Adalah menarik untuk
meninjau bagaimana pendapat para filsuf tentang waktu, khususnya untuk menjawab
persoaalan apakah waktu bersifat mutlak atau relatif. Persoalan tersebut lebih
tepat untuk dijawab melalui sudut pandang sains. Namun mengingat para filsuf
bekerja menurut penalaran rasional, kiranya pendapat mereka layak untuk
dijadikan perbincangan. (Setidaknya penalaran rasional adalah setengah bagian
dari sains).
Jika kita melihat
catatan sejarah, pembicaraan tentang waktu di kalangan para filsuf ternyata
hampir sama tuanya dengan filsafat itu sendiri. Filsuf yang pertama kali
tercatat mengajukan gagasannya tentang waktu (dan kaitannya dengan gerak)
adalah Zeno dari Elea. Melanjutkan pemikiran gurunya Parmenides, filsuf Yunani
abad ke-5 SM ini mengajukan gagasan bahwa gerak hanyalah ilusi, dan karena
konsep waktu hanya ada ketika gerak ada, maka waktu adalah ilusi juga.
Argumen Zeno adalah
sebagai berikut, andaikan suatu objek ingin bergerak dari A ke B, maka ia harus
melewati titik di antara A dan B. Sebutlah titik tersebut C. Namun untuk menuju
C, objek itu masih harus melewati titik antara A dan C, sebut saja D. Begitu
seterusnya sedemikian sehingga gerak menjadi tidak mungkin, dan karenanya waktu
hanya ilusi belaka[1].
Dengan demikian, secara
tidak langsung Zeno beranggapan waktu bersifat mutlak. Sebab waktu sebagai
“ilusi” tersebut berlaku untuk semua orang (pikiran).
Filsuf selanjutnya,
Aristoteles (abad ke-4 SM), berpendapat bahwa waktu adalah sinambung
(continuous), tidak mempunyai awal maupun akhir serta menjadi ukuran bagi
gerak. Gerak bersifat terbatas, namun waktu bersifat universal[2]. Gerak
berhubungan dengan benda – benda material, waktu merupakan fondasi universal
dari pengalaman. Waktu yang riil adalah waktu “sekarang”, tetapi pikiran kita
sadar akan waktu yang “lampau” dan mampu mengantisipasi waktu yang “akan datang”[3].
Jauh sesudah itu,
Al-Kindi (filsuf abad ke-9 M) disebutkan sebagai peletak dasar “teori relativitas”
berdasarkan karyanya yang berjudul Al-Falsafa
Al-Ula. “Relativitas, adalah esensi
dari hukum eksistensi. Waktu[4], ruang, gerakan, dan benda, semuanya
relatif dan tidak absolut... Waktu hanya eksis dengan gerakan; benda dengan
gerakan; gerakan dengan benda, ... jika
ada gerakan, di sana perlu benda; jika ada sebuah benda, di sana perlu gerakan,”
tulisnya.
Mirip
dengan ide Al-Kindi, abad ke-17 muncul teori relasional. Yakni gagasan tentang
ruang yang hanya eksis karena keberadaan objek - objek di dalamnya, dan
waktu yang hanya akan ada ketika ada sebuah kejadian tertentu. Tokoh teori ini
di antaranya matematikawan terkenal Gottfried W. Leibnitz[5].
Meskipun
relasional bisa bermakna ‘relatif’, namun bukan berarti sama dengan ‘waktu relatif’
seperti dalam teori relativitas Einstein. Teori relasional berbicara tentang
eksistensi waktu, sementara teori relativitas beranjak lebih jauh dari itu[6].
Immanuel Kant, seorang
filsuf Jerman abad, ke-18 juga menyumbangkan pemikirannya tentang waktu
(meskipun bukan sebagai objek utama). Bersamaan dengan ruang, waktu adalah
bagian dari dunia fenomenal[7],
dan karenanya, menurut Kant, waktu bukan bagian dari realitas. Waktu juga
merupakan entitas yang tidak lepas dari kontradiksi – kontradiksi, seperti
misalnya apakah waktu mempunyai permulaan atau tidak. Memang, Kant tidak secara
eksplisit menyatakan apakah waktu bersifat relatif atau mutlak. Namun
analisisnya yang membidik cara manusia secara umum dalam “melihat dunia”, maka
ketika dikaitkan dengan teori relativitas, nampak bahwa Kant lebih cenderung
menyakini waktu yang bersifat mutlak daripada relatif.
Sampai di sini, dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya, para filosof tersebut di atas -kecuali
Al-Kindi jika memang definisi waktu yang dikemukakannya sesuai- beranggapan
bahwa waktu adalah entitas mutlak, juga Leibnitz. Terlepas dari apakah waktu
sekadar ilusi atau kuantitas riil, atau apakah waktu mempunyai permulaan atau
tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Hospers, J., 1990, Introduction to Phylosophical Analysis 3rd edition, Routledge, London
Siswanto, J.,1996, Kosmologi Einstein, Tiara Wacana, Yogyakarta
Web :
Sya'bana, F., 2013, Teori Relativitas Al-Kindi, Einstein, dan Al-Qur'an, http://ilmu-pengetahuan-unik.blogspot.com/2013/02/teori-relativitas-al-kindi-einstein-dan_22.html, (diakses 5 Maret 2014 pukul 17.50 WIB)
Anonim, (tanpa tahun), Relational Theory, http://en.wikipedia.org/wiki/Relational_theory, (diakses 9 Maret 2014 pukul 21 WIB)
[1] Siswanto,
J.,1996, Kosmologi Einstein, hal.
46-47
[2] Di
sini nampak bahwa Aristoteles menganggap waktu sebagai kuantitas mutlak.
[3]
Siswanto, Op. Cit., hal. 49
[4]
Sungguh pun ini benar, masih perlu diteliti lebih lanjut apakah definisi waktu
yang dimaksud oleh Al-Kindi sama dengan definisi waktu menurut perspektif
fisika. Lebih jauh, penulis mengusulkan untuk membedakan dua jenis waktu, yakni
waktu yang bersifat fisis dan psikologis. Waktu fisis berarti waktu yang diukur
berdasarkan alat ukur baku tertentu. Sedangkan waktu psikologis adalah waktu
yang “dirasakan” oleh pikiran. Jika waktu yang dimaksud oleh Al-Kindi itu
adalah waktu psikologis, maka menyebut Al-Kindi sebagai peletak dasar teori
relativitas adalah tindakan yang terburu - buru. Penulis mengira, tidak aneh
jika seseorang (bahkan non-filsuf sekalipun) beranggapan bahwa “satu jam
berkencan akan terasa seperti satu menit, sementara satu menit menduduki bara
api akan terasa seperti satu jam”.
[5] http://en.wikipedia.org/wiki/Relational_theory
[6]
Misalnya, teori relativitas menyatakan bahwa selang waktu yang telah berlalu
serta urutan kejadian A-B-C bergantung pada keadaan gerak pengamat.
[7]
Kant mendefinisikan dua jenis “dunia”. Pertama, “dunia” noumenal, yakni “dunia”
sebagaimana adanya, atau “dunia” tempat segala realitas objektif berada. Kedua,
“dunia” fenomenal, yaitu “dunia” yang kita “amati” menggunakan indera – indera
serta pikiran kita.