twitter




Pertama kali melihat buku berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela ini di sebuah toko buku, dan kemudian mengetahui penulisnya adalah Gus Dur, saya langsung mengira bahwa buku ini berupa sekumpulan bantahan terhadap literalisasi Islam oleh para literalis secara tidak langsung. Di sini saya menggunakan istilah “literalis” dan cabangnya alih-alih “radikalis” atau “fundamentalis” yang secara subyektif tidak tepat. Saya katakan pula “tidak langsung” karena Gus Dur telah wafat beberapa waktu sebelum literalisasi tersebut mencapai puncaknya.

Tentu hanya segelintir orang saja dari kita yang tidak tahu mengenai peristiwa aksi massa baru-baru ini, yaitu penggalakan massa yang dimaksudkan untuk menggugat tertuduh penista agama agar supaya dihukum sesuai ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Padahal tertuduh sekadar mengucapkan keadaan di lapangan menurut “analisis”-nya terkait pilkada, sudah menjelaskan bahwa ucapannya tidak dimaksudkan untuk menyinggung siapa pun serta telah meminta maaf. Adegan masih ditambah lagi dengan tindakan memusuhi terhadap roti tawar merk tertentu karena penegasan perusahaan produsen atas ketidak terlibatannya terhadap aksi massa tersebut.

Akan tetapi, harapan menemukan gagasan yang berpihak pada ketidak setujuan aksi literalisasi Islam tersebut kandas karena ternyata Tuhan Tidak Perlu Dibela kebanyakan menceritakan tanggapan Gus Dur terhadap berbagai keadaan, mulai dari sosial, politik, budaya hingga sekelumit keagamaan. Sepertinya buku yang adalah kumpulan kolom Gus Dur  yang pernah terbit di majalah Tempo antara tahun 1970 dan 1980 ini memang tidak dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan Gus Dur tentang agama belaka.

Saya adalah orang yang tidak menyukai politik, enggan membaca tulisan tentang politik serta tidak mengikuti isu-isu politik secara aktif. Maka saya tidak punya bekal apa-apa dalam membaca kumpulan tulisan Gus Dur ini. Jelas ini membawa kesulitan tersendiri. Saya menjadi sering gagal paham dan sering tidak dapat menangkap poin yang hendak disampaikan Gus Dur dalam tulisan-tulisan itu. Kebanyakan ide tulisan terpantik dari pengalaman pribadi Gus Dur di berbagai tempat pada tahun-tahun tersebut.

Kendati demikian, bukan berarti bagi saya pribadi buku ini lantas menjadi tidak bermanfaat sama sekali. Sekurang-kurangnya, saya mendapatk gambaran tentang cara Gus Dur menyikapi pemerintah waktu itu (yang konon sangat otoriter dan enggan memberikan kebebasan berbicara). Barangkali telah lazim diketahui bahwa Gus Dur adalah sosok yang gemar meledakkan tawa orang lain melalui humornya yang khas. Namun cara budayawan yang kerap disandingkan dengan sosok Semar dalam pewayangan itu menyisipkan humor ke dalam tulisan, yang kemudian digunakan untuk mengkritik pemerintah waktu itu, boleh dibilang jenius.

Istilah “unthul-unthul” dalam tulisan berjudul “ORNOP Benarkah Untul-Untul?” , misalnya, masih sering membuat saya cengar-cengir sendirian. Pertama karena istilah “unthul-unthul” itu sendiri (yang digunakan untuk menyebut abdi-pelawak raja-raja Jawa zaman dulu) memang lucu. Kedua, menurut Gus Dur ORNOP (kependekan dari Organisasi Non-Pemerintah, sekaran lebih lazim disebut LSM) waktu itu dicurigai pemerintah karena pemerintah yang merancukan kata “non” dengan kata “anti”, sehingga pergerakan mereka menjadi sulit. Mengkaitkan antara ORNOP dengan unthul-unthul untuk mengkritik kecurigaan pemerintah yang terjadi waktu itu, adalah sebuah contoh pengejawantahan kejeniusan yang dimiliki Gus Dur. Maka kendati kesulitan membaca, saya tidak merasa sia-sia mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli buku Tuhan Tidak Perlu Dibela ini.