twitter


Malam minggu, jones tapi tidak homeless dan jobless, serta punya keinginan kuat untuk menulis. Aku mencari-cari bahan curhat di otakku, dan ketemu. Leonard Susskind, fisikawan teoretik, dalam sebuah kuliah "Mekanika Kuantum"-nya, pernah mengatakan bahwa dia lebih menyukai mekanika kuantum daripada mekanika klasik karena dalam beberapa hal mekania kuantum memberikan kejelasan yang tidak diberikan oleh mekanika klasik.

Aku sempat merenungi makna di balik ucapan dosen di Universitas Standford itu. Apa saja "beberapa hal" itu? Tentu saja aku juga belajar mekanika kuantum di bangku kuliah, tapi butuh perenungan yang jauh untuk menemukan "beberapa hal" yang dimaksud Pak Susskind.

Hari terakhir aku membaca buku teks tentang mekanika kuantum adalah hari ketika malamnya adalah malam minggu ketika aku merasa menjadi jones tapi tidak homeless maupun jobless, hari ini. Maka kuputuskan untuk benar-benar menulis gagasan itu dengan bahasaku sendiri. Bahasa yang tidak kaku. Bahasa yang disastra-sastrakan meskipun tidak sastrawi dan sedikit banyak mengorbankan kejelasan konsep.

Oke. Kembali ke pokok bahasan. Kuduga, salah satu aspek paling jelas ketika mekanika kuantum "berani beda" dari mekanika klasik adalah ketika keduanya mengusung masalah pengukuran. Menurut gagasan yang mendarah daging dalam fisika klasik (sampai abad kedua puluh), pada prinsipnya, masalah pengukuran hanya masalah kecanggihan alat. Misalnya, jika kita tidak dapat melihat hal-hal yang cukup kecil, kita "cukup membuat" kaca pembesar. Ada obyek-obyek yang lebih kecil lagi, kita buat kaca pembesar yang lebih canggih lagi. Begitu seterusnya, tidak ada batasan bagi seberapa kecil obyek yang kita lihat tanpa menimbulkan masalah serius, asalkan kita menyumbangkan dana yang cukup untuk membangun alat yang lebih canggih. Bahasa ringkasnya, untuk mekanika klasik, mengukur hanyalah mengukur.

Sebenarnya, kita harus berhati-hati dalam mengucapkan kata "pengukuran". Ketika kita mengukur sesuatu, panjang pensil menggungakan penggaris misalnya, yang kita maksudkan sebenarnya adalah menyandingkan pensil itu dengan penggaris kita. Saat itu cahaya menumbuk ujung-ujung pensil berikut skala pada penggaris dan memantul ke mata kita sehingga kita melihat pensil itu mempunyai panjang sebesar x. Fokus pada kalimat "cahaya menumbuk ujung-ujung pensil berikut skala pada penggaris". Rupanya, mengukur tidak hanya sekadar mengukur. Pengukuran adalah proses yang melibatkan interaksi fisis, dan dalam mekanika kuantum interaksi itu "sangat" mengganggu.

Bayangkan lagi, ketika kita melihat orang mengendarai sepeda motor berikut pergerakannya, sebenarnya yang terjadi adalah cahaya menumbuk pengendara tersebut lalu memantul mengenai mata kita. Pengendara motor, tentu saja, mempunyai bobot yang lumayan besar sedemikian rupa sehingga interaksinya dengan cahaya tidak mengganggu proses "melihat" tadi. Akan tetapi jika pengendara motor itu diganti dengan elektron, lain ceritanya. Elektron sangat-sangat ringan sehingga jika ia tertimpa cahaya, "jalan"-nya akan benar-benar terganggu. Momen setelah gangguan itu tidak terprediksi. Di sinilah letak titik perbedaan antara mekanika kuantum dari mekanika klasik...

Nah, aku sudah dapat bahan yang cukup untuk kupubikasikan di blog. Cerita tentang kuantumya sekian dulu. Tertarik untuk mendengar cerita lebih jauh, pm!


Membaca tiga potong kicau Goenawan Mohamad tentang kritik Bung Karno masalah penggunaan fikih untuk melakukan tindakan tercela, yaitu :

Yang mengejutkan, pada tahun 1940, Bung Karno juga sebut praktik kawin siri (nikah cuma buat semalam) dengan para pelacur di satu kota Jawa-Barat
Ada penghulu yang siap menikahkan pelanggan dan pelacurnya, dan esoknya talak dijatuhkan. Ini, kata Bung Karno, "Main kikebu dengan Tuhan."
"Main kikebu" atau cilukba dengan Tuhan, itulah sebutan Bung Karno tentang orang yang menggunakan fikih untuk membenarkan laku yang cela.

dalam buku "Percikan : Kumpulan Twitter @gm_gm" halaman 202-203, imajinasiku melayang. Aku benar-benar membayangkan adanya jasa yang menyediakan layanan prostitusi tetapi lewat jalan "syar'i". Kata "syar'i" yang kumaksudkan di sini adalah dalam kaitannya dengan fikih.

Misalkan benar-benar ada jasa prostitusi yang juga menyediakan penghulu, pramuria sebagai mempelai perempuan, saksi, komplit dengan wali yang entah bagaimana bisa dibujuk untuk menyetujui anaknya menjadi pramuria dengan cara seperti itu, pokoknya syarat dan rukunnya lengkap, lalu bagaimana? Apa yang menjadi ganjalan bagi penyedia jasa prostitusi syariah seperti itu untuk ada? Harus kutekankan bahwa aku tidak tahu banyak tentang fikih (dan tidak suka juga meskipun kolom agama di KTP-ku berisi kata "Islam", tapi ini soal lain).

Setahuku fikih hanya menghukumi suatu pekerjaan berdasarkan rukun dan syarat pekerjaan itu. Dalam Islam, menikah adalah sangat dianjurkan. Bahkan, konon orang yang tidak meikah justru tidak terpuji. Lalu ketika orang ingin "menikah untuk semalam" saja, dengan rukun dan syarat yang lengkap, bukankah secara fikhiyah tidak masalah? Sedangkan jika ada larangan dan anggapan bahwa tindakan tersebut tercela, bukankah ini bersumber dari moral si pencela? Dengan kata lain, larangan itu tidak bersumber dari fikih.

Kadangkala, dalam fikih kita mendapati perbuatan yang dalam kesadaran moral kita salah, berubah menjadi tidak bermasalah. Misalnya, seorang anak sulung dihadiahi sebidang tanah berikut rumah dan kebun oleh bapaknya semasa hidup. Lalu ketika meninggal, pemberian itu tidak dihitung warisan, sehingga peninggalan si bapak yang tersisa harus dibagi menurut ketentuang yang berlaku menurut faraid (ilmu tentang tata cara membagi warisan dalam Islam). Ada juga beberapa hal yang tidak diperbolehkan menurut seorang ahli fikih, tapi dianggap sebagai "tercela" oleh yang lain, dan diperbolehkan untuk yang lain lagi. Untuk yang ini, kulit seorang laki-laki bersinggungan langsung dengan kulit perempuan setelah berwudu lalu laki-laki itu salat tanpa berwudu lagi. Jadi, "menikah dalam semalam" itu termasuk yang mana? Ingat, pertimbangan moral (apalagi yang tidak berasal dari Arab abad ketujuh masehi) tidak dimasukkan dalam penilaian suatu perbuatan menurut fikih.

Terakhir, andaikan prostitusi syariah itu benar-benar ada, maka alangkah beruntung para muslim yang kaya yang berkeinginan untuk berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seksual. Ada legalisasi dari agamanya untuk melakukan itu, sehingga paling tidak dia dan semua pihak yang membantunya tidak terkena beban psikologis akibat  ketakutan pada dosa berzina dan semua konsekuensinya meskipun dilihat dari bentuk perbuatannya sama saja.


Seorang teman tiba-tiba duduk di dekatku pada jarak sekitar dua meter untuk sebuah keperluan yang sudah kulupakan. Dia menyambar gitar yang ternyata rusak dan tidak bisa dimainkan, lalu terlihat mengelus-elus dagu. "Bro, cukur jenggot yang bagus gimana (di mana) ya? Jenggotku kurang terawat nih," celetuknya. Kulihat, dagunya memang ditumbuhi beberapa helai janggut. Tidak lebat tapi cukup panjang, sehingga kesannya tidak terawat.

"Dicukur habis saja, Mas. Pakai pisau cukur yang biasa," kutawarkan sebuah solusi.

"Wah, jangan Bro. Ini bidadari bergelayutan di sini."

Tanpa sengaja, aku bereaksi dengan meringis dan mengulang kata-katanya dengan nada mengejek. "Bidadariii???" Lalu aku diam dan buru-buru mengalihkan pembicaraan. Aku mungkin sudah menyinggung perasaannya meski tak bermaksud mengejek. Sesuatu yang sebenarnya kupikirkan adalah kenyataan bahwa temanku itu sudah punya seorang istri yang menurutku cantik. Tepat saat aku mengucapkan kata "bidadari" yang terakhir itu otakku menanyakan apakah bidadari masih berharga bagi seorang muslim yang telah mempunyai seorang istri dengan wajah menawan.

Beberapa waktu setelah itu aku merenung sendiri. Apakah sesuatu yang belum pasti, yaitu bidadari (_huur) yang dalam Islam dijanjikan untuk orang-orang saleh di surga nanti masih berharga ketika kita sudah punya istri? Tentunya istri kita adalah perempuan nyata yang sudah kita pilih dengan hati-hati yang telah kita pilih dengan sebaik-baiknya untuk menjadi pendamping sehidup semati. Mungkin ada landasan biologis yang menyatakan bahwa laki-laki cenderung untuk menyebarkan bibitnya sebanyak mungkin, dan karenanya lebih lazim laki-laki menginginkan banyak perempuan daripada perempuan menginginkan banyak laki-laki. Tapi ini di luar konteks. Muslim masuk surga tidak membawa jasad duniawi.

Adapun bidadari dalam Islam adalah makhluk Tuhan yang berwujud perempuan berdada besar dan bermata indah serta diciptakan dari cahaya khusus untuk menemani orang-orang Islam di surga nanti. Tidak hanya itu, bidadari juga selalu perawan, legal untuk disenggamai sepuas hati serta punya daya pikat yang luar biasa. Dikatakan bahwa seorang yang beradu pandang dengan makhluk bernama bidadari ini tidak akan berkedip empat puluh tahun lamanya karena terlalu terpesonanya (belum adegan ranjang yang lebih jauh dari itu). Bahkan, dari kisah yang lain dikatakan setiap muslim diberi tujuh puluh dua bidadari.

Percaya tidak percaya, muslim terpaksa harus percaya kendati ini absurd. Aku sih senang saja. Agamaku Islam, dan aku laki-laki (perempuan di surga tidak dapat fasilitas serupa). Masalahnya adalah, mitos tentang perempuan yang sempurna untuk disenggamai sebagai hadiah bagi orang-orang yang pandai menahan diri dari menggoda anak orang akan sangat mungkin muncul (atau dimunculkan) untuk mengatur masyarakat yang kaum laki-lakinya gila seks! Bagaimana kalau konsep tentang bidadari ini, walau pun tercantum dalam Al-quran dan Hadits, dimaksudkan untuk mengatur orang-orang yang gila seks supaya tidak mengganggu anak orang? Entahlah.

Secara pribadi tentu saja aku punya hasrat seksual, tapi tidak sedemikian parah sampai membayangkan adanya pelayanan seksual dari tujuh puluh dua perempuan yang tubuhnya sangat menawan dan selalu perawan seperti itu. Lagipula ketika kalau pun aku sudah punya istri, aku ingin konsisten dengan satu orang saja. Yah, meskipun tidak ada jaminan bahwa aku lantas tidak menginginkan yang lain. Maksudku, andai aku punya kemampuan untuk mengendalikan proses-proses biologis dalam tubuhku sendiri, aku lebih memilih mengarahkannya untuk tertarik ke satu perempuan saja daripada mengatur agar dapat menarik perempuan sebanyak-banyakya. Nah, kalian laki-laki muslim yang lain bagaimana?


Nama Y. B. Mangunwijaya bukannya tidak pernah saya dengar, hanya saja saya belum pernah menyempatkan diri untuk membaca cerpen-cerpennya. Malam ini adalah kedua kalinya saya berkunjung ke FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) ke-28 yang diselenggarakan di Taman Kuliner Condong Catur Yogyakarta, dan pertama kalinya memasuki bilik sastra. Saya mendengarkan pembacaan cerpen yang judulnya saya lupa, tapi cerpen tersebut mengisahkan tentang seorang lelaki tulen bernama Baridin dengan pekerjaan berkesan "miringnya" yaitu mengamen dengan dandanan perempuan.

Saya katakan pembacaan cerpen itu bagus, tapi sebatas karena saya menghargai mbak pembaca cerpen. Saya bukan seorang yang tahu tentang seni membaca cerpen. Akan tetapi terlepas dari itu, cerpennya sendiri mampu mengaduk-aduk perasaan. Jika cerpen-cerpen Kuntowijoyo membidik "realitas" yang terjadi dalam masyarakat (mungkin untuk membendung mulut-mulut yang matanya hanya melihat buku dan tidak melihat keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan) dari sudut pandang agama tanpa menggurui, maka cerpen yang mengisahkan Baridin ini sama sekali tidak memuat hal-hal berbau formalitas agama tertentu, tapi langsung memaparkan situasi tertentu.

Tokoh Baridin yang seorang pemuda berkulit hitam (laki-laki tulen) tapi harus menyulap dirinya menjadi sosok secantik mungkin, di samping harus menerima ejekan dan olok-olok orang yang tidak suka, hanya untuk mendapatkan uang dua ribu rupiah. Mestinya ada manusia yang mirip Baridin dalam cerpen Y.B. Mangunwijaya itu, dan saya langsung membayangkan satu di antara beberapa pengamen (laki-laki berpakaian seperti perempuan) yang biasa saya lihat di perempatan kota Jogja adalah sosok nyata dari tokoh fiktif Baridin.

Adalah menarik untuk menelaah keadaan seperti ini lebih jauh. Misalkan orang-orang seperti Baridin benar-benar ada, kita menganggap keberadaannya sebagai sebuah masalah sosial dalam masyarakat kita. Satu di antara beberapa pertanyaan yang bisa kita tanyakan adalah, bagaimana tanggapan orang-orang dari sudut pandangan agama terhadap sosok seperti Baridin?

Nah, terlepas dari itu semua. Saya harus mengacungkan jempol untuk cerpen yang dibaca malam hari ini.