twitter



Dalam video di atas, Dr. Naik memberikan tanggapannya terhadap teori evolusi. Tulisan kali ini dimaksudkan untuk memberikan kritik pada Dr. Naik dalam video di atas.

1. Dr. Naik tampaknya tidak membaca The Origin of Species, sehingga dalam penuturannya Darwin seolah ragu - ragu dalam mengungkapkan teori evolusi. Siapapun yang membaca The Origin Bab 6, akan menemukan bahwa Darwin mengakui adanya beberapa sanggahan terhadap teori yang amat kontroversial tersebut, tetapi ia kemudian memberikan tanggapan bagi sanggahan - sanggahan yang telah diajukan dengan menyuguhkan beberapa bukti "sederhana".

Misalnya, menurut laporan seorang bernama Hearne ada beruang di Amerika Utara yang mampu berenang berjam - jam dengan mulut menganga untuk mendapatkan makanan. Darwin berargumen bahwa dalam keadaan yang sangat ekstrim, ras beruang yang mempunyai kebiasaan seperti ini boleh jadi akan diubah oleh alam menjadi makhluk air seperti ikan paus.

Darwin menyuguhkan bukti - bukti tersebut secara meyakinkan, atau sekurang - kurangnya tidak seragu Darwin dalam gambaran Dr. Naik, meskipun argumen yang dia kemukakan relatif sederhana. Sains biologi di zaman Darwin masih sangat terbatas dibandingkan biologi abad ke-21, sehingga bukti dan argumen "sederhana" yang diajukannya dapat dimaklumi.

2. Teori evolusi yang dikatakan Dr. Naik adalah bahwa manusia berasal dari kera (kesalahpahaman seperti ini sudah mendarah daging sampai ke khalayak). Teori Evolusi tidak mengatakan bahwa manusia berasal dari kera, tetapi bahwa semua makhluk hidup berasal dari nenek moyang yang sama. Khususnya, manusia dan kera mempunyai nenek moyang yang sama.

3. Dr. Naik mengatakan bahwa Al-Quran menyatakan teori penciptaan, dan seolah - olah itu bertentangan dengan teori evolusi. Sebenarnya tidak harus, karena teori evolusi sendiri (sejauh pengetahuan saya) tidak berbicara tentang penciptaan makhluk hidup untuk pertama kali. Tetapi ia menyatakan bahwa makhluk hidup mengalami peubahan sedikit demi sedikit tiap generasi sehingga satu nenek moyang bisa mempunyai dua keturunan yang sangat jauh berbeda. Jika ditafsirkan dengan cara tertentu, beberapa ayat Al-Quran justru mendukung teori evolusi. Pembaca dapat merujuk pada Bab 9 buku "Islam's Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science" tulisan Nidhal Guessoum untuk penjelasan yang lebih rinci mengenai Al-Quran dan evolusi.

4. Dr. Naik mengatakan bahwa jika teori evolusi benar, maka ia akan dimasukkan dalam buku - buku ajar kedokteran. Implikasi ini tidak bisa dianggap benar. Pasalnya urusan seorang dokter adalah bagaimana membawa pasien menuju kesembuhan. Lalu apakah seorang dokter yang memahami teori evolusi (secara umum) lebih baik daripada dokter yang tidak meamahaminya? Tentu tidak, karena pengetahuan tentang teori evolusi (secara umum) tidak berguna dalam proses penyembuhan pasien. Jadi sangat wajar kalau teori evolusi tidak ada dalam buku - buku teks kedokteran. Kalaupun mahasiswa kedokteran harus belajar tentang teori evolusi, barangkali hal itu menyangkut tema yang sangat khsusus semisal bagaimana penyakit berevolusi dan menjadi kebal terhadap vaksin sebagaimana penuturan si pemuda dalam video di atas.

5. Dalam sains, "teori" tidak harus menempati derajat yang "rendah". Teori adalah suatu gagasan yang kemudian diuji kemampuannya dalam menjelaskan fenomena - fenomena alam. Contoh yang sangat bagus dalam hal ini adalah teori gravitasi Einstein. Selama lebih dari dua ratus tahun sebelum era Einstein, teori gravitasi (atau kadang - kadang orang menyebutya sebagai "hukum gravitasi") yang dikemukakan oleh Newton meraih kepercayaan yang sangat kuat di kalangan para fisikawan. Berbagai pengujian telah dilakukan sampai akhirnya teori tersebut gagal menjelaskan gerak "aneh" planet Merkurius. Singkat cerita, "keanehan gerak" planet Merkurius ini dapat dijelaskan oleh teori gravitasi yang dikemukakan Einstein. Dalam perkembangannya, teori tersebut juga berhasil lolos uji hingga saat ini. Namun para fisikawan masih menganggap teori Einstein itu sebgai sebuah "teori".

Sejauh saya tahu, teori evolusi bukan sekadar gagasan gila yang dijadikan dogma, tetapi bukti - bukti pendukungnya terus ditemukan. Meskipun dengan begitu tidak langsung menjadikan "teori" evolusi sebagai "fakta" evolusi. Point utamanya adalah bahwa teori evolusi tidak menempati derajat rendah sebagaimana yang telah digambarkan Dr. Naik dalam video di atas.

6. Si pemuda membuat kesalahan ketika mengatakan "highest honor" (kehormatan tertinggi) dan "...theory that is a fact..." (teori adalah fakta), seharusnya pemuda itu mengatakan sesuatu seperti "kehormatan yang tinggi". Ia juga mengambil langkah yang kurang tepat ketika mengambil teori gravitasi sebagai contoh. Jika ia melengkapi contohnya dengan mengatakan "teori gravitasi Einstein" dan melanjutkan penjelasannya sebagimana kritik nomer 5, dia bisa membuat argumen yang bagus. Sayang sekali, kesalahan pemuda ini oleh Dr. Naik digunakan untuk meruntuhkan mentalnya, mendapatkan tepuk tangan penonton dan mengakhiri debat.


Teorema No-Cloning adalah teorema matematis dalam fisika kuantum yang memberikan kesimpulan akhir bahwa kita tidak bisa memperoleh informasi apapun tentang vektor keadaan tanpa mengganggunya.

Misalkan kita punya keadaan kuantum yang tidak diketahui , untuk menyederhanakan permasalahan, mari kita membayangkan keadaan spin elektron dengan

...(1)
Dengan dan menyatakan peluang runtuh menjadi dan , keduanya  hendak dicari. Ketika kita melakukan pengukuran terhadap keadaan , keadaan tersebut akan runtuh menjadi i atau ii dengan peluang masing - masing dan . Akan tetapi karena telah runtuh, kita tetap tidak tahu apa - apa tentang dan . Karena kita tidak tahu bagaimana cara mempersiapkan keadaaan , maka kita hanya berharap bahwa keadaan tersebut bisa dijiplakkan ke elektron lain yang sebelumnya sudah diketahui. Dengan kata lain, misalkan kita punya satu elektron dengan keadaan yang tidak diketahui dan elektron lain dengan keadaan yang sudah dietahui, misalkan , maka kita berharap ada suatu cara untuk membuat keadaan elektron kedua berubah dari menjadi .

Secara matematis, ini berarti bahwa ada operator penjiplak yang bersifat uniter dan bekerja pada keadaan campuran sedemikian rupa sehingga berlaku
...(2)
Pemilihan sifat uniter operator penjiplak mempunyai dua alasan, yaitu kita tidak ingin menghilangkan informasi kuantum dan keadaan - keadaan pada kedua sisi persamaan (2) ternormalisasi. Oleh karena tidak ada alasan khusus yang mengharuskan hanya berlaku untuk beberapa keadaan kuantum saja, maka operator tersebut dianggap mampu menjiplak sembarang keadaan kuantum.

Misalkan menjiplakkan keadaan lain bagi elektron pertma ke keadaan elektron kedua yang diketahui , sedemikian rupa sehingga
...(3)
Maka dengan mengambil hasil kali skalar antara persamaan (2) dan (3), kita peroleh
,...(4)
yang menghasilkan
,...(5)
atau
...(6)
Dengan kata lain, "sejajar" atau "tegak lurus" dengan . Jadi operator yang kita harapkan mampu menjiplak sembarang keadaan kuantum itu tidak ada. Secara fisis, ini berarti bahwa secara matematis kita tidak diizinkan untuk mengetahui informasi apapun tentang keadaan kuantum tanpa menganggunya.



Sumber : Blumel, R., 2010,  Foundations of Quantum Mechanics ; From Photon to Quantum Computers, Jones and Bartlett Publishers, Sudburry, Massachusetts.


Pak doktor dari Jepang yang dua hari lalu memberikan workshop masalah image processing dalam fisika medis hari ini memberikan kuliah serupa, namun dalam versi yang lebih ringkas dan dengan peserta yang lebih banyak. Si mahasiswa berambut kusut itu pun turut mengikutinya.

Menurut daya tangkap si mahasiswa, gagasan inti yang disampaikan pak doktor itu adalah konsep yang disebutnya multidimensional image processing dalam fisika medis dapat dianggap sebagai ruang vektor. Pak Doktor juga menampilkan satu slide khusus yang berisi beberapa anak panah dengan ekor masing - masing anak panah bertemu. Hal itu menimbulkan kesan untuk memperkuat gagasannya. Namun kemudian beliau mengatakan bahwa satu anak panah tidak begitu bebas dari yang lain. Maka si mahasiswa bingung, andaikan benar bahwa objek yang diwakili oleh satu anak panah dijadikan sebagai salah satu anggota basis bagi ruang vektor yang sedang dibangun, maka masing - masing anak panah per-definisi harus saling bebas linier satu sama lainnya.

Selain itu, di akhir presentasi pak Doktor juga turut menampilkan beberapa slide presentasi yang diberinya judul "differential geometry". Slide - slide itu berisi beberapa rumus yang agaknya tidak asing bagi si mahasiswa. Ia tidak melihat rumus - rumus itu dengan jelas karena tempatnya duduk berjarak cukup jauh dari layar LCD, tapi ia yakin bahwa ia mengenal mereka. Matriks Hessian, kelengkungan Gauss, dan beberapa rumus khas geometri diferensal yang lain. Ketika pak Doktor menyinggung bahwa differential geometry digunakan dalam bidang fisika medis, dalam benak si mahasiswa pun muncul pertanyaan tambahan.

Maka ketika kesempatan kedua untuk bertanya diberikan oleh pak moderator, si mahasiswa kembali mengangkat tangan kanannya tinggi - tinggi. Setelah microphone diberikan, ia lalu berujar, "You showed a picture that contain some arrows, and you correlated some concepts in medical physics to a vector space. I'm sorry, I don't really understand medical physics because I'm not a medical physicist, but my question is are you sure that those arrows, are linearly independent each other in the mathematical sense? And my second question is, you showed us some differential geometry concepts and its relation to medical physics. So, how much we need differential geometry to do your research field? Arigato Gozaimasu."

Pak Doktor agak kebingungan sebentar seperti dua hari yang lalu. "Hm, are you asking a general question about medical physics?"

"Sorry, you showed us some arrows, and correlate it to vector space. But later you said that each arrow not really independent each other. If those arrows are not linearly independent each other then we can't regard them as multidimensional vector space." Balas si mahasiswa.

"They can be independent each other but not have to be in a linear way. It could be quadratic and so on.  Do you get my answer?"

"Waduh! ini maksudnya apa ya?" Batin si mahasiswa. Untuk mencegah kebingungan lebih jauh, mahasiswa memutuskan untuk mencukupkan diri dengan jawaban yang diberikan. "So, you said that they actually independent but shouldn't be in a linear way. Okay. And my second question, how much we need differential geometry in your field?"

"I don't really get your point. Do you mean how much we should understand mathematics or what?"

"I mean how much, or how deep or how far, we should understand differential geometry to do a research on your topics. As we know that in differential geometry, there are some concepts such as manifold theory, connection theory, fiber bundle and even more advanced concepts. Do we need those all?"

"Hmmm... The most important thing is to understand the main ideas, and to see wether there is some connections between math and medical physics. You don't need to understand each spesification."

Agaknya si mahasiswa sudah banyak memakan waktu, dan itu membuat pak moderator segera angkat bicara. "I think you should stop and give up the time for another question, and you can continue your discussion after this session is over."

"Hm, okay. Thank you very much." Si mahasiswa pun kembali duduk.

 
...

Ketika sesi coffe break berlangsung, si mahasiswa didatangi oleh pak moderator yang kemudian mengulurkan tangannya untuk dijabat. Kendati agak terkejut uluran tangan itu disambutnya juga.

"Sampeyan berarti orang teori ya?" tanya pak moderator.

"Iya Pak."

"Gimana? Tadi sudah ketemu orangnya apa belum?" Orang yang dimaksud pak moderator itu, tentu saja adalah pak doktor dari Jepang.

"Belum Pak. Kelihatannya beliau masih sibuk, mungkin nanti kalau sudah longgar saya akan menemui beliau."

"Tadi sepertinya bapak itu tidak begitu paham pertanyaanmu. Saya curiga kalau bapak itu mungkin hanya meminjam istilah saja dari matematika."

"Hm, mungkin," tanggap si mahasiswa singkat. Percakapan dengan pak moderator masih berlangsung hingga beberapa kalimat ke depan.

Sayang, sampai konferensi berakhir mahasiswa semester sembilan itu tidak mendapatkan kesempatan untuk bertemu pak doktor dari Jepang untuk melakukan konfirmasi lebih jauh.


Seorang mahasiswa iseng memasuki ruang workshop dengan tema image processing dalam fisika medis. Kendati tema yang dibahas tidak menarik perhatiannya, tetapi slide yang ditampilkan oleh pemateri saat itu membuatnya memutuskan untuk duduk barang sebentar di kursi baris paling belakang.
Saat itu, pemateri yang adalah seorang doktor dari Jepang, menyampaikan peralatan matematis yang digunakan sebagai dasar untuk mencitrakan organ tubuh tertentu (atau mungkin kanker). Tepatnya, pak Doktor sedang menyampaikan prinsip aksi terkecil, integral fungsional yang bergantung pada satu variabel dinamis dan turunan - turunannya hingga orde kedua, semacam itulah.
"Any question?" tanya pak pemateri di akhir sesi. Si mahasiswa ingin bertanya, awalnya dia agak ragu tapi kemudian ia mengangkat tangan kanannya tinggi - tinggi. Melihat itu, pak pemateri kemudian menyambung, "Yes, you."
Mahasiswa berbaju kusut itu lalu meraih microphone yang disodorkan padanya, dan setelah menyebutkan nama, ia mengajukan pertanyaan berikut, "My question is, why do you choose that kind of Lagrangian? As we know that there are so many Lagrangians that satisfy the same equation, i. e. Euler-Lagrange equation. Why do you choose that? What's the physical reason behind that?"
Pak pemateri kebingungan sebentar. "Well, that's a good question, but difficult to answer. Emm... There is no such physical reason, but it's just based on the result. Do you get my answer?"
"So, you mean that it's like trial and error, and if the result is good then you use it?"
"Yes."
"Okay, thank you."
...
Ketika sesi coffe break berlangsung, mahasiswa berbaju kusut yang rambutnya tidak disisir itu buru - buru mengambil bagian. Kopi panas yang tidak terlalu manis di sore hari yang berhawa dingin akibat hujan itu, baginya adalah surga dunia. Kopi sudah didapat, ia lalu mencari tempat untuk duduk. Kebetulan, di depannya tiga orang yang kira - kira berusia tiga puluhan sedang bercakap - cakap. 
Ketika si mahasiswa sedang menyeruput kopinya, salah satu dari ketiganya menengok dan menyapa.
"Mas? Sampeyan dari (nama kampus terkenal) ya?"
"Bukan pak. Saya dari (nama kampus)," jawab si mahasiswa.
"Sampeyan yang tadi tanya - tanya tentang Lagrangian itu kan? Atau bukan?"
"Iya pak."
"Semester berapa sekarang?"
"Saya semester sembilan pak."
"Semester akhir, sedang skripsi berarti? Pekerjaannya tentang Lagrangian itu?"
"Bukan pak. Saya cuma pernah belajar, tapi diinget - inget, begitu..." Diam sebentar, mahasiswa itu lalu balik bertanya, "Njenengan sendiri, asalnya dari mana pak?"
"Saya dari (nama kampus terkenal)."
"Jurusan fisika?"
"Fisika medis."
"Tapi itu masih satu rumpun dengan fisika? Atau bagaimana?"
"Sementara ini masih gabung dengan fisika, tapi nanti tahun 2016 rencananya kami akan membuat jurusan sendiri," kata bapak dari jurusan fisika medis itu sebelum kembali bercakap - cakap dengan teman - temannya. Tak lama kemudian, mereka menyelesaikan sesi coffee break mereka dan kembali ke ruang workshop. Sementara si mahasiswa kembali tenggelam dalam kenikmatan kopi panas di sore yang dingin itu...


Siapa nama filsuf yang ikut mengambil peran dalam cerita Spongebob?
Jawab : Plankton

Siapa nama filsuf yang suka menyendiri?
Jawab : John Dewe

Siapa nama filsuf yang menjadi salah satu tokoh antagonis dalam serial Dragon Ball?
Jawab : Piccollo Machiavelli

Siapa nama filsuf yang suka mabuk?
Jawab : Aristoteler

Siapa nama filsuf yang ditakuti kambing?
Jawab : Jean-Paul Sate

Siapa nama filsuf yang sering lupa makan?
Jawab : Epicurus

Siapa nama filsuf yang suka omong kosong?
Jawab : Francis Bacot

Siapa nama filsuf yang suka main skak?
Jawab : Cathur Schopenhauer

Siapa nama filsuf yang hafal semua kosakata?
Jawab : Albert Camus

Siapa nama filsuf yang suka berenang?
Jawab : I. Kant

Apa nama kelompok filsuf yang anggota - anggotanya suka teriak keras - keras?
Jawab : Kelompok "SeToa"


Mengambil mata kuliah "Optika" untuk yang ketiga kalinya dengan dosen yang selalu sama tidak lantas membuatku mampu memahami materi yang disampaikan bu dosen. Siang ini adalah pertemuan ketiga mata kuliah tersebut. Kuliah diawali dengan kuis berisi lima pertanyaan berikut :
1. Jelaskan sifat dualisme gelombang cahaya.
2. Tuliskan bentuk diferensial persamaan Maxwell.
3. Gambarkan berkas cahaya sferis dan datar.
4. Apa pengertian optiks secara koherensi.
5. Tuliskan persamaan Hukum Gauss untuk elektrostatistika dan magnetostatistika.

Jawaban - jawaban yang kuberikan bagi kelima pertanyaan di atas adalah sebagai berikut :
1. Sifat gelombang cahaya jika diamati menggunakan radas "pendeteksi" gelombang dan partikel jika diamati menggunakan radas "pendeteksi" partikel.
{Catatan : "Radas" adalah istilah Indonesia untuk "apparatus".)

2. Karena tidak disebutkan kondisi persamaan Maxwell yang diminta, maka kutulis yang paling sederhana. Empat persamaan Maxwell dalam ruang hampa dan tidak ada sumber. Beres!

3. Aku menggambar ilustrasi lilin berikut garis - garis radial yang memancar dari nyala api lilin tersebut sebagai gambaran berkas cahayanya. Untuk berkas cahaya datar, aku menggambar beberapa garis yang kira - kira lurus dan sejajar sejajar. Lanjut.

4. Aku tidak tahu apa makna yang terkandung dalam frase "optiks secara koherensi" itu. Sekali lagi, "optiks secara koherensi". Konsep yang menyerempet frase tersebut juga belum ada di otakku. Jadi aku hanya menulis kembali pertanyaannya di lembar jawabanku, dan membubuhkan tanda "?" di bawahnya.

Ketika ada mahasiswa yang mengatakan bahwa "optiks yang koherensi" itu adalah "fase sama tetapi frekuensi tidak perlu sama" (setelah kuis selesai), hampir semua mahasiswa/i lain memberi tepuk tangan. Bu dosen membenarkan jawaban itu, dan berita buruknya aku masih tidak paham.

5. Perintahnya adalah untuk menuliskan persamaan matematis yang menyatakan hukum Gauss untuk elektrostatistika dan magnetostatistika, tetapi aku menuliskan persamaan matematis yang menyatakan hukum Gauss untuk "elektrostatika" dan "magnetostatika". Semoga tidak salah.

Setelah kuis kuliah dimulai, dari sinilah bagian yang membuatku frustasi berawal. Bu dosen mangatakan bahwa materi hari ini adalah seputar Deret Fourier, beliau lalu menyuruh semua mahasiswa menulis tentang apa itu deret Fourier dan gunanya dalam fisika. Aku lupa - lupa ingat tentang Deret Fourier karena sudah lama tidak kusapa. Kendati demikian, dengan mengumpulkan semua ingatan yang tersisa tentang bahasan tersebut, secara spontan aku masih bisa menulis

"Deret Fourier adalah deret yang menjabarkan, merajah, mengekspansikan fungsi - fungsi periodik dengan syarat - syarat tertentu sebagai jumlahan takhingga fungsi - fungsi periodik sederhana. Deret Fourier ditemukan oleh Jean Baptiste Joseph Fourier. Berguna untuk menyederhanakan persoalan yang melibatkan fungsi periodik 'rumit'..."

yang sebelum sempat kuselesaikan, kulihat seorang mahasiswa sudah berada di depan papan tulis untuk menuliskan rumus berikut :
Bu dosen lalu menambahkan bahwa rumus di atas berlaku untuk n buah partikel. Jadi sebenarnya kita sedang membicarakan n buah partikel ketika berbicara mengenai Deret Fourier. Untuk satu partikel, tambah bu dosen lagi, rumus yang berlaku adalah sebagai berikut :
Aku hanya bisa mengikuti keterangan sampai di sini, otakku terlalu bebal untuk mencerna konsep - konsep asing itu. Konon, IPK bu dosen adalah 3,8. Jadi kusimpulkan bahwa kalau mahasiswa yang tidak bisa mengikuti keterangan beliau, seperti aku ini, maka tugas mahasiswa itu adalah untuk berusaha jauh lebih keras lagi.

Pasca keluar dari ruang kuliah, aku hanya bisa mengeluh tanpa henti. Frustasi!


Pagi ini, dengan bertemankan segelas kopi panas, saya membaca buku "A Mathematician's Apology" tulisan G. H. Hardy bab 12. Hardy memberikan contoh teorema sederhana dalam teori bilangan di bab tersebut, yaitu teorema ketakhinggaan jumlah bilangan prima. Saya pun tertarik untuk menuliskannya di sini.

Teorema : Bilangan prima berjumlah takhingga.

Bukti : Andaikan ada suatu bilangan prima terbesar P, sehingga (2,3,5,...,P). Didefinisikan suatu bilangan Q yang diperoleh melalui rumus

Q = (2.3.5....P) + 1
Jelas bahwa Q tidak habis dibagi bilangan - bilangan 2,3,5,...,P karena akan menghasilkan sisa 1. Akan tetapi jika Q bukan bilangan prima, maka Q habis dibagi bilangan prima yang lebih besar dari P. Hal ini bertentangan dengan pengandaian awal bahwa P adalah bilangan prima terbesar. Q.E.D


Sekolahku dulu adalah pondok pesantren. Tak heran jika ilmu agama yang kupelajari dari sana jauh lebih banyak daripada ilmu umum, khususnya fisika. Aku juga ingat bahwa guru - guru fisikaku bukan orang yang mampu mengajar fisika dengan baik. Dalam arti, sekurang – kurangnya seperti yang kuharapkan jauh di kemudian hari ketika aku telah mengenal fisika dengan baik.

Cara mereka mengajarkan fisika (dan kemungkinan kebanyakan guru fisika) menyiratkan kesan bahwa fisika adalah suatu upaya menghafal rumus, lalu melakukan perhitungan dengan rumus itu jika beberapa besaran yang dibutuhkan sudah diketahui. Permainannya tinggal bagaimana mengotak – atik rumus itu untuk menjawab soal ujian.

Aku ingat salah seorang guru fisikaku waktu itu menjelaskan perihal gravitasi. Beliau mengatakan sesuatu seperti ini : “Bumi dan bulan mempunyai gaya tarik yang disebut gravitasi. Itulah kenapa bulan dan bumi tidak pernah saling menjauh”. Ketika itu aku sangat kesulitan membayangkan pernyataan ini benar. Jika bulan dan bumi saling menarik, maka keduanya akan saling mendekat dan akhirnya bertabrakan, tetapi nyatanya hal itu tidak terjadi.

Ketika aku mengajukan keberatan ini, guruku menjawab dengan mengambil analogi lomba tarik tambang. Jika ada dua orang yang melakukan tarik tambang dan keduanya sama – sama kuat, maka salah satu tidak akan tertarik menuju yang lain. Gerak yang mungkin bagi kedua orang itu adalah ke sisi kiri atau kanan, yang berarti melingkar jika diteruskan.

Sesaat aku menerima penjelasan ini, tetapi kemudian muncul keberatan lain. Sebelumnya guruku menjelaskan bahwa gravitasi antara dua buah benda berbanding lurus dengan massa keduanya. Padahal massa bulan dan bumi sangat jauh berbeda, jadi analogi lomba tarik tambang itu tidak dapat dipakai. Tapi aku tidak membantah lebih jauh, sebab aku terlampau bingung. Aku justru mendapatkan jawaban atas keberatanku itu jauh di kemudian hari lewat ensiklopedia sains yang kudapatkan di perpustakaan daerah.

Begitulah, aku kemudian mempercayakan keterangan fisika yang hendak kupelajari pada ensiklopedia. Bagiku saat itu, ensiklopedia adalah jenis buku terbaik untuk dibaca ketika aku hendak memahami sesuatu, terlebih lagi fisika. Ensiklopedia menyajikan informasi ringkas namun padat, pun juga tidak memuat banyak persamaan matematis. Aku suka matematika, tetapi saat itu persamaan matematis yang digunakan untuk menggambarkan fenomena fisis sangat susah untuk dicerna.

Bicara soal ensiklopedia, perpustakaanku mempunyai beberapa koleksi ensiklopedia yang bagus. Aku meluangkan waktu setiap jam istirahat untuk membacanya, sejak aku mengenal ensiklopedia sains aku berniat mengkhatamkan koleksi perpustakaanku itu. Dikandung maksud agar aku lolos ujian nasional pada mata pelajaran fisika dengan gemilang, sebab skor try out fisika yang didapatkan kakak kelasku pada periode sebelumnya sangat rendah.

Aku segera merasa aneh dengan tindakanku itu. Bahasan yang tertulis dalam ensiklopedia itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan materi ujian nasional. Aku bahkan sama sekali asing dengan tulisan – tulisan di dalamnya. Aku membaca tulisan tentang teori relativitas umum yang disertai beberapa analogi ‘manusia pentol korek’, aku juga membaca tentang partikel elementer yang dilengkapi gambar seorang tokoh berkacamata tebal.

Saat itu aku tidak kenal tokoh ‘partikel elementer’ tersebut, namanya pun asing, karena dia tokoh fisika abad kedua puluh. Sementara nama – nama fisikawan yang sering disebut guruku di kelas adalah nama – nama orang abad kesembilan belas ke belakang seperti Faraday, Newton, Keppler dan sebagainya. Jauh di kemudian hari aku baru sadar bahwa tokoh berkacamata tebal itu adalah Stephen Weinberg semasa muda.

Kendati sama sekali tidak nyambung dengan materi yang diujikan dalam ujian nasional dan hampir sama sekali tidak paham dengan apa yang dibicarakan di ensiklopedia itu, aku justru meneruskan kegiatan membacaku. Setidaknya, ada bagian – bagian yang bisa kupahami dan terkait langsung dengan kegemaranku mengimajinasikan hal – hal berbau teknologi modern. Misalnya pada keterangan tentang plasma, dalam ensiklopedia tersebut dikatakan bahwa plasma dapat digunakan untuk memotong baja dengan mudah sebagaimana pisau panas memotong mentega, akan tetapi orang punya kesulitan dengan cara untuk mengendalikan plasma ini. Aku segera membayangkan bahwa jika aku dapat mengendalikan plasma, maka aku bisa membuat senjata sebagaimana pahlawan – pahlawan super dalam komik. Hal – hal semacam itulah yang pada giliran berikutnya memberiku semangat untuk terus membaca ensiklopedia tersebut.

Akhirnya, aku menyimpulkan bahwa fisika yang diajarkan padaku di sekolah adalah fisika yang salah. Kendati tidak mendapat banyak pemahaman berarti, tetapi dari ensiklopedia itu aku mendapatkan keyakinan bahwa fisika yang sebenarnya bukanlah fisika yang dikatakan guru sekolahku. Fisika bukanlah usaha untuk menghafal rumus yang susah, tetapi ia adalah upaya untuk memahami cara kerja “benda – benda” di sekitar kita. Dengan keyakinan itu, aku bertekad untuk belajar fisika dengan lebih serius.

Semangat yang kudapatkan dari ensiklopedia itu terus berkobar sampai sekarang, ketika aku telah menjadi mahasiswa jurusan fisika semester sembilan yang malas mengejar kelulusan karena terlalu asyik belajar...


Pernahkah anda menyaksikan film “Predestination”? Film tersebut bercerita tentang perjalanan seorang penjelajah waktu yang cerita secara keseluruhan dapat diringkas sebagai berikut :

Seorang bayi perempuan ditemukan di depan sebuah panti asuhan dan dibesarkan di sana. Pemilik panti asuhan memberinya nama “Jane”. Jane tumbuh menjadi gadis remaja yang cerdas dan bertubuh kuat layaknya laki – laki, tetapi dianggap berkepribadian aneh sehingga tidak ada seorang laki – laki pun yang mau bersamanya. Suatu malam, Jane bertemu pria asing yang secara aneh dapat membaca pikirannya. Mereka berdua merasa saling cocok sampai singkat cerita melakukan hubungan seksual sehingga Jane mengandung. Kendati demikian, identitas si pria masih misterius. Suatu malam, pria itu berkata pada Jane bahwa ia hendak meninggalkannya sebentar, tetapi kenyataannya, Jane kehilangan dia selamanya. Pria itu menghilang secara misterius semisterius identitasnya.

Berbulan – bulan kemudian, Jane melahirkan anak hasil hubungannya dengan pria misterius itu di sebuah rumah sakit. Pasca kelahiran bayinya, dokter memberitahu Jane bahwa dia mempunyai kelainan kelamin. Rahimnya harus diangkat akibat kelahiran bayi tersebut, tetapi dia mempunyai cikal bakal kelamin laki – laki dalam tubuhnya. Karena Jane masih muda, ada kemungkinan bahwa cikal bakal itu tumbuh menjadi kelamin  laki – laki sungguhan, dan dia bisa melanjutkan hidupnya sebagai seorang laki – laki. Karena tidak punya pilihan lain, maka Jane menerima tawaran sang dokter untuk berganti kelamin. Keseluruhan proses memakan waktu beberapa bulan.

Di tengah proses itu bayi yang dilahirkan Jane diculik orang, dan apapun upaya yang telah dia lakukan untuk menemukannya berbuah kegagalan. Dalam keadaan frustasi itu, Jane yang sudah menjadi laki - laki pindah ke Kota New York dan mengubah namanya menjadi “John”.

John mulai minum – minum di bar untuk meredam frustasinya. Suatu malam, John bertaruh untuk mendapatkan sebotol bir secara gratis dari bartender di bar itu jika dia bisa menceritakan suatu kisah yang dapat membuat si bartender terkesan. John kemudian mengatakan bahwa ia ingin sekali membunuh pria misterius yang sudah membuatnya menderita itu. Jadi ia terima tawaran si bartender yang kemudian mengajaknya menembus ruang-waktu, kembali ke tempat pertemuan John ketika masih menjadi Jane dan bertemu dengan si pria misterius.

Bartender itu ternyata seorang penjelajah waktu dari masa depan yang menjalankan suatu misi, yakni mencegah seorang teroris bergelar “Fizzle Bomber” untuk melakukan aksinya. Setelah memberi John sepucuk revolver sebagai senjata, si Bartender lalu meninggalkan John untuk beberapa lama, ia menembus ruangwaktu untuk kembali ke misinya, menggagalkan si teroris. Sayangnya si bartender gagal, dia hanya menemukan seseorang dengan luka bakar, hendak menggapai – gapai sebuah benda. Karena amat mengenali orang yang terbakar itu, dia lalu menyerahkan benda yang hendak digapainya, dan pergi dengan keterkejutan.

Di sisi lain, John tidak menemukan pria misterius yang ingin dibunuhnya sejak awal. Dia justru bertemu dengan Jane, dirinya di masa lampau ketika masih menjadi seorang perempuan tulen. John tahu bahwa Jane dianggap aneh dan tidak pernah mendapatkan cinta laki – laki. Pada akhirnya John mencintai Jane dan setelah berkencan, keduanya melakukan hubungan seksual yang berujung pada hamilnya Jane.

Si Bartender baru menampakkan batang hidungnya lagi ke ruangwaktu yang tidak jauh setelah itu. Ketika John dan Jane duduk berdua di bawah sebuah pohon, dia memberi isyarat pada John agar menemuinya tanpa sepengetahuan Jane. John kemudian mengatakan pada Jane bahwa dia akan pergi sebentar. Tahulah John bahwa pria misterius yang hendak dibunuhnya itu adalah dirinya sendiri yang pergi ke masa lalu. Bartender mengatakan bahwa John bisa membuat pilihan untuk menembak dirinya sendiri saat itu, tapi tidak dilakukan.

Si Bartender menyesali pilihan John itu, ia lalu menembus ruangwaktu, menculik bayi yang dilahirkan oleh Jane, kembali ke masa lalu dan menaruhnya di depan pintu panti asuhan. Ternyata bayi Jane itu adalah calon Jane dan John.

Sementara itu, alih – alih membunuh dirinya sendiri John justru menerima tawaran kedua Si Bartender, yakni untuk menggantikannya menjadi agen rahasia penjelajah waktu. Tugas utama Agen John adalah untuk menghentikan kejahatan sebelum terjadi. Pada misi ke sekian kali, Agen John gagal menghentikan bom yang hendak meledak. Bom itu sudah dimasukkan ke dalam koper khusus sehingga ledakannya tidak mengakibatkan kerusakan besar, tetapi naasnya wajah dan sebagian besar bagian tubuh Agen John terbakar.

Dalam keadaan sekarat, Agen John menggapai – gapai mesin waktu yang biasa dia gunakan untuk menjelajah. Saat itu ia melihat Si Bartender yang kemudian menyelamatkannya dengan cara mendekatkan mesin waktu itu sehingga terjangkau oleh Agen John sebelum akhirnya dia pergi dengan wajah terkejut. Agen John mengerahkan sisa kesadarannya untuk menembus waktu, kembali ke kantor tempat dia bekerja sebagai agen rahasia dan mendapat pertolongan. Singkat cerita, luka bakarnya sembuh, tetapi wajahnya harus dicangkok sehingga dia mendapat wajah baru.

Sembuh totalnya Agen John membuat atasannya menugaskannya kembali, untuk yang terakhir kali. Agen John diharuskan kembali ke masa lalu untuk menghentikan pengeboman yang dilakukan Fizzle Bomber.  Dia harus menyamar menjadi seorang bartender di sebuah bar. Dari situlah dia kemudian bertemu dengan John, dirinya yang berasal dari masa lalu. Setelah mendengar cerita naas John, Agen John merasa iba dan menawari John untuk membunuh pria yang telah menghancurkan hidupnya. Jadi bartender itu adalah John dari masa depan yang lebih jauh.

Adapun Si Bartender yang pensiun itu, memilih ruang dan waktu di “dekat” peristiwa pengeboman yang dilakukan “Fizzle Bomber” untuk menikmati masa pensiunnya. Dia lalu merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mesin waktunya gagal dinonaktifkan, artinya status agen rahasia masih dia sandang. Setelah meneliti beberapa berkas mengenai pengeboman yang menjadi kasusnya, dia menyadari bahwa salah satu tempat yang menjadi lokasi pengeboman di masa depan, saat itu belum dibom. Jadi Bartender memutuskan untuk pergi ke sana dan menemukan pelakunya.

Benar saja, di lokasi tersebut Fizzle Bomber sedang duduk. Rupanya dia sudah tua, dan yang paling mengejutkan adalah bahwa Fizzle Bomber itu adalah Si Bartender yang sudah tua. Dia mengatakan bahwa dirinya melakukan beberapa aksi terorisme untuk menyelamatkan banyak nyawa. Bomber menunjukkan bukti klipping koran dari masa depan yang tidak pernah terjadi karena sudah dia cegah dengan aksi bomnya. Terakhir, dia mengatakan bahwa untuk menjadi dirinya, Si Bartender harus membunuhnya, tetapi itu tidak harus dilakukan. Mendekati akhir cerita, Si Bartender menembakkan beberapa peluru dari revolvernya untuk mengakhiri hidup Fizzle Bomber.

...

Awalnya saya mengira bahwa alur film “Predestination” ini dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah paradoks perjalanan menembus waktu, yakni jika seorang anak pergi ke masa lalu dan membunuh orang tuanya sebelum ia lahir. Untuk membunuh orang tuanya sendiri sebelum ia lahir, anak itu harus kembali ke masa lalu. Sementara untuk kembali ke masa lalu dia harus lahir terlebih dahulu. Akan tetapi dia belum sempat lahir karena orang tuanya dibunuh lebih dulu, dan seterusnya. Di sinilah letak paradoksnya.

Di sisi lain, film tersebut bercerita tentang satu orang yang mengalami lingkaran sejarah tanpa putus. Seseorang yang berganti kelamin dari perempuan menjadi laki – laki, kembali ke masa alalu untuk berhubungan seksual dengan dirinya sendiri sewaktu masih perempuan hingga perempuan itu mengandung dan melahirkan bayi yang ternyata adalah dirinya sendiri.

Hal ini tentu menyangkal perkiraan awal saya. Alur film ini tidaklah menyelesaikan masalah paradoks perjalanan menembus waktu, tapi justru merupakan salah satu pengejawantahan paradoks tersebut, bahkan ceritanya jauh lebih rumit daripada “seorang anak yang kembali ke masa lalu untuk membunuh orang tuanya sebelum dia dilahirkan”. Bagi pengetahuan fisika yang ada sekarang, kejadian sebagaimana kisah hidup Jane adalah sesuatu yang mustahil. Bukan karena kejadian itu belum terjelaskan oleh konsep – konsep yang ada, melainkan kejadian itu sendiri adalah paradoks. Susah membayangkan kisah hidup Jane menjadi sesuatu yang nyata, menggunakan teknologi masa depan yang canggih sekalipun. Fizzle Bomber ada karena bayi Jane ada, tapi Bayi Jane ada karena adanya Fizzle bomber.

Pertanyaannya adalah, bagaimana bayi Jane (atau Fizzle Bomber) yang pertama kali ada? Jika saja pertanyaan seperti itu bermakna...

Jane.
John dan Bartender bertemu "untuk yang pertama kalinya".
Bartender menyelamatkan Agen John.
Jane dan John.

Bartender membawa bayi Jane ke sebuah panti asuhan.

Fizzle Bomber.



Udara panas yang datang bersama bulan Agustus menerobos jendela kamar kos dan menerpa wajahku. Hampir pukul dua belas siang, aku masih terpaku di depan layar laptop semenjak dua jam yang lalu. Aku tengah memberi sentuhan – sentuhan akhir bagi skripsiku agar menjadi skripsi yang sempurna, menurut kriteriaku sendiri.

Pintu kamar kubiarkan terbuka lebar, awalnya kumaksudkan agar ruangan yang relatif sempit itu sedikit lebih sejuk. Akan tetapi buah pikiran itu justru memberi kesempatan bagi teman kosku, yang kebetulan kuliah di jurusan yang sama lagi seangkatan denganku, tiba – tiba masuk. Mungkin dia sudah memperhatikanku selama beberapa saat, hanya aku saja yang tidak sadar.

“Kamu nggak ke kampus?” tanyanya. Pertanyaan itu sempat membuatku bingung, sebab kalau diperhatikan raut wajahnya tidak mencermikan keinginan untuk berbasa – basi. Dilihat dari dandanannya yang rapi, dapat disimpulkan bahwa ada suatu acara tertentu di kampus yang informasi mengenainya terlewatkan olehku.

“Memangnya adal apa Min?” tanyaku pada Wagimin dengan raut muka bego. “Aku nggak ada kegiatan di kampus hari ini.”

“Lho... Kamu ini bagaimana ta? Beberapa teman kita kan tadi diwisuda. Upacara formalnya sudah selesai, sekarang waktunya menjalankan tradisi, ngasih bunga sama foto bersama.”

“Pantas saja,” kataku dalam hati. Terjawab sudah, aku tidak harus bertanya balik mengenai alasan di balik kerapian Wagimin.

“Heh, kok malah bengong. Ayoh, gek ndang ganti klambi trus mangkat.”

“Apa? Aku nggak ke kampus kok.”

“Kamu nggak mau ngasih selamat ke teman – teman kita, khususnya yang seangkatan?”

“Untuk?”

“Ya atas diwisudanya mereka semua. Tahu nggak? Teman angkatan kita bahkan ada yang menyandang gelar cum laude, dua orang lagi. Wati dan Eko, keduanya beda tipis, masing – masing selesai dengan IPK 3,79 dengan masa studi tepat tiga tahun delapan bulan dan 3,80 dengan masa studi tepat tiga tahun sembilan bulan. Baru kali ini lho, jurusan fisika kita mendapat cum laude dobel. Pantas dong dikasih selamat.”

Aku hanya menggaruk – garuk kepala mendengar penuturan Wagimin. Tiba – tiba saja kulit kepalaku terasa gatal kendati aku yakin seratus persen bahwa aku tidak berketombe.

“Kamu tahu judul skripsi Wati dan Eko?” tanyaku, kali ini dengan mimik yang lebih serius.

“Iya.” Wagimin menyebutkan judul skripsi yang sudah diselesaikan oleh Wati dan Eko, keduanya sangat panjang sehingga tidak perlu kusebutkan kembali. Ia juga tidak lupa memuji kedua teman seangkatanku yang sudah lulus itu dengan mengatakan bahwa mereka menyelesaikan tugas akhirnya hanya dalam waktu satu bulan.

Well, aku pernah mencari judul – judul skripsi yang menarik di perpustakaan pusat. Sudah ada beberapa judul yang mirip dengan punya Wati dan Eko. Seingatku bahkan hampir sama, dan kalau tidak salah, hanya obyek penelitiannya saja yang berbeda.”

“Itu nggak jadi masalah, sebab tidak melanggar aturan kampus. Selebihnya, cepat selesai kan keren!”

“Cepat lulus kan berarti masa belajar di kampus lebih singkat daripada yang tidak. Masalahnya, apakah bisa dipastikan bahwa mahasiswa yang lulus cepat itu berarti mahasiswa yang mampu menyerap pengetahuan yang sama banyak, sama berat, tetapi lebih cepat daripada mahasiswa yang tidak segera lulus? Kalau IPK kan asalnya dari kumpulan nilai, dan yang berhak memberi nilai adalah dosen. Seperti yang pernah kukatakan, nilai tinggi untuk suatu mata kuliah bagi seorang mahasiswa tidak langsung berarti bahwa mahasiswa itu betul – betul menguasai mata kuliah yang bersangkutan.”

“Haisssah! Kok malah ngajak debat. Sudah, ayo berangkat.”

Aku hanya meringis menanggapi ajakan tak sabar dari kawanku itu, dan baginya gigi – gigiku sudah menunjukkan penolakan bagi ajakannya barusan dengan jelas. Dia pun segera ngeloyor pergi.

“Dasar orang aneh! Tukang debat!” umpatnya.



Ketika aku sedang duduk merenung di lobby fakultas MIPA, seseorang yang terlihat bingung mendatangiku. Raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia hendak mengajukan suatu pertanyaan yang membosankan.

“Maaf Mas, mau tanya. Ruang dosen di sebelah mana ya?”

Benar kan?

“Ada di lantai dua. Kamu mau cari dosen jurusan apa?” Aku bertanya balik. Entah kenapa, spontan saja pertanyaan itu meluncur dari lidahku. Basa – basi tanpa sengaja, mungkin.

“Fisika Mas,” jawabnya

“Oh, kamu pasti maba.”

“Benar. Mas sendiri, jurusan apa?”

Orang di hadapanku ini tidak akan mungkin membuat perkiraan tentangku sebagaimana perkiraanku terhadapnya, bahwa aku adalah mahasiswa baru seperti dia. Karena salahku juga (yang mengawali basa - basi), sepertinya percakapanku kali ini akan sedikit lebih panjang.

“Fisika juga.” jawabku singkat.

“Kebetulan. Semester?”

“Tiga belas,” aku menjawab dengan tenang, dan jujur. Memang, saat ini aku telah menjadi mahasiswa tingkat “legendaris”. Sampai tahun terakhir pra-DO (yaitu tahun ini) pun, aku masih harus mengulang beberapa mata kuliah. Aku, adalah anggota MAPALASSKA alias MAhasiswa PAling LAma univerSitaS ...K...A (titik – titik silakan diisi sendiri).

Tiba – tiba dia tersenyum simpul, dan tak kusangka dia melontarkan pertanyaan lancang. “Berarti Mas bego dong?”

“Ya, dalam hal mengumpulkan nilai dari dosen!”

Aku pun tersenyum simpul juga, dalam hati. Jangan dikira kalau aku akan tersinggung lantas marah - marah karena tidak siap menjawab pertanyaan seperti itu.

“Lho, bukankah nilai itu mewakili kemampuan seseorang dalam menguasai ilmu yang bersangkutan? Bukankah, kalau nilai seseorang jelek, kemampuannya juga jelek? Begitu pula sebaliknya.”

“Ha ha ha!” Gelak tawa singkatku pun membahana.

“Well, itu sama sekali tidak benar. Contoh gampangnya sangat mudah untuk diberikan, misalkan kamu sangat pandai tapi sama sekali tidak mengikuti ujian. Maka kamu punya kemampuan yang sangat bagus tapi nilaimu nol,” paparku.

Aku belajar beberapa trik ‘bagaimana berpikir’ benar dari buku – buku logika, sehingga tidak sulit bagiku untuk menemukan kesalahkaprahan masalah hiruk – pikuk kampus seperti yang tersirat dalam ungkapan orang di depanku ini. Penyetaraan “nilai” dengan “kemampuan” jelas salah.

“Kamu sudah tahu sistem belajar-mengajar di perguruan tinggi?”

Seraut wajah yang menampakkan kecerdasan terpendam itu mengangguk.

“Begini, berdasarkan aturan yang telah berlaku, seorang mahasiswa dinyatakan lulus untuk suatu mata kuliah jika dia bisa mendapatkan nilai, katakanlah, C atau yang lebih tinggi dari itu. Tentu saja label “C atau yang lebih tinggi” ini diberikan oleh dosen yang bersangkutan, meskipun berdasarkan kontrak belajar yang telah disepakati sebelumnya. Dengan praanggapan bahwa dosen tersebut tidak mempunyai cacat dalam penilaian, kita masih dapat mempertanyakan apakah porsi materi yang disampaikan si dosen sudah tepat atau belum. Misalkan hampir semua mahasiswanya mendapat nilai jelek, jangan – jangan bukan karena mereka kurang cerdas, melainkan porsi kuliahnya terlalu banyak. Sebaliknya, jika hampir semua mahasiswanya mendapat nilai bagus, jangan – jangan materi dari si dosen terlalu sedikit dan akhirnya terlalu mudah.”

“Aku yakin, rata – rata temanmu menganggap ujian nasional matematika sangat mengerikan, tapi situasinya akan berbalik seratus delapan puluh derajat jika soal – soalnya diganti matematika SD. Penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pecahan, dan sebagainya.”

“Selain itu, untuk seorang mahasiswa yang mendapat nilai jelek, kita juga masih bisa mempertanyakan apakah mahasiswa itu memang tidak menguasai materi atau sekadar tidak berminat mendapat nilai. Kemungkinan kedua memang terdengar aneh, tapi sangat mungkin terjadi. Seperti yang telah kusinggung tadi, mahasiswa yang sebenarnya pandai pun pasti akan mendapat niai jelek kalau dia sama sekali tidak mengikuti ujian, apalagi tidak pernah mengumpulkan tugas dari dosen.”

Maba itu tidak menanggapi lebih jauh, senyum simpulnya berubah kecut. Ia hanya ngeloyor pergi setelah berpamitan singkat. Kudengarkan derap langkah kakinya menapaki tangga gedung yang menghubungkan lobby dengan lantai dua itu dengan penuh perhatian.

“Well... Sampai jumpa lagi di kelas Fisika Dasar, gadis lancang,” kataku dalam hati.


“Apa itu?” tanyaku pada seorang adik kelas setelah melihat sebuah “dokumen” bersampul mika berwarna merah jambu di tangannya. “Coba pinjam,” pintaku pada gadis bergigi gingsul yang masih duduk di bangku kuliah semester empat itu.

“Tugas makalah Mas. Besok jam sembilan pagi harus dikumpulkan,” katanya sebelum benda itu sempat beralih tangan.

“Oh ya? Aku kok tidak tahu. Memangnya makalah seperti apa apa yang harus dikumpulkan?” Kebetulan aku juga mengambil mata kuliah yang sama. Jadi tugas itu berlaku untukku juga. Akan tetapi kurang update perkara tugas dosen, jadi tugas penyusunan makalah itu luput dariku.

“Membuat makalah tentang perangkat listrik alamiah dan buatan. Bapak ngasih tugas ini baru kemarin,” papar adik kelasku yang lain.

“Tugas akhir, hiu kepala martil dan...” Aku membaca judul makalah bersampul pink itu. Penggal pertama judulnya sedemikian mengesankanku sehingga sampai beberapa bulan ke depan, yakni ketika aku menuliskan cerita ini, aku masih dapat mengingatnya dengan jelas.

“Ini bikin sendiri?” tanyaku.

Si gigi gingsul pun tersenyum sehingga gigi gingsulnya makin terlihat dengan jelas. Dia memahami maksud pertanyaanku itu dan hanya mengatakan “Yaaa...” untuk menjawabnya.

Setelah membolak – balik beberapa halaman, aku menyimpulkan jawaban atas pertanyaanku barusan. “Copy-paste to ternyata?”

“Tapi yang depan doang Mas! Bagian belakangnya nggak.”

Aku lalu berpaling pada semua adik kelas yang duduk di depanku. “Kalian nggak ngerasa gimana gitu dengan tugas semacam ini?”

“Gimana... Gimana maksudnya Mas?”

Well, tugas makalah itu kalau mau diseriusi sulit. Setidaknya, butuh waktu yang relatif lama untuk mengerjakannya. Menentukan tema, mencari referensi, mengutip sana-sini, merangkai kutipan sampai menjadi tulisan yang baik. Sementara kita hanya diberi waktu satu hari untuk melakukan semua itu. Ditambah lagi, kalaupun kita mengerjakan tugas makalah dengan serius pun, pak dosen paling juga tidak melakukan penilaian dengan saksama. Mengingat jumlah mahasiswa yang menerima tugas ini,  makalahnya pasti dibaca sekilas saja. Aku yakin, jatuhnya juga banyak yang copy-paste,” paparku.

“Tapi kalau tidak mengumpulkan, nanti kan tidak dapat nilai Mas,” sanggah si gigi gingsul.

“Iya, yang penting mengumpulkan, dan nama kita tercatat dalam daftar mahasiswa yang mengumpulkan tugas ini,” timpal yang lain.

Gambar 1 : Hiu kepala martil.
Aku pun diam setelah itu, mencoba melihat skema percakapan barusan melalui kerangka sudut pandang yang lebih luas. Sampai kapan “sang hyang batara” dosen akan mengarahkan mahasiswanya untuk mengejar nilai -dan bukan kemampuan, seperti itu? Sampai kapan sistem tukar nilai dengan tugas “asal kumpul” itu akan diberlakukan?

Betapa memprihatinkan!

Betapa menyedihkan!


Pengalaman yang saya alami sore ini cukup menarik sehingga membuat saya ingin menuliskannya di blog. Saya mengunjungi seorang kakak sepupu yang terkena penyakit stroke ringan. Kira – kira hampir pukul lima sore saya memasuki ambang pintu rumahnya yang berukuran sekitar 5x11 meter. Ruang tamunya, yang sekaligus digunakan sebagai kios kecil itu, tidak lebih luas dari kamar kos saya di Jogja. Itu saja sudah membuat saya prihatin.

Ketika saya datang, anak keduanya yang menyambut. Anak itu masih kelas 6 MI, kata dia bapaknya -kakak sepupu saya yang sakit itu, baru selesai solat dan hendak keluar. Saya pun menunggu sambil bercakap dengannya seputar hal – hal terkait dunianya yang masih hijau. Sayang, bapak dari anak sekecil itu sebagai tulang punggung keluarga harus terkena penyakit yang mempersempit ruang gerak bagi perekonomian keluarganya, pikir saya.

Tidak lama sebelum akhirnya kakak sepupu saya itu keluar, dia berjalan dengan tertatih. Sesaat setelah duduk, dia bercerita bahwa mulai kemarin menjelang maghrib kaki kanannya susah untuk digerakkan. Lidahnya telah beberapa bulan kaku secara fisik, sehingga dia juga mengalami kesulitan dalam berbicara.

Saya mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian. Meskipun saya jarang berkomunikasi dengannya tapi saya bisa membedakan dengan jelas bahwa “rasa” dibalik kata – kata yang meluncur dari lidahnya sekarang sangat berbeda dari “rasa kata - kata”-nya sewaktu sehat dahulu. Ada sesal yang terungkap secara tersirat dalam pengakuannya atas dosa – dosa yang pernah dia lakukan, dosa ini dan itu. Selebihnya dia percaya bahwa sakit yang dideritanya itu adalah cobaan, kalau bukan peringatan Tuhan agar dia kembali ke jalan yang benar.

Saya pun mengamini, saya katakan padanya bahwa penyakit yang diterima dengan tabah akan mendatangkan kebaikan pada akhirnya. Jika tidak di dunia, pasti di akhirat kelak kebaikan itu akan datang. Secara ilmiah, saya memang tidak berhak berbicara seperti itu. Akan tetapi saya tidak berbicara sebagai seorang ilmuwan ketika itu, saya adalah seorang anak muda dengan keyakinan yang kuat terhadap rahmat Tuhan, Allah.

Well, ketika saya merasa percakapan kami telah cukup, saya pun mohon pamit. Sembari melangkahkan kaki menuju rumah, saya tenggelam dalam perenungan. Betapa saya harus jauh lebih banyak memanjatkan rasa syukur pada Allah. Dibanding teman – teman kuliah saya, mungkin saya bukan termasuk anak orang berpunya. Akan tetapi bagaimanapun, jika melihat kakak sepupu saya yang sedang sakit stroke ringan itu, keadaan keluarga saya jelas jauh lebih makmur...


Stephen Hawking mungkin luar biasa brilian dalam hal fisika teoretis, hingga konon ia pernah disebut sebagai "Master of The Universe". Akan tetapi sebagai manusia"normal", ia hanyalah seorang bapak tiga anak yang tubuhnya digerogoti kelumpuhan secara perlahan. Di balik kesuksesan akademiknya yang gemilang, sosok rapuh ini ditopang oleh seorang perempuan yang sedemikian setia menemaninya sebagai istri selama tiga dekade. Perempuan tersebut tidak lain adalah Jane Wilde. Uniknya, selama bersama Stephen, peran besar Jane Wilde-Hawking kurang disorot dan bahkan terkesan dikesampingkan dalam hampir semua pemberitaan yang berkaitan dengan (mantan) suaminya, itu.

Gambar 1 : Terjemahan "Traveling to Infinity", kisah hidup Jane bersama Stephen Hawking.

Buku di atas ini (yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia serta dibuat filmnya dengan judul "The Theory of Everything"), adalah curahan hati Jane selama menemani Stephen. Suka-duka yang dialami dalam mengurus kebutuhan sehari - hari keluarganya, yakni seorang suami difabel dan tiga anak yang laih berselang beberapa tahun. Frase "curahan hati" yang dimaksudkan di sini bukan sekadar keluh kesah yang didasarkan pada egoisme semata, melainkan suatu penuturan bahwa menjadi istri seorang difabel yang juga seorang fisikawan terkenal itu tidaklah mudah. Apalagi ketika keluarganya mulai bertambah dengan hadirnya buah hati.

Barangkali Jane tidak menyumbangkan apa - apa terhadap penguasaan Stephen akan fisika teoretis, akan tetapi perannya dalam kehidupan sehari - hari Stephen sama sekali tidak layak untuk diabaikan. Bagi saya pribadi, kisah hidup Jane yang dituangkan dalam bentuk buku ini memberi pelajaran bahwa ketika kita hendak menyorot kesukesesan seseorang, jangan pernah lupa untuk juga memperhatikan pihak manapun yang menyokong orang tersebut. Tidak peduli apakah sokongan itu menyumbang langsung pada kesuksesannya atau tidak. Lebih dari itu, seorang istri benar - benar layak disebut sebagai "istri" manakala ia berjuang demi keluarga tanpa memperhatikan pengakuan orang terhadap perjuangan itu.
Gambar 2 : Jane Wilde yang berusia 70 tahun.
Terakhir, saya suka pemberitaan dari dailymail yang menyatakan bahwa Stephen dan Jane kembali lebih dekat setelah Stephen bercerai dari istrinya yang kedua, Elaine Mason pada 2006.

Gambar 3 : Jane Wilde dan Stephen Hawking zaman dahulu (kiri) dan 9 Desember 2014 (kiri). Foto - foto diambil dari "sini".












Aku punya seorang teman sejurusan, fisika, tapi beda kampus. Sebut saja namanya Andri, dia lebih tua beberapa tahun dariku. Dia kuliah di sebuah kampus di Malang tapi sudah lulus, dan sekarang sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan kuliahnya di Bandung. Dia sangat gemar menceritakan kisah - kisah tentang dirinya. Kendati demikian, aku tidak pernah bosan berbincang dengannya. Faktanya dia punya pengalaman yang aneh – aneh dan aku suka mendengarkannya.

“Aku pernah ketemu cewek cantik di sebuah warung.” Andri memulai ceritanya dengan berapi - api, suatu ketika. “Waktu itu aku kan lagi beli makan siang, kelihatannya dia juga. Secara reflek, aku ajak dia kenalan. Kutanya – tanya, namanya siapa, tinggalnya di mana dan sebagainya. Eee, dia diam saja. Acuh tak acuh gitu, sombong banget pokoknya.”

Mataku tak lepas dari setiap gerak bibir Andri. Raut wajah temanku itu membuatku ingin tertawa, nyaris tak tertahankan. Diamnya saja lucu, apalagi kalau sedang bercerita.

“Waktu aku mau bayar itu, si cewek juga bayar barang yang dibelinya” Andri melanjutkan. “Tanpa sengaja tanganku menyenggol tangan cewek itu. Dia langsung lari ketakutan. Dikiranya aku ini perampok atau apa gitu. Aku kan juga tersinggung. Aku segera memasang wajah angkuhku, mendengus pendek, lalu sambil terus melirik cewek yang meghilang ditelan tikungan itu, aku berjalan ke arah sebuah tempat air. Tanpa mikir tempat air itu ternyata wastafel, kucuci tanganku di bagian yang menyenggol cewek tadi, seolah baru kena najis besar saja. Tiba – tiba ada yang bilang, ‘Lho mas, jangan cuci tangan di situ! Itu kan air bekas cucian piring…’ Kulihat, tanganku malah kotor. Beberapa potongan cabe rawit, sayur bekas gigitan orang dan sebagainya menempel di telapak tanganku tanpa sengaja. Malu kuadrat aku Cak!”


Aku pun tertawa seketika.


Tok tok tok... Pintu kamar kosku diketuk seseorang dari arah luar.

"Masuk," ujarku singkat. Pintu itu memang tidak kukunci, jadi setelah ucapan singkatku itu dipahami, seorang teman menyerbu masuk.

"Aku minta air ya? Punyaku habis, dan belum sempat beli."

Menanggapi permintaan itu, aku hanya menunjuk ke sebuah galon berisi penuh air mineral yang berada di pojok ruangaan, tanpa menoleh. Barangkali sikap acuh yang kutampakkan membuat kawanku itu tidak enak hati, dan sebagaimana lazimnya orang yang tidak enak hati, ia pun berbasa - basi. "Kamu lagi ngapain?" tanyanya sambil memompa air mineral dari galonku, tepat ke dalam tupperware warna biru laut yang ia bawa.

"Membaca. Elektrostatika dalam bahan, tepatnya bab polarisasi," jawabku dengan nada lebih ketus.

"Kolorisasi!?" tanya temanku lagi. Entah dia salah dengar, ingin bercanda untuk mencairkan suasana, atau apa.

"Bukan, tapi polarisasi. P-O-L-A-R-I-S-A-S-I. Jumlah momen dipol listrik persatuan volume." Aku masih berkata tanpa melihat ke arahnya.

Tanpa menyambung lagi, begitu tupperware-nya penuh air mineral, teman kosku itu keluar.


Hari ini saya secara iseng meminjam sebuah buku bertemakan "Fikih Wanita" dari perpustakaan pusat kampus. Berhubung beberapa hari yang lalu saya ditanya seorang kawan terkait masalah aurat perempuan, dan hanya mampu memberi jawaban yang bersifat perkiraan saja. Soalnya saya memang kurang tahu fikih, khususnya yang berkaitan dengan perempuan.

Setelah membaca salah gagasan penulis buku tersebut pada bab yang bersangkutan, saya agak terkejut. Berikut gagasan yang saya maksud :
"... Sebaliknya, wanita yang tidak berhijab hendaknya diremehkan, memandang mereka dengan hina sehingga mereka tidak bisa bekerja, dan mewasiatkan agar tidak membantu mereka -karena mereka telah mengoyak tabir Allah-, serta menyarankan mereka untuk menutup aurat. Jika semua warga masyarakat berbuat demikian, tentu akan berpengaruh besar terhadap berhijabnya kaum wanita. Tentunya dengan menjelaskan dalil-dalil dan keterangan bahwa hukum hijab adalah wajib dan menanggalkannya adalah haram. Selain itu, mereka yang berani membuka hijab akan menyandang sifat wanita - wanita durhaka dan menyerupai orang kafir."

Pertama, penggunaan kata "wanita" dan bukan "muslimah" dalam pernyataan di atas membutuhkan penjelasan lebih jauh. Kedua, saya membayangkan ibu saya di kampung yang kesehariannya jarang mengenakan hijab (ketika pergi ke tempat umum). Beliau biasa mengenakan baju lengan pendek, rok sampai pertengahan betis dan tidak berhijab, apalagi ketika pergi ke pasar atau sawah. Gaya busana seperti itu juga sudah lazim di desa saya untuk perempuan berusia empat puluh tahun ke atas, termasuk ibu saya.

Akan tetapi berdasarkan buku tersebut, seorang perempuan yang kesehariannya berbusana sebagaimana pakaian ibu saya dan perempuan - perempuan paruh baya lain di desa saya itu harus diremehkan, dipandang hina agar tidak bisa bekerja, dan seterusnya. Kok mengenaskan sekali ya? Padahal gaya busana demikian itu di desa saya sudah umum. Pun juga, di desa itu tidak ada ceritanya syahwat seorang laki - laki (penduduk di sana) terbangkitkan oleh karena melihat perempuan paruh baya yang tidak berhijab.

Setelah melihat halaman depan untuk mengetahui siapa yang menulis buku tersebut, saya mendapati bahwa penulisnya merupakan seorang pengajar fikih di Kota Madinah. Sementara kondisi sosial dan budaya desa saya jelas sangat berbeda dari Madinah. Jadi kesimpulan sementara yang biasa saya ambil adalah, bahwa barangkali perbedaan kondisi sosial dan budaya ini mengharuskan saya untuk tidak secara langsung menerima gagasan si penulis untuk diterapkan di desa saya, dan beberapa daerah lain yang kondisinya serupa desa itu.


Beberapa jam yang lalu saya membuka - buka sebuah buku yang telah lama menghuni rak buku saya, namun belum sempat saya baca sejak dibeli (:D). Buku tersebut berjudul "Tahafut At-Tahafut (Kerancuan Kitab Tahafut)" karya Ibnu Rusyd (1126-1198 M) yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Pustaka Pelajar. Sekadar info, Tahafut At-Tahafut adalah tanggapan bagi usaha Al-Ghazali untuk menyerang para filsuf zamannya yang tertuang dalam karya berjudul "Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf)". Konon, Tahafut At-Tahafut tidak dapat menanggulangi serangan Tahafut Al-Falasifah.

Singkat kata, saya tertarik dengan satu paragraf dalam buku tersebut :
"Lagipula, apakah Allah mampu menciptakan kebulatan kosmos yang lebih kecil meskipun hanya sehasta atau dua hasta, dari apa yang telah tercipta? Dan apakah ada perbedaan antara dua kadar tersebut yang menjadikan keterisian dan kebutuhan akan tempat ada atau tiada? Sesungguhnya keterisian yang lenyap saat berkurangnya dua hasta itu lebih banyak datioada saat berkurangnya satu hasta. Maka kehampaan menjadi sesuatu yang dapat ditakar dan diestimasikan (muqaddar), padahal kehampaan bukanlah apa - apa. Bagaimana ia bisa ditakar?"

Meskipun kalimat di atas masih sangat jelas mencerminkan gaya bahasa aslinya (bahasa Arab) yang rumit, kita dapat menangkap maksud Ibnu Rusyd secara gamblang. Filsuf islam ini menyatakan ketidakmungkinan Allah untuk memperkecil ukuran kosmos (alam semesta) barang sehasta, yang kemudian dibuktikan melalui kontradiksi.

Kosmolog muslim modern mungkin tidak akan menanggapi pernyataan Ibnu Rusyd ini oleh karena telah "diketahui" secara umum bahwa alam semesta mengembang dan sama sekali berbeda dengan praanggapan Ibnu Rusyd maupun filsuf - filsuf sezaman dengannya.

Terlepas dari itu semua, menarik juga untuk mengkritisi pernyataan tersebut melalui argumen logis berdasarkan praanggapan yang sama. Setelah "diterjemahkan" dalam bahasa logis-matematis, pernyataan di atas menjadi bagian - bagian sebagai berikut :
Definisi : Ketiadaan bukan apa - apa (bukan sesuatu), maka tidak mempunyai sifat (geometris) apapun.
Aksioma : Kosmos (alam semesta) merupakan ciptaan Allah yang mempunyai bentuk bulat dengan volume berhingga.
Aksioma : Di luar tapal batas kosmos adalah ketiadaan.
Proposisi : Allah tidak mungkin memperkecil ukuran kosmos barang sehasta, atau dua hasta.
Bukti : Misalkan kosmos mempunyai volume berhingga dan berjari - jari R. Kosmos yang diperkecil sehasta berarti kosmos dengan jari - jari R-c, dengan c sehasta. Kosmos yang diperkecil dua hasta analog dengan itu. Volume kosmos "sebanding" dengan jari - jarinya. Andaikan jari - jari kosmos dapat diperkecil sejauh sehasta atau dua hasta. Maka volume kosmos yang diperkecil sejauh dua hasta (berjari - jari R-2c) pastilah lebih kecil daripada volume kosmos yang diperkecil sehasta (berjari - jari R-c). Karena volume yang hilang itu menjadi kehampaan dan kita dapat mengukurnya, maka kehampaan menjadi sesuatu yang terukur (artinya mempunyai sifat geometris tertentu). Hal ini bertentangan dengan definisi ketiadaan.

Kesimpulan yang ditarik dalam pembuktian di atas memuat masalah. Akar masalah tersebut ada pada penyusutan ukuran kosmos yang digunakan untuk mengukur ketiadaan, kendati secara intuitif nampaknya demikian. Ketika telah disepakati (didefinsikan) bahwa "ketiadaan" bukanlah apa - apa, termasuk tidak mempunyai sifat geometris apapun, maka kita tidak dapat berbicara banyak mengenai "ketiadaan" itu, termasuk menyematkan ukuran perubahan volume padanya (yang diambil dari volume kosmos pasca penyusutan). Maka tidak sah menjadikan ukuran penyusutan kosmos sebagai ukuran (pertambahan) ketiadaan. Jadi pembuktiannya salah.


Volume yang dimaksud, mempunyai bentuk integral lipat
dengan penyulihan . Kita dapat menulis
. . . (1)
dengan
Tampak bahwa merupakan bola satuan berdimensi . Untuk menghitung , akan digunakan fakta
Oleh karena itu
... (2)
Selanjutnya dilakukan aliharagam koordinat , dan elemen volume diganti dengan elemen volume berbentuk cangkang (kulit) bola , yakni
menurut persamaan (1). Maka persamaan (2) memberikan
... (3)
Jika disulihkan , maka persamaan (3) menjadi
Ingat kembali fungsi Gamma ,
Sehingga diperoleh
atau
Maka, volume bola yang kita cari adalah
-------------------------------------------------------------------------------
Sebagai contoh, untuk dan dengan menggunakan rekursi fungsi Gamma serta nilai , kita mendapatkan
Contoh lain, menggunakan cara serupa, untuk dan , kita dapatkan
dan

NB : Volume bola berdimensi dua dan satu dengan jari - jari , masing - masing adalah luas cakram dengan jari - jari dan panjang garis dari sampai ( satuan diukur dari sembarang titik acuan).


Sumber : Greiner, W., Neise, L., Stoocker, H., (1995), Thermodynamics and Statisical Mechanics, Springer-Verlag, New York.