dalam perjalanan akal liciknya bekerja, ia mengatur siasat untuk memanfaatkan Durna agar gurunya itu mau meminta cincin milik Palgunadi, kalau bisa sekalian istrinya. Ia beruntung Begawan Durna sedang bersantai di rumahnya, perum militer Astina. Saat seperti itulah yang biasanya paling memungkinkan bagi Durna untuk diajak kompromi.
Dengan gayanya yang dibuat – buat, Arjuna menjatuhkan diri tepat di depan Durna. Tingkah itu membuat sang pandhita tergagap. “Katiwasan bopo! Katiwasan! Tadi…, di hutan sana bopo, di hutan sana…” ujar Arjuna dengan nafas tersengal – sengal.
“Tenang gus, coba atur nafas. Cerita yang jelas biar bopo mengerti,” sahut Durna.
"Bopo kenal dengan Palgunadi?”
“Hemmm, maksudmu Ekalaya?” tanya Durna sembari mengingat – ingat.
“Nha itu, benar bopo.”
“Lantas?”
“Bopo ini bagaimana? Kenapa dia diajari memanah sedemikian intensif sedangkan saya tidak? Mana janji bopo bahwa saya adalah murid kesayangan bopo dalam bidang memanah?
“Sebentar ngger, bopo bingung dengan apa yang kamu bicarakan. Ada apa dengan Ekalaya? Dan apa yang dia lakukan padamu sehingga kamu terluka seperti ini?” Durna bingung.
Arjuna pun memanfaatkan kebingungan itu untuk terus menghasut Durna. “Bopo tahu? Palgunadi hendak menantang bopo karena merasa bahwa dirinya sekarang lebih unggul dari bopo. Saya merasa tersinggung dan menantangnya beradu panah, tapi kalah.”
Durna yang sudah mulai pikun itu termakan oleh omongan Arjuna, “Seingatku seperti baru kemarin aku meninggalkan patung itu untuk menipunya agar tidak merengek minta kuajari memanah. Mungkin sekitar enam atau tujuh purnama, aku tidak begitu ingat pasti tapi aku yakin masih belum lama. Tidak mungkin hanya dengan berlatih dari sebuah patung dalam waktu sesingkat itu ia bisa mengalahkan Arjuna. Pasti ada sesuatu,” gumam Durna. Tanpa pikir panjang, ia segera melesat menuju perbatasan hutan dengan kota. Arjuna mengekor gurunya dari jauh.
Tak butuh waktu lama bagi padhita dan raja muda itu untuk bertemu, sebab mereka tak terpisah oleh jarak yang jauh. Melihat guru yang dicari – cari datang menyambut, Palgunadi pun menghaturkan sembah sebagai tanda penghormatan. “Sembah bakti hamba bopo Begawan, lama tak bertemu.”
“Heh, Ekalaya! Aku dengar kau mau menantangku beradu kemampuan memanah lantaran sekarang kau merasa lebih unggul dariku. Apa benar begitu?” hardik Durna tiba – tiba.
Palgunadi kaget dengan sambutan yang tidak disangka itu. Agak gagap ia menjawab, “Duh bopo, siapa yang berani berkata demikian? Tak sedikitpun maksud yang terbesit di hati hamba menantang bopo Durna. Justru kedatangan hamba dalah untuk berterima kasih karena bopo telah mengajari hamba ketrampilan memanah.”
Mendengar jawaban tulus Palgunadi, Durna pun sadar akan kejadian sebenarnya. Ia lalu tersipu karena telah berpikir yang tidak – tidak tentangnya. Namun karena pada dasarnya ia tidak suka pada Palgunadi, ia tidak begitu saja berbalik memihaknya. Selain itu reputasinya di Astina bisa hancur kalau ketahuan menyimpan murid yang lebih hebat dari anak – anak didiknya di negeri itu. Ia bisa dicap tidak serius mengajar mereka dan jabatannya dicopot.
“Baik, karena apa yang kudengar sebelum ini dan apa yang kau ucapkan bertentangan. Maka aku meminta bukti agar lidahmu bisa kupegang,” kata Durna masih setengah menghardik.
“Bukti apa yang bopo maksud?” Palgunadi tak mengerti.
“Satu pertanyaan, bagaimana kau bisa mengalahkan Arjuna padahal dia sangat berbakat. Sementara kau memulai dari nol hanya dalam waktu semusim, itu pun tak pernah belajar langsung dariku?”
Sekejap setelah nama Arjuna disebut, Palgunadi sadar bahwa dialah yang berdiri tegap di balik layar. Ia paham ini semua adalah skenario yang dirancang, sebuah lakon yang dimainkan, dan Arjuna lah dalangnya. Namun penghormatannya pada Begawan Durna lebih besar dari amarahnya sehingga luapan emosi yang meletup – letup dalam dadanya dapat ditekan. Pada giliran berikutnya, justru ketulusan itu membawa nasib buruk baginya sesuai dengan rancang bangun siasat Arjuna. Palgunadi menceritakan pada Durna bahwa cincin yang dipakainya dapat melejitkan bakat memanah seperti roket. Polos dan blak-blakan meskipun ada sedikit rasa tidak rela.
“Jika memang begitu, penghormatanmu kuterima dengan syarat kau menyerahkan cincin itu. Kau bilang, cincin itu membuat penggunanya mempunyai bakat memanah. Karena sekarang kau telah mahir maka bakat tidak lagi dibutuhkan, otomatis tak masalah jika kau tak memakai cincin itu.”
Palgunadi hanya menurut, baginya penerimaan Durna lebih berharga daripada sebuah cincin. Sial, saat ia menjulurkan tangan dengan maksud agar Durna menagmbil cincin itu dari ibu jarinya, secepat kilat Durna mencabut pisau dan memotong tangannya. Belum sempat mengelak, Durna menancapkan pisaunya tepat di jantung Palgunadi. Anggraeni yang berdiri di sampingnya agak ke belakang menjerit histeris seketika, tak kuasa melihat suaminya bersimbah darah.
Saat itulah Arjuna muncul mengambil potongan ibu jari Palgunadi untuk melepas cincinnya dan memasangkannya ke jarinya sendiri. Namun cincin itu seperti punya kode DNA yang hanya bisa dipakai oleh orang tertentu dan tidak yang lain. Sehingga Arjuna harus memasang cincin itu sekalian ibu jari Palgunadi. Sebagai bayaran atas kemampuan cincin itu, total jari tangannya menjadi sebelas kemudian.
Detik – detik terakhir hidup raja Negara Paranggelung itu ditutup dengan kata – kata kutukan. “Orang tua keparat! Padahal aku tulus ingin menjadi muridmu, tapi kenapa kau menyia – nyiakan ketulusanku dan malah membela Arjuna? Bahkan sampai sejauh ini perbuatanmu padaku. Ingat! Di masa depan saat perang besar terjadi aku akan datang lagi untuk memenggal kepalamu. Dan kau playboy cap tokek! Aku bersumpah bahwa saat perang besar itu tiba ribuan anak panah akan menacap di tubuhmu, kau akan mengalami penderitaan tiada tara sehingga segera mati menjadi pilihan yang lebih baik. Dan jika sumpahku tidak berlaku padamu, maka anakmu lah yang akan mengalaminya.” Sehabis berkata demikian, Palgunadi pun mengehembuskan nafas terakhirnya. Anggraeni, sebagai sosok istri yang setia pada suami dan tak mempan oleh godaan berupa ketampanan yang menjanjikan dari seorang Arjuna, melakukan bela pati. Ia menikam jantungnya sendiri dengan tusuk konde. Jiwa keduanya melayang menuju khayangan, meninggalkan sepasang jasad yang terkulai, berpelukan.