Sambil menunggu koneksi internet tersambung, saya menulis ini. Sebenarnya idenya sudah muncul beberapa hari yang lalu, tapi karena tugas kuliah yang menumpuk maka tulisan ini baru bisa saya kerjakan sekarang.
Berawal dari ruang 406, saat saya menjalani bimbingan belajar untuk materi trigonometri bersama kakak angkatan dari prodi pendidikan fisika. Saya pastikan anda dapat menduga bahwa pelajaran trigonometri selalu diawali dengan masalah sudut. Terkait sudut, kakak angkatan saya mendefinisikannya sebagai "Suatu daerah yang dibatasi oleh dua buah garis lurus". Dengan meninjau gambar sudut di bawah sekilas tak ada masalah tentang definisi itu. Namun jika kita jeli, akan kita ketidakkonsistenan definisi tersebut.
Gambar 1 : Sudut |
Dengan mengabaikan teman saya itu untuk sementara, saya memusatkan perhatian pada kalimat yang ditulis kakak angkatan saya di whiteboard itu. Tampak bahwa dia mulai kesulitan untuk menjawab. Saya pun meyakinkan -dengan berekspresi menenangkan- bahwa tujuan saya bertanya hal sepele seperti itu bukan untuk menjatuhkan mental pemateri, melainkan semata - mata karena keingintahuan serta kritik terhadap deskripsi yang tidak konsisten untuk disiplin ilmu pasti sekaliber matematika. Karenanya, saya menyarankan agar kami sama - sama mencari definisi yang tepat untuk sebuah sudut.
Google menjadi patner utama saya saat browsing dan teringat untuk memecahkan masalah ini. Dan benar, di sini sudut tidak didefinisikan sebagai "daerah" melainkan suatu "bentuk" yang terdiri dari dua garis atau sinar yang bercabang dari sebuah titik temu (verteks).(1) Sekalipun kesannya lebih abstrak tetapi saya kira justru definisi inilah yang lebih masuk akal.
Dan, satu jawaban untuk teman saya yang bertanya dari arah belakang. Salah satu perbedaan antara orang "bodoh" dan orang "pintar" adalah, orang bodoh selalu berusaha untuk menghindari masalah dengan berbagai alasan yang dibuat - buat. Sedangkan orang pintar selalu mencari masalah untuk diselesaikan dengan harapan seiring dengan itu pengalaman mereka juga bertambah.
Selain itu, matematika cukup erat kaitannya dengan masalah filsafat atau pencarian kebenaran. Nah, jika kita membiasakan diri untuk membenarkan kesalahan sepele nan sederhana -sehingga kita kira salah pun tak jadi soal-, bagaimana kita mencari Sang Kebenaran yang notabenenya teramat kompleks? Atau jangan - jangan keimanan kita pada Yang Maha Benar itu hanya karena ikut - ikutan atau sekedar "daripada tidak" ?
Nah, kawanku yang baik. Pikirkanlah!
(1) www.mathopenref.com