(Based on True Story :))
Ini adalah kali ketiga aku sit in di mata kuliah TMK (Teori Medan Kuantum). Peserta aslinya sebelas mahasiswa, tapi yang masuk saat itu ada delapan belas. Jadi selain aku, ada enam orang lagi yang sit in. Dilihat dari segi wajahnya, mereka kelihatan relatif tua. Maklum, mereka anak – anak S2.
Salah satu kelebihan kuliah bareng anak – anak S2 itu adalah suasananya yang damai. Satu – satunya orang yang mengeluarkan suara adalah pak dosen, atau mahasiswa ketika sedang bertanya. Tidak ada yang nyambi smsan, buka FB atau bahkan chattingan. Mereka hanya berbisik, nyaris tanpa suara jika ingin berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Itupun jarang terjadi.
Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat, hampir semua mahasiswa dalam kelas itu punya buku referensi yang dijadikan bahan kuliah oleh pak dosen. Mereka tidak merasa keberatan membawanya untuk dibahas bersama di kelas. Mahasiswa yang duduk tepat disamping kananku bahkan memenuhi buku teksnya dengan coretan, yakni keterangan pak dosen.
Satu mahasiswa lain membiarkan netbooknya dalam keadaan menyala, bukan untuk log in di jejaring sosial melainkan melihat ebook yang tengah di bahas. Barangkali menurutnya ebook lebih praktis daripada buku cetak setebal tujuh ratusan halaman itu. Aku bisa berkata begitu karena aku sering melihat ke arah netbook itu, dan yang kulihat di layarnya selalu halaman buku yang sedang dibahas. Kebetulan aku duduk di tempat yang paling belakang. Jadi, udah saja melihat apa yang dilakukan mahasiswa itu dengan netbooknya, tanpa mengganggu konsetrasiku sendiri tentunya.
Aku yakin para peserta kuliah TMK berasal dari wilayah yang berbeda – beda, tapi ketika berada dalam ruang kuliah itu mereka menggunakan aturan yang sama. Yakni mengupayakan kondisi setenang mungkin untuk belajar. Itulah yang membuatku berkali – kali mengulum senyum, kagum. Barangkali faktor usia juga mempengaruhi, faktanya mereka bukan ababil lagi. Ya, boleh jadi begitu. Aku pernah mengikuti kelas lain yang pesertanya baru lulus SMA, dan sangat gaduh.
Semua paham? Kupikir tidak juga. Hanya satu mahasiswa yang kelihatan bisa menangkap keterangan pak dosen dengan baik. Mahasiswa ini berambut jabrik, duduk paling depan dan hanya bersedekap ketika teman – temannya sibuk mencatat. Uniknya, ketika pak dosen menyuruhnya ke depan untuk menurunkan sebuah persamaan di papan tulis, ia bisa melakukannya.
Beberapa menunjukkan wajah bosan, ada juga yang sampai mengantuk. Namun aku salut karena mereka tidak mengusir rasa bosan dan kantuk itu dengan membuat forum pembicaraan sendiri. Keluar untuk “mencari angin” pun tidak.
Aku heran, bagaimana “mas jabrik” itu nampak bisa mencerna semuanya dengan mudah. Padahal yang diajarkan dalam kuliah itu teori njekek. Aku sendiri merasa sangat asing, meskipun penjelasan tentang TMK versi populer sudah sering kubaca.
“Psi-star-L, gamma-nol, matriks ini tereduksi karena… hidup di ruang spinor… setelah meninjau partikel dalam kerangka acuan diam, kita akan meninjau partikel itu dalam kerangka acuan yang bergerak ke depan, karenanya kita harus memilih transformasi boost ke belakang…” Apaan sih itu semua?
Yah, meskipun belum bisa memahaminya sekarang namun pengetahuan tentang TMK itu sangat menarik. Tapi yang terpenting, aku bisa duduk dalam kelas yang para pesertanya tahu sopan santun pada dosen seperti itu saja aku sudah sangat senang.