Seorang teman tiba-tiba duduk di dekatku pada jarak sekitar dua meter untuk sebuah keperluan yang sudah kulupakan. Dia menyambar gitar yang ternyata rusak dan tidak bisa dimainkan, lalu terlihat mengelus-elus dagu. "Bro, cukur jenggot yang bagus gimana (di mana) ya? Jenggotku kurang terawat nih," celetuknya. Kulihat, dagunya memang ditumbuhi beberapa helai janggut. Tidak lebat tapi cukup panjang, sehingga kesannya tidak terawat.
"Dicukur habis saja, Mas. Pakai pisau cukur yang biasa," kutawarkan sebuah solusi.
"Wah, jangan Bro. Ini bidadari bergelayutan di sini."
Tanpa sengaja, aku bereaksi dengan meringis dan mengulang kata-katanya dengan nada mengejek. "Bidadariii???" Lalu aku diam dan buru-buru mengalihkan pembicaraan. Aku mungkin sudah menyinggung perasaannya meski tak bermaksud mengejek. Sesuatu yang sebenarnya kupikirkan adalah kenyataan bahwa temanku itu sudah punya seorang istri yang menurutku cantik. Tepat saat aku mengucapkan kata "bidadari" yang terakhir itu otakku menanyakan apakah bidadari masih berharga bagi seorang muslim yang telah mempunyai seorang istri dengan wajah menawan.
Beberapa waktu setelah itu aku merenung sendiri. Apakah sesuatu yang belum pasti, yaitu bidadari (_huur) yang dalam Islam dijanjikan untuk orang-orang saleh di surga nanti masih berharga ketika kita sudah punya istri? Tentunya istri kita adalah perempuan nyata yang sudah kita pilih dengan hati-hati yang telah kita pilih dengan sebaik-baiknya untuk menjadi pendamping sehidup semati. Mungkin ada landasan biologis yang menyatakan bahwa laki-laki cenderung untuk menyebarkan bibitnya sebanyak mungkin, dan karenanya lebih lazim laki-laki menginginkan banyak perempuan daripada perempuan menginginkan banyak laki-laki. Tapi ini di luar konteks. Muslim masuk surga tidak membawa jasad duniawi.
Adapun bidadari dalam Islam adalah makhluk Tuhan yang berwujud perempuan berdada besar dan bermata indah serta diciptakan dari cahaya khusus untuk menemani orang-orang Islam di surga nanti. Tidak hanya itu, bidadari juga selalu perawan, legal untuk disenggamai sepuas hati serta punya daya pikat yang luar biasa. Dikatakan bahwa seorang yang beradu pandang dengan makhluk bernama bidadari ini tidak akan berkedip empat puluh tahun lamanya karena terlalu terpesonanya (belum adegan ranjang yang lebih jauh dari itu). Bahkan, dari kisah yang lain dikatakan setiap muslim diberi tujuh puluh dua bidadari.
Percaya tidak percaya, muslim terpaksa harus percaya kendati ini absurd. Aku sih senang saja. Agamaku Islam, dan aku laki-laki (perempuan di surga tidak dapat fasilitas serupa). Masalahnya adalah, mitos tentang perempuan yang sempurna untuk disenggamai sebagai hadiah bagi orang-orang yang pandai menahan diri dari menggoda anak orang akan sangat mungkin muncul (atau dimunculkan) untuk mengatur masyarakat yang kaum laki-lakinya gila seks! Bagaimana kalau konsep tentang bidadari ini, walau pun tercantum dalam Al-quran dan Hadits, dimaksudkan untuk mengatur orang-orang yang gila seks supaya tidak mengganggu anak orang? Entahlah.
Secara pribadi tentu saja aku punya hasrat seksual, tapi tidak sedemikian parah sampai membayangkan adanya pelayanan seksual dari tujuh puluh dua perempuan yang tubuhnya sangat menawan dan selalu perawan seperti itu. Lagipula ketika kalau pun aku sudah punya istri, aku ingin konsisten dengan satu orang saja. Yah, meskipun tidak ada jaminan bahwa aku lantas tidak menginginkan yang lain. Maksudku, andai aku punya kemampuan untuk mengendalikan proses-proses biologis dalam tubuhku sendiri, aku lebih memilih mengarahkannya untuk tertarik ke satu perempuan saja daripada mengatur agar dapat menarik perempuan sebanyak-banyakya. Nah, kalian laki-laki muslim yang lain bagaimana?