Sumur tua di ujung desa itu mengundang berbagai pertanyaan dalam benakku. Sejak kapan ia dibangun? Apa yang ada di dalamnya jika kita masuk? Dan mengapa ada cekungan tanah yang berkelok – kelok dan berujung sumur itu?
Kata nenekku yang ahli mendongeng cerita – cerita seram, sumur itu dulunya adalah ular raksasa yang bersembunyi sekaligus bertapa di tempat itu. Mulutnya selalu siap memangsa siapa saja yang lewat di sampingnya. Korban terus berjatuhan sampai suatu ketika seorang petapa sakti mengutuk ular ganas itu. Tapi ular itu berdalih bahwa ia hanya memangsa orang yang jahat saja. Dan karena ia tidak merasa bersalah, maka ia menaruh dendam pada sang petapa. “Anak cucumu akan menanggung perbuatanmu ini.” Begitu yang dikatakan ular sakti itu sebelum berubah, tubuhnya menjadi lekukan di tanah semacam bekas parit, sedangkan mulutnya menganga berubah menjadi sumur itu. Makanya sang petapa lalu berpesan agar anak cucunya jangan ada yang mendekati sumur jelmaan ular itu.
Tapi aku sendiri bukan anak kecil yang mudah dibohongi dengan cerita – cerita aneh semacam itu. Aku tidak percaya, mana ada ular sebesar itu dan berpikir untuk bertapa. Sampai berbicara dengan manusia lagi. Ini sangat konyol!!!
Memang, beberapa waktu lalu salah seorang penduduk di desa ini mengilang tanpa sebab. Dan dua hari kemudian jenazahnya ditemukan sudah membusuk dalam sumur itu. Tapi ini tidak membuktikan apapun, karena aku sering melongok ke dalam sumur itu dan tidak terjadi apa – apa. Bisa diperkirakan kalau cerita aneh itu dimunculkan untuk menakut – nakuti anak kecil supaya tidak bermain – main di dekat situ. Benar, semua masuk akal. Tapi kalau cerita itu salah, benarnya bagaimana?
Aku terus bertanya pada diriku sendiri, sampai suatu ketika guru sejarahku menyinggung tentang penjajahan Belanda dan aku mendapat sebuah gambaran. Sepulang sekolah, kutanyakan pada kakekku apakah desa “Antaboga” ini pernah menjadi wilayah yang dijajah oleh Belanda seratus tahun silam. Beliau membenarkan. Dan saat kutanyakan apakah penjajah itu ada hubungannya dengan sumur tua itu, kakekku bercerita apa yang sebenarnya.
“Desa Antaboga ini sebenarnya tidak dijajah Belanda secara langsung, tapi penduduknya ikut perang. Waktu itu sudah lama sekali, aku yang baru berumur lima belas tahun sudah ikut merebut negara ini dari cengkeraman penjajah. Nah, sumur itu adalah pintu masuk dari jalan rahasia yang dibangun para pejuang untuk bersembunyi. Lubangnya dibuat dalam sekali, sehingga orang yang melihat dari atas akan menyangka kalau itu sumur tak berdasar. Tapi tak jauh dari mulutnya ada lubang ke samping yang panjang. Itulah jalan rahasianya.” Kakekku menjelaskan dengan gamblang.
“Kenapa sekarang tertutup kek?” tanyaku penasaran.
“Itu akibat bom yang dijatuhkan sekutu saat perang terakhir dulu. Banyak pejuang yang besembunyi di dalam lubang itu terkubur hidup – hidup. Saat itu kakek sedang perang di tempat lain, jadi selamat dari bom itu. Yah, mereka adalah kawan – kawan kaek yang gugur demi membela Negara Indonesia ini,” kenang kakekku, rupanya itu membuatnya sedih dan mulai meneteskan air mata. Akupun jadi salah tingkah, karena pertanyaanku kakek jadi sedih.
“Cucuku, kamu yang hidup di zaman merdeka dan murah pangan ini harus banyak – banyak bersyukur. Kamu harus belajar dan mencapai cita – cita setinggi langit, agar pengorbanan para pejuang di masa lampau tidak sia – sia.”
“Baik kek. Serahkan saja semua pada saya,” kataku mantab.