twitter


Suatu ketika, pernah ada yang berceletuk, “Fisika teori itu tidak banyak gunanya.” Saya pikir itu pernyataan yang salah, berdasarkan beberapa alasan tertentu. Di sini hendak dipaparkan seringkas mungkin apa dan bagaimana peran fisika teori dalam ilmu fisika secara umum. Sehingga pembaca bisa turut menyimpulkan apakah fisika teori itu banyak berguna atau tidak.

Pada dasarnya, seperti sains lain, fisika sendiri dibangun di atas dua fondasi, yakni teori dan eksperimen. Boleh dikatakan, sains -khususnya fisika- adalah salah satu anak (dan mungkin yang paling sukses) hasil perkawinan antara rasionalisme dan empirisme. Sains juga merukunkan keduanya sehingga keduanya dapat berjalan selaras.

Sementara itu fisika teoretik adalah bagian dari ilmu fisika yang berkutat seputar gagasan – gagasan tentang fenomena fisis. Fisikawan teoretik mengkaji dan mengevaluasi ide – ide, bahkan jika mungkin, merumuskan teorinya sendiri. Selain itu, ia juga membuat prediksi tentang akibat – akibat jika teorinya “benar”, agar dapat dihakimi oleh eksperimen.

Teori fisika berarti generalisasi atas sebuah fenomena fisis menurut “cara pandang” seorang ilmuwan tertentu, dalam sebuah ungkapan formal. Artinya teori fisika adalah pendekatan belaka. Bahkan, mungkin saja manusia tidak akan pernah sampai pada “generalisasi” yang sebenarnya.

Sebuah teori biasanya diungkapkan dalam kalimat pendek dan sederhana. Misalnya, teori Newton tentang gravitasi. Ketika Isaac Newton melihat benda - benda jatuh ke tanah , intuisinya menangkap sesuatu yang penting. Perilaku yang sama pastilah juga berlaku di semua tempat lain di alam semesta. Karenanya, ia pun merumuskan generalisasi fenomena itu.

“Setiap dua buah benda menghasilkan gaya tarik – menarik yang besarnya sebanding dengan kedua massa benda tersebut, dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara keduanya.” Gaya tarik itu kemudian disebut gravitasi.

Tentu saja, teori fisika yang dinyatakan dalam bentuk kalimat itu, meskipun cukup pendek, sama sekali tidak praktis. Karenanya, orang lalu menggunakan simbol dan kaidah – kaidah dalam matematika untuk merumuskan versi operasional dari teori fisika. Teori gravitasi Newton, dengan demikian dapat ditulis sebagai berikut :

Dengan , , , , berturut – turut menyatakan besarnya “gaya” gravitasi, massa benda pertama, massa benda kedua dan jarak antar benda.

Hampir dua ratus tahun kemudian, yakni di tahun 1915, Einstein merumuskan teori gravitasinya sendiri yang berbeda dengan teori Newton. Menurut fisikawan terkenal itu, gravitasi bukan “gaya” melainkan kelengkungan ruang-waktu sebagai akibat dari kehadiran massa dan energi. Kaitan antara sebaran massa-energi dengan kelengkungan ruang-waktu digambarkan dengan indahnya dalam persamaan yang lebih kompleks :
Sisi kiri persamaan menggambarkan kelengkungan ruang-waktu, sedangkan sisi kanan menggambarkan sebaran massa-energi.

Tidak perlu berpusing – pusing mengimajinasikan seperti apa kelengkungan ruang-waktu itu. Poin pentingnya adalah teori Einstein berbeda dengan teori Newton, dengan kata lain cara pandang keduanya berbeda. Maka jelas bahwa sebuah teori fisika mewakili “cara pandang”  belaka. Meskipun begitu, teori tidak dapat dicetuskan sekehendak hati ilmuwan pencetusnya. Teori tersebut harus tahan terhadap berbagai macam ujian, sehingga dapat dikatakan sebagai teori yang baik.

Dengan bercokolnya persamaan matematika untuk mewakili setiap ungkapan dari sebuah teori, barangkali kendala yang paling ditakuti orang akan segera nampak. Yakni matematika itu sendiri. Persamaan yang mewakili teori gravitasi Newton masih cukup sederhana, tetapi teori Einstein dinyatakan dalam persamaan yang memuat konsep matematika tingkat lanjutan. Pada giliran berikutnya, ini memberi kesan bahwa sains teoretik itu susah.

Namun, sebenarnya persamaan matematika justru mempermudah analisis. Jelas otak manusia lebih mudah mengutak – atik angka daripada kata – kata. Besaran – besaran fisika yang diinginkan pun mudah ditemukan jika seseorang berurusan dengan angka – angka, dan bukan kalimat. Keuntungan lainnya, rumusan matematika juga mampu merangkum fakta - fakta fisik yang tampaknya terputus, dalam kesatuan terpadu.

Adapun fisika eksperimental menangani hasil – hasil eksperimen. Eksperimentalis berkerja dengan cara memasukkan input pada alat tertentu dan mendapatkan output dari alat tersebut. Input dan output dari eksperimen tersebut umumnya berupa angka – angka. Eksperimentalis tanpa teori akan mempunyai kerangka kerja berikut : Saya punya input besaran A dan eksperimen saya menghasilkan besaran B. Jika saya mengubah nilai besaran A, maka nilai besaran B juga berubah dengan hubungan (misalnya) eksponensial -titik.

Eksperimentalis boleh mempertanyakan kenapa ia memperoleh output yang demikian dan demikian jika inputnya diubah demikian. Namun jawaban atas pertanyaan itu disediakan oleh fisikawan teoretik. Menafsirkan hasil yang didapat bukan bagian dari pekerjaan eksperimentalis karena itu menjadi tugas fisikawan teoretik.

Eksperimentalis, bisa juga bekerja dengan cara sebaliknya, yakni menguji bahkan memfalsifikasi teori yang ditawarkan. Misalnya seorang fisikawan teori merumuskan teorinya atas sebuah fenomena fisis tertentu. Lalu dibuatlah kerangka eksperimen untuk menguji apakah teori tersebut baik atau buruk. Uji – menguji itulah bagian milik eksperimentalis.

Dengan sokongan matematika, fisika teoretik mungkin dapat eksis secara mandiri. Namun tanpa eksperimen yang mampu mengkonfirmasi atau memfalsifikasinya, ia tak lebih dari produk imajinasi semata. Dan karenanya menjadi kurang fisis. Sementara eksperimen tanpa teori sama sekali tidak berguna. Apa yang bisa diperoleh dari sekumpulan angka tanpa pemaknaan atasnya? Kesimpulannya, baik fisika teoretik maupun eksperimental tidak dapat mengklaim dirinya mampu menjadi sains yang berdiri sendiri. Keduanya saling terkait satu sama lain untuk menopang bangunan di atasnya, yakni fisika.