Dul Karim menerima pesan emergency, ia harus mengirim sejumlah uang ke rekening saudaranya yang tengah berada di ambang kehancuran finansial. Nominalnya memang tidak banyak, tapi si saudara sangat membutuhkan uang itu secepat mungkin. Sementara hanya Dul Karim yang bisa dimintai bantuan. Jadi, mau tidak mau dia jugalah yang turun tangan.
Sebenarnya Dul karim malas pergi ke bank. Dia sama sekali asing dengan teknologi seperti transfer, belum lagi mesin ATM yang bisa mengeluarkan uang itu. Bukannya Dul Karim tidak tahu apa – apa, hanya dia tidak biasa berurusan dengan hal – hal yang berbau ‘kemajuan zaman’. Lagipula dia sangat bangga menjadi generasi terakhir dari manusia - manusia konservatif (baca : kuno bin ndeso lawan gaptek). Menurut Dul Karim, sementara manusia modern terbuai dengan modernitas, orang – orang konservatif justru mampu melihat kehancuran sistem yang dapat ditimbulkan oleh modernitas itu sendiri. Tentu ini terjadi jika modernitas tidak disikapi secara benar.
Sesampainya di depan pintu bank, Dul Karim mencoba masuk tetapi selalu gagal. Pintu yang ditariknya macet. Seharusnya dia mendorong, bukan menarik. Tapi sticker bertuliskan “dorong” yang biasanya ditempel di gagang pintu itu telah sobek sehingga tidak terbaca lagi. Selain itu satpam penjaga juga tidak ada, mungkin sedang mengecek nasabah yang lain.
Dul Karim pun menunggu beberapa saat di depan pintu. “Aneh sekali manusia modern itu. mereka membuat pintu yang susah untuk dibuka. Aku yakin ini dilakukan agar mereka tidak gampang kemalingan. Tapi bukankah dengan begitu mereka juga akan susah keluar masuk?”
Ketika salah seorang nasabah keluar dan menarik gagang pintu (dari dalam) dengan lembut, barulah Dul Karim tahu bagaimana cara kerja pintu yang dibuat oleh manusia modern itu. Maka dia pun bergegas masuk. Bersamaan dengan masuknya Dul Karim, pak satpam pun muncul. Tak mau salah lagi, Dul Karim lantas bertanya pada pak satpam mengenai cara mentransfer uang dan segala propertinya sampai selesai.
Sayangnya si satpam adalah tipe orang yang pelit informasi, dia hanya menyuruh Dul Karim untuk mengisi slipt yang tertumpuk di dekat pintu masuk. Terang saja, Dul Karim hanya mengambil slipt yang dimaksud lalu memandanginya. Ia bisa membaca, setidaknya ia dapat mengisi beberapa kolom dalam slipt itu kalau saja dia tidak ragu. Tapi dalam otak Dul Karim telah terprogram “kalau tidak tahu mending tanya”.
Dipanggilnya pak satpam berkulit hitam itu lagi, dan dia pun mendekat. “Bagaimana cara mengisi ‘formulir pengiriman uang’ ini pak Satpam?” tanya Dul Karim tanpa malu – malu.
Pak satpam tersenyum simpul tanda mengejek.
Dul Karim pun berbicara keras setengah berteriak agar seluruh penghuni bank mendengarnya. “Kamu jangan tersenyum begitu. Ketidaktahuan orang – orang sepertiku tentang bank ini adalah bukti kurangnya sosialisasi. Bank-mu tidak pernah mengadakan penyuluhan pada warga kampung yang masih gaptek. Jadi wajar saja kalau tanganku ragu – ragu menulis di kertas ini.”
Dul Karim terus saja mengoceh, membiarkan pak Satpam terpaku mendengarkan omongannya. Dia tak peduli pada orang – orang sekitar yang menatapnya tajam.
“Fakta bahwa SDM penduduk negara ini masih minim dapat dipangkas dengan sosialisasi. Memang butuh dana besar, tapi tidak masalah guna untuk mendapatkan masa depan yang cerah…”
Sampai beberapa menit, barulah Dul Karim mengakhiri kalimatnya. “Kamu, pak satpam, adalah bagian dari mereka yang merasa bangga menjadi orang modern. Yaitu mereka yang sedikit tahu tentang modernitas tapi sudah merasa tahu banyak, sehingga menuduh saudara – saudaranya yang masih awam sebagai orang ndeso. Padahal selain ditandai dengan kemajuan teknologi yang pesat, modernitas yang kalian banggakan itu juga bercirikan kebobrokan moral yang hanya membawa kehancuran global.”