twitter


David Richeson, dalam bukunya yang berjudul "Euler's Gem" bab 9 menuturkan biografi ringkas Descartes. Ulasannya tentang kehidupan filsuf penggagas rasionalisme itu tidaklah menarik, sebab keterangan yang lebih lengkap dapat diperoleh dari buku - buku filsafat. Sementara buku Richeson itu adalah buku tentang geometri, tepatnya topologi.

Bagian yang menggelitik terdapat di akhir bab, di mana diterangkan (secara ringkas juga) Descartes pernah meneliti polihedron, bahkan menemukan versi alternatif dari rumus Euler yang terkenal. Karena Descartes hidup seabad sebelum Euler, agaknya logis untuk memberikan kredit terhadap penemuan rumus itu. Richeson juga menulis, para ahli sempat berdebat mengenai siapa yang seharusnya berhak mendapat paten. Namun pada akhirnya ia cenderung memihak Euler dengan beberapa alasan, salah satunya adalah rumus Euler itu dapat diperluas ke sembarang dimensi seperti yang dilakukan Poincare.

Bagi saya ini sangat mengherankan, mengapa kredit penemuan orang yang hidup ratusan tahun silam masih diperdebatkan? Andaikan paten itu menghasilkan penghargaan, baik secara finansial maupun psikologikal, akankah orang yang telah mati itu terimbas? Saya kira tidak. Pun juga, ahli waris dari penemu yang bersangkutan sudah tidak jelas. Andaikan ahli waris sang penemu masih ada, atau jika saja para ahli yang berdebat itu punya kepentingan pribadi, itu sudah lain soal. Jadi, daripada memperdebatkan paten untuk penemuan yang penemunya sendiri telah mati berabad lamanya (baca : kadaluwarsa), bukankah lebih baik memperdebatkan hal - hal yang bersifat kekinian? Mari kita renungkan bersama...


Nashiruddin bernama asli Muhammad ibn Muhammad ibn Hasan At - Thusi, ia juga disebut dengan Abu Ja’far. Lahir pada 11 Jumadil Awal 597 H, bertepatan pada 18 Februari 1201 di daerah Thus. Ayahnya bernama Muhammad bin Hasan, seorang alim, ahli fiqih dan hadis. Keluarga Nashiruddin bermazhab Syiah, karenanya sejak kecil ia belajar agama pada ulama Syiah.

Kecintaannya akan ilmu membuatnya tak segan untuk belajar berbagai subjek, tak pandang apakah ilmu agama atau ilmu umum. Tak heran jika ia punya banyak guru. Dalam bidang hadis misalnya, ia berguru pada ayahnya sendiri Muhammad ibn Hasan. Alqur'an dan ilmu fiqih pun ia pelajari dari sang ayah. Shahabuddin Ali ibn Abi Manshur pamannya dari pihak ibu, mengajarinya manthiq dan ilmu kalam. Sedangkan untuk matematika, ia belajar pada Kamaluddi Muhammad Hasib.

Saat masih remaja, ayah Nashiruddin meninggal. Tak lama setelah itu ia pun meninggalkan kota Thus untuk meneruskan belajarnya. Tujuan pertamanya adalah kota Nishabur. Di kota tersebut ia belajar pada beberapa ulama' kenamaan seperti Fariduddin Damad, Quthbuddin Mishri, Kamaluddin Yunesi dan Abu Sa'adat Isfahani.

Tahun 616 H invasi bangsa Mongol mencapai Iran, yang membuat Nashiruddin harus mengungsi ke Iraq. Saat itulah seorang ulama dari Qahestan bernama Nashiruddin Abdurrahim ibn Abi Mansur mengajaknya tinggal di istana Qahestan. Nashiruddin segera menerima ajakan itu. Di tempat tersebut ia menyusun karyanya dalam bidang astronomi berjudul Risalah Mainiyah, Asasul Iqtibas dalam bidang logika serta Akhlaqi Nasiri dalam bidang akhlak. Karya terakhir dipersembahkan khusus untuk Nashiruddin Muhtashim sang pemilik istana.  

Bangsa Mongol merebut istana Qahestan pada tahun 1257. Nashiruddin ditangkap, namun karena Hulagu Khan sang pemimpin invasi itu mengetahui kepandaiannya ia justru diperlakukan secara hormat. Bahkan Hulagu mengangkat Nashiruddin sebagai penasehatnya di bidang ilmu pengetahuan. Konon, ia tidak berani mengambil keputusan yang bersifat ilmiah tanpa saran Nashiruddin.

Dalam koloni bangsa Mongol itulah Nashiruddin mencapai masa – masa emasnya. Ia mengusulkan pembangunan perpustakaan dan observatorium yang memuat teropong bintang yang paling canggih pada masa itu pada Hulagu, dan disetujui. Menurut Kennedy, setelah dikembangkan oleh salah seorang murid Nashiruddin, Al-Urdi, peralatan tersebut setara dengan milik Tyco Brahe (astronom yang menjadi mentor Kepler) abad ke-16.

Berdasarkan pengamatan terhadap benda – benda langit menggunakan teropong itu, beberapa ilmuwan di bawah pimpinan Nashiruddin menyusun Zij-i Ilkhani. Yakni tabel astronomi paling lengkap pada zamannya. Nama Ziij-i Ilkhani dinisbatkan pada gelar kehormatan pasukan berkuda Mongol.  Perampungan tabel tersebut memakan waktu dua belas tahun dan berhasil dilengkapi pada tahun 1272.  Karyanya yang lain mengenai astronomi adalah Tadzkira fi’ilm Hai’a, dalam risalah ini Nashiruddin mengkritisi model tata surya Ptolemy. Kekurangan model Ptolemy sebenarnya sudah dicurigai oleh astronom muslim, namun belum ada yang dapat menciptakan model tandingan yang konsisten sampai masa Nashiruddin. Ialah yang akhirnya mengemukakan model yang menentang Ptolemy.

Nashiruddin juga aktif dalam mengikuti serangan Hulagu Khan ke berbagai daerah dengan tujuan mengumpulkan naskah – naskah ilmiah. Ada yang mengatakan bahwa koleksi perpustakaan Nashiruddin mencapai empat ribu judul. Di antara penjaga perpustakaan tersebut ada seorang ahli sejarah bernama Ibn Al-Fawti, tawanan tentara Mongol yang diselamatkan Nashiruddin. 

Matematika pun tak luput dari Nashiruddin, untuk bidang ini ia banyak menulis resensi karya – karya matematikawan Yunani kuno. Pun juga menulis bukunya sendiri.  Nashiruddin banyak menangani masalah geometri (terutama trigonometri) dan teori bilangan. Aturan sinus yang kini menjadi bagian dari pelajaran trigonometri itu adalah temuannya.

Dalam bukunya yang lain, Syakl al-Qitha’ Nashiruddin memilah ilmu astronomi dengan trigonometri sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Buku tersebut terdiri atas lima bab, yang setiap bab memuat beberapa pasal. Bab pertama mencakup 14 pasal, bab kedua 11 pasal, bab ketiga 3 pasal, bab keempat 5 pasal, bab kelima 7 pasal.

Nashiruddin tetap mempunyai pengaruh pada pemerintah Mongol setelah Hulagu meninggal. Kira – kira tahun 1271 ia berhasil mengobati luka Abaqa sang penerus Hulagu, yang diakibatkan oleh sapi liar. Tahun 1274 Nashiruddin menderita sakit, dan tak lama kemudian ia meninggal. Ia dimakamkan di dekat makam Syiah Imam ketujuh, Musa Al-Kazim, di dekat Baghdad. 

Referensi :
Amin, Husayn Ahmad. 1995. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. terj. Bandung: Remaja Rosdakarya.
‘Utsman, Muhamad ‘Ali. 2010. Ilmuwan – Ilmuwan Muslim yang Mengubah Dunia. terj.  Yogyakarta : Beranda Publishing.
Mohammed, Mohaini. 2001. Matematikawan Muslim Terkemuka. terj. Jakarta : Salemba Teknika.



Saya punya teman yang sangat menggemari sufisme. Tidak tanggung - tanggung, tema yang paling dia sukai adalah paham wihdatul wujud dan yang sejenisnya. Entah kenapa, teman yang satu ini gemar menyerang dosen agama dengan pertanyaan - pertanyaan seputar wihdatul wujud, meskipun bidang sang dosen agama bukan tasawuf. Katanya, pertanyaan - pertanyaan seperti itu harus ditanyakan.

Pada suatu kesempatan kami berdua duduk di sebuah warung dekat kampus, kami hampir selesai menikmati menu makan siang hari itu. Kebetulan, iqomat sholat dhuhur baru saja selesai. Seorang teman lainnya, yang terkenal 'agamis' memperingatkan kami agar cepat - cepat menyelesaikan makan dan bersegera untuk sholat berjamaah di masjid. Si penggemar  sufi menolak, bahkan ketika si agamis mengingatkan bahwa pahala sholat berjamaah itu dua puluh tujuh kali lipat dibanding sholat sendiri. Penggemar sufi lantas berargumen, ibadah bukanlah untuk mencari pahala. "Cari saja pahala sana," kata si penggemar sufi yang lalu membuat si agamis meninggalkan kami berdua.

Di hari yang lain, saya dan penggemar sufi duduk berdampingan di ruang kuliah. Kronologinya begini, saya pilih tempat duduk itu karena berada pada jangkauan kipas angin yang tergantung di langit - langit. Maklum, hari itu panas. Sementara dia yang datang beberapa saat kemudian, agak memaksa duduk di samping saya tanpa alasan yang jelas.

Siang itu kami diajar oleh pak dosen "antropik". Saya memberikan gelar itu karena beliau gemar menganalogikan fenomena fisika dengan fenomena sosial, yang kadang justru menimbulkan miskonsepsi. Ciri khas beliau yang lain adalah murah nilai dengan sedikit tugas.

Lantas apa hubungan antara dosen antropik dengan sufi? Sebentar, mari kita skip kuliahnya sampai satu setengah jam ke depan. Pak dosen menuliskan beberapa butir soal (yang tidak menantang), lalu mengumumkan bahwa siapa saja yang maju dan mengerjakan salah satu soal di papan tulis akan diberi nilai. Si penggemar sufi nampak bersemangat. Ia hampir beranjak dari tempat duduknya ketika saya bertanya, "Kamu berminat maju?". Nampaknya dia menyadari arah pembicaraan, dan langsung menjawab dengan logat originalnya, memelas, "Kita kan juga butuh nilai." Dia pun mulai berbicara banyak untuk memperkuat alasannya, tapi segera saya stop.
"Sebentar, kamu berminat maju?" saya mengulangi pertanyaan.
"Ya," jawab si penggemar sufi singkat.
"Ya sudah. Pertanyaannya hanya membutuhkan jawaban 'ya' atau 'tidak'," balas saya ketus.

Ditawari pahala, ditolak. Giliran nilai dari dosen, dipungut. Sufi atau pseudo sufi? Mari kita renungkan bersama...