Orator dalam video di atas menyampaikan keberatannya secara berapi-api tentang seorang dosen dari Universitas Islam Negeri Sunankalijaga, yang sebagaimana disebutkannya telah membaca Al-quran (Mushaf Usmani) di Istana Negara menggunakan langgam Jawa.
Alasannya adalah bahwa jika langgam Jawa diperbolehkan untuk membaca Al-quran, maka nanti (dikhawatirkan) akan muncul orang-orang yang membacanya dengan langgam dangdut atau jaipongan. Well, dengan melihat fakta bahwa dangdut sekarang diwarnai oleh penyanyi erotis berpakaian minim, wajar jika pembacaan Al-quran menggunakan langgam dangdut dianggap menodai kesuciannya. Perbuatan seperti itu adalah perbuatan kurang ajar dan pelakunya disetarakan dengan beberapa binatang yang juga disebut dalam video.
Terlepas dari kapan video tersebut direkam, mari kita pikir lebih jauh. Peristiwa pembacaan Al-quran di Istana Negara yang dimaki oleh orator dalam video itu baru menggunakan langgam Jawa. Setahu saya, langgam Jawa tidak atau belum tersentuh erotisme sebagaimana dangdut (atau mungkin jaipongan). Maka kekhawatiran akan munculnya pembacaan Al-quran dengan langgam dangdut sebenarnya adalah kehawatiran yang terlalu dini.
Kemudian jika pembacaan Al-quran dengan langgam dangdut mulai muncul, lalu masalahnya di mana? Yang memberi nilai sedemikian negatif pada dangdut adalah sebagian dari kita sendiri, yakni dengan ketidaksukaan kita pada tampilan penyanyi yang erotis dan berpakaian minim, bukan pada langgamnya. Jadi, kesimpulan bahwa pembacaan Al-quran menggunakan langgam dangdut pastilah diambil berdasarkan analisis yang dangkal atau terburu-buru, jika tidak dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menjaga elemen "budaya asal tempat Islam lahir" terjaga.