Saya punya teman yang sangat menggemari sufisme. Tidak tanggung - tanggung, tema yang paling dia sukai adalah paham wihdatul wujud dan yang sejenisnya. Entah kenapa, teman yang satu ini gemar menyerang dosen agama dengan pertanyaan - pertanyaan seputar wihdatul wujud, meskipun bidang sang dosen agama bukan tasawuf. Katanya, pertanyaan - pertanyaan seperti itu harus ditanyakan.
Pada suatu kesempatan kami berdua duduk di sebuah warung dekat kampus, kami hampir selesai menikmati menu makan siang hari itu. Kebetulan, iqomat sholat dhuhur baru saja selesai. Seorang teman lainnya, yang terkenal 'agamis' memperingatkan kami agar cepat - cepat menyelesaikan makan dan bersegera untuk sholat berjamaah di masjid. Si penggemar sufi menolak, bahkan ketika si agamis mengingatkan bahwa pahala sholat berjamaah itu dua puluh tujuh kali lipat dibanding sholat sendiri. Penggemar sufi lantas berargumen, ibadah bukanlah untuk mencari pahala. "Cari saja pahala sana," kata si penggemar sufi yang lalu membuat si agamis meninggalkan kami berdua.
Di hari yang lain, saya dan penggemar sufi duduk berdampingan di ruang kuliah. Kronologinya begini, saya pilih tempat duduk itu karena berada pada jangkauan kipas angin yang tergantung di langit - langit. Maklum, hari itu panas. Sementara dia yang datang beberapa saat kemudian, agak memaksa duduk di samping saya tanpa alasan yang jelas.
Siang itu kami diajar oleh pak dosen "antropik". Saya memberikan gelar itu karena beliau gemar menganalogikan fenomena fisika dengan fenomena sosial, yang kadang justru menimbulkan miskonsepsi. Ciri khas beliau yang lain adalah murah nilai dengan sedikit tugas.
Lantas apa hubungan antara dosen antropik dengan sufi? Sebentar, mari kita skip kuliahnya sampai satu setengah jam ke depan. Pak dosen menuliskan beberapa butir soal (yang tidak menantang), lalu mengumumkan bahwa siapa saja yang maju dan mengerjakan salah satu soal di papan tulis akan diberi nilai. Si penggemar sufi nampak bersemangat. Ia hampir beranjak dari tempat duduknya ketika saya bertanya, "Kamu berminat maju?". Nampaknya dia menyadari arah pembicaraan, dan langsung menjawab dengan logat originalnya, memelas, "Kita kan juga butuh nilai." Dia pun mulai berbicara banyak untuk memperkuat alasannya, tapi segera saya stop.
"Sebentar, kamu berminat maju?" saya mengulangi pertanyaan.
"Ya," jawab si penggemar sufi singkat.
"Ya sudah. Pertanyaannya hanya membutuhkan jawaban 'ya' atau 'tidak'," balas saya ketus.
Ditawari pahala, ditolak. Giliran nilai dari dosen, dipungut. Sufi atau pseudo sufi? Mari kita renungkan bersama...