Pengalaman yang saya alami sore ini cukup menarik sehingga membuat saya ingin menuliskannya di blog. Saya mengunjungi seorang kakak sepupu yang terkena penyakit stroke ringan. Kira – kira hampir pukul lima sore saya memasuki ambang pintu rumahnya yang berukuran sekitar 5x11 meter. Ruang tamunya, yang sekaligus digunakan sebagai kios kecil itu, tidak lebih luas dari kamar kos saya di Jogja. Itu saja sudah membuat saya prihatin.
Ketika saya datang, anak keduanya yang menyambut. Anak itu masih kelas 6 MI, kata dia bapaknya -kakak sepupu saya yang sakit itu, baru selesai solat dan hendak keluar. Saya pun menunggu sambil bercakap dengannya seputar hal – hal terkait dunianya yang masih hijau. Sayang, bapak dari anak sekecil itu sebagai tulang punggung keluarga harus terkena penyakit yang mempersempit ruang gerak bagi perekonomian keluarganya, pikir saya.
Tidak lama sebelum akhirnya kakak sepupu saya itu keluar, dia berjalan dengan tertatih. Sesaat setelah duduk, dia bercerita bahwa mulai kemarin menjelang maghrib kaki kanannya susah untuk digerakkan. Lidahnya telah beberapa bulan kaku secara fisik, sehingga dia juga mengalami kesulitan dalam berbicara.
Saya mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian. Meskipun saya jarang berkomunikasi dengannya tapi saya bisa membedakan dengan jelas bahwa “rasa” dibalik kata – kata yang meluncur dari lidahnya sekarang sangat berbeda dari “rasa kata - kata”-nya sewaktu sehat dahulu. Ada sesal yang terungkap secara tersirat dalam pengakuannya atas dosa – dosa yang pernah dia lakukan, dosa ini dan itu. Selebihnya dia percaya bahwa sakit yang dideritanya itu adalah cobaan, kalau bukan peringatan Tuhan agar dia kembali ke jalan yang benar.
Saya pun mengamini, saya katakan padanya bahwa penyakit yang diterima dengan tabah akan mendatangkan kebaikan pada akhirnya. Jika tidak di dunia, pasti di akhirat kelak kebaikan itu akan datang. Secara ilmiah, saya memang tidak berhak berbicara seperti itu. Akan tetapi saya tidak berbicara sebagai seorang ilmuwan ketika itu, saya adalah seorang anak muda dengan keyakinan yang kuat terhadap rahmat Tuhan, Allah.
Well, ketika saya merasa percakapan kami telah cukup, saya pun mohon pamit. Sembari melangkahkan kaki menuju rumah, saya tenggelam dalam perenungan. Betapa saya harus jauh lebih banyak memanjatkan rasa syukur pada Allah. Dibanding teman – teman kuliah saya, mungkin saya bukan termasuk anak orang berpunya. Akan tetapi bagaimanapun, jika melihat kakak sepupu saya yang sedang sakit stroke ringan itu, keadaan keluarga saya jelas jauh lebih makmur...