twitter


Sumur tua di ujung desa itu mengundang berbagai pertanyaan dalam benakku. Sejak kapan ia dibangun? Apa yang ada di dalamnya jika kita masuk? Dan mengapa ada cekungan tanah yang berkelok – kelok dan berujung sumur itu?

Kata nenekku yang ahli mendongeng cerita – cerita seram, sumur itu dulunya adalah ular raksasa yang bersembunyi sekaligus bertapa di tempat itu. Mulutnya selalu siap memangsa siapa saja yang lewat di sampingnya. Korban terus berjatuhan sampai suatu ketika seorang petapa sakti mengutuk ular ganas itu. Tapi ular itu berdalih bahwa ia hanya memangsa orang yang jahat saja. Dan karena ia tidak merasa bersalah, maka ia menaruh dendam pada sang petapa. “Anak cucumu akan menanggung perbuatanmu ini.” Begitu yang dikatakan ular sakti itu sebelum berubah, tubuhnya menjadi lekukan di tanah semacam bekas parit, sedangkan mulutnya menganga berubah menjadi sumur itu. Makanya sang petapa lalu berpesan agar anak cucunya jangan ada yang mendekati sumur jelmaan ular itu.

Tapi aku sendiri bukan anak kecil yang mudah dibohongi dengan cerita – cerita aneh semacam itu. Aku tidak percaya, mana ada ular sebesar itu dan berpikir untuk bertapa. Sampai berbicara dengan manusia lagi. Ini sangat konyol!!!

Memang, beberapa waktu lalu salah seorang penduduk di desa ini mengilang tanpa sebab. Dan dua hari kemudian jenazahnya ditemukan sudah membusuk dalam sumur itu. Tapi ini tidak membuktikan apapun, karena aku sering melongok ke dalam sumur itu dan tidak terjadi apa – apa. Bisa diperkirakan kalau cerita aneh itu dimunculkan untuk menakut – nakuti anak kecil supaya tidak bermain – main di dekat situ. Benar, semua masuk akal. Tapi kalau cerita itu salah, benarnya bagaimana?

Aku terus bertanya pada diriku sendiri, sampai suatu ketika guru sejarahku menyinggung tentang penjajahan Belanda dan aku mendapat sebuah gambaran. Sepulang sekolah, kutanyakan pada kakekku apakah desa “Antaboga” ini pernah menjadi wilayah yang dijajah oleh Belanda seratus tahun silam. Beliau membenarkan. Dan saat kutanyakan apakah penjajah itu ada hubungannya dengan sumur tua itu, kakekku bercerita apa yang sebenarnya.

“Desa Antaboga ini sebenarnya tidak dijajah Belanda secara langsung, tapi penduduknya ikut perang. Waktu itu sudah lama sekali, aku yang baru berumur lima belas tahun sudah ikut merebut negara ini dari cengkeraman penjajah. Nah, sumur itu adalah pintu masuk dari jalan rahasia yang dibangun para pejuang untuk bersembunyi. Lubangnya dibuat dalam sekali, sehingga orang yang melihat dari atas akan menyangka kalau itu sumur tak berdasar. Tapi tak jauh dari mulutnya ada lubang ke samping yang panjang. Itulah jalan rahasianya.” Kakekku menjelaskan dengan gamblang.

“Kenapa sekarang tertutup kek?” tanyaku penasaran.

“Itu akibat bom yang dijatuhkan sekutu saat perang terakhir dulu. Banyak pejuang yang besembunyi di dalam lubang itu terkubur hidup – hidup. Saat itu kakek sedang perang di tempat lain, jadi selamat dari bom itu. Yah, mereka adalah kawan – kawan kaek yang gugur demi membela Negara Indonesia ini,” kenang kakekku, rupanya itu membuatnya sedih dan mulai meneteskan air mata. Akupun jadi salah tingkah, karena pertanyaanku kakek jadi sedih.

“Cucuku, kamu yang hidup di zaman merdeka dan murah pangan ini harus banyak – banyak bersyukur. Kamu harus belajar dan mencapai cita – cita setinggi langit, agar pengorbanan para pejuang di masa lampau tidak sia – sia.”

“Baik kek. Serahkan saja semua pada saya,” kataku mantab.


Dua minggu yang lalu Kang Mat Maut meninggal gantung diri di pohon asem di samping rumahnya. Kabarnya, ia tak kuat menanggung hutangnya pada Pak Bakil yang rentenir kelas kakap itu. Masa hutang hanya dua juta yang nunggak hingga lima bulan saja harus kehilangan tanah, rumah dan perabotannya. Itu karena Pak Bakil memanfaatkan sifat buta huruf Kang Mat Maut untuk membuat surat pernyataan yang isinya menjadikan rumah sebagai jaminan. Apabila hutang Kang mat Maut berikut bunganya belum lunas dalam waktu lima bulan maka Pak Bakil berhak merampas rumah Kang mat maut, lengkap dengan perabotannya. Begitu isi surat pernyataan itu.

Dan, entah karena para penuduk lupa melepas tali pocong Kang Mat Maut atau apa, ia bangkit dari kubur setelah tujuh hari kematiannya dan menghantui siapapun yang pernah menyakiti hatinya. Yang bersangkutan terutama Pak Bakil dikejar – kejar tiap malam. Meskipun lari mereka lebih cepat dari lompatan pocong itu, namun mereka tetap tidak nyaman.

Malam ini, jantung pak Bakil berdetak kencang. Keringat dingin sebesar biji jangung yang merembes dari sekujur tubuhnya membuatnya seperti habis mandi. Ia bersembunyi di kolong tempat tempat tidurnya yang terbuat dari spons super empuk itu. Matanya tak lepas dari ambang pintu, mengawasi setiap gerak di sana. Jangan – jangan pocong itu nyelonong masuk tanpa permisi.

Lama sekali Pak Bakil tak berkedip, tapi tak ada tanda – tanda pocong itu masuk. Ia merasa lega, nafasnya yang tertahan tanpa sadar itu membuatanya tersengal – sengal saat ia kembali normal. Ia berguling ke kanan, dari posisis miring ke posisi terlentang.

Ba! Kang Mat Maut sudah terbaring di sampingnya. Mata dan hidung  itu tertutup oleh kapas, wajah itu pucat pasi, dan pakaiannya adalah kain kafan kotor yang penuh lumpur. Spontan Pak Bakil memekik keras, lalu tak sadarkan diri.



Keesokan harinya Pak Bakil bertandang ke rumah dukun kondang Ki dhedhel Semelekete untuk meminta bantuan. Kekondangan dukun sakti ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Ia kesohor lewat layanan primbon selulernya. Ketik REG [spasi] dhedhel [spasi] NOMOR SEPATU [spasi] UKURAN CELANA kirim ke 0987, untuk mendapatkan ramalan jodoh, karir, keuangan serta kesehatan hari ini dengan tingkat akurasi 100%. (Wao!)

“Pocong itu matre, sebab ia lahir pada bulan agustus tanggal dua puluh, Leo,” jelas Ki dhedhel sebelum Pak Bakil mengutarakan uneg – unegnya.

“Tapi Ki, kedatangan saya kemari bukan untuk meramal status Mat Maut yang sekarang jadi arwah penasaran itu. Melainkan untuk memusnahkannya untuk selama – lamanya supaya tidak mengganggu saya terus,” ucap Pak Bakil dengan mengepalkan tangannya. Geram.

“Sampeyan betul angger Bakil. Tapi untuk memecahkan masalah apapun itu bentuknya, kita harus membedelnya dulu. Perlu dijelaskan sejelas – jelasnya. Paham sampeyan?” tegas paranormal itu dengan nada kalem sekalem aliran air.

Pak Bakil hanya mengrenyitkan dahi. Ia tak habis pikir dengan apa yang ada dalam kepala ki Dedel. Lha wong masalah sebesar itu kok dia tenang – tenang saja, sepertinya sepele sekali.

“Jadi, karena dia matre saya harus memberinya uang barang satu rupiah begitu? Emoh Ki! Mendingan saya dihantui setiap malam daripada harus kehilangan uang saya untuknya,” tolak Pak Bakil setengah mencak – mencak. Selain terkenal sebagai rentenir, Pak Bakil juga terkenal sebagai orang paling kikir di desanya. Bahkan, kalau ada olimpiade orang terkikir sejagad mungkin dialah yang akan menyabet tropi platina.

“Bukan begitu, goblok!” bentak Ki dhedhel Semelekete sembari meberikan jitakan mulus tepat di ubun – ubun Pak Bakil. Tangan kanannya yang dipenuhi batu akik, desain yang sangat cocok untuk menjitak kepala seorang Pak Bakil. “Maksud saya matre itu materialis, durung bisa moksa kanthi sampurna. Badan wadagnya masih belum sepenuhnya lepas dari arwahnya. Itulah kenapa dia selalu kalah lari dengan sampeyan saat sampeyan kabur,” imbuhnya.

“Lalu, saya harus bagaimana Ki?” tanya Pak Bakil sambil memegangi kepalanya, meringis kesakitan.

“Sekarang angger Bakil pulang saja dulu, nanti sore saya menyusul. Kita tangkap pocong itu bersama – sama, tepat tengah malam nanti!” tegas Ki dhedhel di sela batuknya.

“Kalau begitu saya pulang dulu Ki.” Pak bakil mohon diri buru – buru, takut kena jitakan lagi. Atau yang lebih buruk dari itu, santet.

Belum juga kaki Pak Bakil beranjak, Ki dhedhel Semelekete berdehem pertanda ada sesuatu yang kurang. Matanya menatap tajam, seolah mengikat Pak Bakil dengan kekuatan magis.

“Oh! maaf Ki Dedel, saya hampir lupa. Ini sekedar untuk beli rokok,” kata Pak Bakil dengan tergopoh – gopoh. Selanjutnya ia mengeluarkan amplop putih ukuran besar dari sakunya, nampaknya tebal. Dukun terkenal itu menerimanya dengan sesunging senyuman sinis yang membuat Pak Bakil bergidik ngeri dan segera mohon diri.

Dianggap pantas untuk membuka bungkusan, Ki dhedhel pun menyobek ujung amplop tebal itu. Ternyata isinya uang kertas kumal yang berjejalan, hampir seluruhnya bernilai nominal seribu. Ki dhedhel menggeram marah. Tapi tidak etis kalau dia tidak melayani pak Bakil lantaran sarahan-nya berupa uang receh. Itu menyalahi Undang – Undang Perdukunan pasal 28 ayat 1. Toh, kalau dihitung jumlahnya lumayan.



“Kita tunggu sampai tengah malam angger Bakil,” perintah Ki dhedhel dengan suara ngebas.

“Nggeh Ki,” Pak Bakil hanya menurut. Dia sudah pasrah bongkokan pada Ki dhedhel Semelekete.

Ki dhedhel dan Pak Bakil sekeluarga berkumpul di sebuah kamar di lantai dua rumahnya, interior gaya eropa klasik menghiasi ruangan itu. Dan itu dibeli dengan menggunakan uang jarahan Pak Bakil, uang yang didapatnya -entah dengan cara halal atau haram hukumnya di zaman sekarang ini- dari fakir miskin yang tertipu.

Jarum jam bandul di kamar atas itu hampir saling menindih dan menunjuk angka dua belas. Ki dhedhel segera duduk bersila menghadap jendela, ia melakukan persiapan kilat dengan membakar kemenyan dengan mulut komat – kamit, baca mantra. Sementara Pak Bakil yang bersembunyi di balik punggung Ki dhedhel waswas, ia seolah tahu kalau pocong Mat Maut bakal nongol dari depan.

Dan, prediksi Pak Bakil tepat. Asap putih mulai merembes keluar dari luar jendela dan sesegera mungkin memenuhi ruangan seolah kabut tipis di pagi buta. Brak! Jendela itu terbuka dengan paksa. Dan melompatlah sosok Mat Maut dari kepulan asap yang terus membanjiri ruangan itu. Sosok Mat Maut versi arwah penasaran, wajah pucat pasi bak terong rebus serta sorot mata dingin yang keluar dari timbunan kapas itu begitu menakutkan. Pak Bakil, Bu Bakil, serta anak semata wayang mereka Ibnu Jahlun, merinding seketika.

“Cepat! Keluar dan tunggu di bawah, di samping tangga,” perintah Ki dhedhel Semelekete.

“Baik Ki,” Pak Bakil menurut. Bertiga mereka keluar dan langsung berlari menuruni tangga sesuai perintah Ki Dedel.

“Iki Ki dhedhel Semelekete. Dhemit ora ndulit, setan ora doyan!” teriak Ki dhedhel lantang.

Pocong Mat Maut masih tetap tegar di tempatnya, ia menatap tajam ke arah Pak Bakil yang baru saja keluar dari kamar itu. Lalu ia melompat hendak mengerjarnya, namun Ki dhedhel lebih sigap untuk menghadang di depan. “Akulah lawanmu, pocong sialan!” Ki dhedhel berteriak sembari mengacung – acungkan kerisnya, Kyai Kere.

Sementara itu, pak Bakil sekeluarga menunggu di bawah tambah kalap. Mampukah dukun yang disewanya itu menghadapi pocong Mat Maut? Semuanya belum jelas kalau salah satu belum keluar dan menuruni tangga.

Brak! Terdengar suara daun pintu yang dibanting keras. “Aduh! Ki dhedhel itu bagaimana to? Kalau mau duel ya duel saja, tak usah merusak pintu segala. Mahal itu harganya. Dasar semelekete!” umpat Pak Bakil.

Tak lama kemudian, Ki dhedhel berlari turun diikuti Mat Maut yang melompat – lompat di belakangnya. Seperti yang terduga, lompatan Mat Maut itu kalah dengan larinya Ki Dedel. Maka Ki dhedhel yang lebih dulu sampai di bawah. Sementara Mat Maut masih melompat menuruni tangga dengan hati – hati, takut tergelincir. Dan, dengan sigap Ki dhedhel menjegal Pocong Mat Maut saat ia melompat. Walhasil, Mat Maut tergelincir dan bergulingan di tangga dan kesulitan untuk bangun karena seluruh tubuhnya terikat.

“Buka tali pocongnya, sebelum dia bisa berdiri lagi. Cepat!” pekik Ki dhedhel di sela batuknya.

Tanpa basa – basi lagi, Pak Bakil segera mendekati Mat Maut. Gunting yang sejak tadi dipersiapkannya segera diarahkan ke ikatan Mat Maut bagian kepala. Sekali gunting, tali itu putus. Mat Maut mengelepar, asap putih mulai keluar sementara tubuhnya lenyap perlahan - lahan.

Pak Bakil sekeluarga pun lega. Akhirnya, berakhirlah teror yang disebabkan oleh pocong Mat Maut. “Ha ha ha, baru seperti itu saja mau menagih hutang. Kau masih belum pantas,” ujar pak Bakil congkak.

“Itulah, kenapa saya bilang Mat Maut matre. Dia masih katutan ragaya, jadi masih bisa dipukul atau dijegal seperti tadi,” kata Ki dhedhel dengan senyum mengembang. Ia lalu menuruni anak tangga yang berjumlah dua puluh itu.

“Kamu boleh senang mengirim saya kembali ke alam baka, Pak Bakil. Tapi bagaimana dengan mereka?” tanya Mat Maut yang sekarang berujud suara tanpa rupa.

Pintu depan terbuka, kepulan asap merangsak masuk bersamaan dengan beberapa makhluk halus. Mbok Cikrak dalam wujud kuntilanak, Pak Gondrong yang dulu kurus sekarang bertubuh tinggi besar mirip genderuwo, Yu Tomblok yang punggungnya berlubang, dan lain – lain. Mereka adalah orang – orang yang semasa hidupnya menjadi korban keserakahan Pak Bakil sekeluarga.

“Maaf angger Bakil, ini diluar order saya. Daa.” Ki dhedhel buru – buru ngacir, cari selamat lewat pintu belakang. Cairan kuning pekat berbau pesing mengalir dari pangkal pahanya saat kabur, tapi ia tak peduli.

Sementara Pak Bakil mematung seketika. Kakinya bergetar dan tanpa terasa ia juga terkncing – kencing seperti Ki dhedhel barusan. Bedanya, ia tak kuasa untuk melangkahkan kakinya.

“Ampuuuun Pakdhe, Mbokdhe, semuanya,” Pak Bakil memohon.

Hantu – hantu itu begeming di tempatnya, mereka masih menatap tajam.

“Baik, baik, harta kalian yang saya rampas akan saya kembalikan pada keluarga kalian yang masih hidup. Tapi, tolong jangan ganggu kami lagi,” kata Pak Bakil memelas. Lalu ia pingsan di tempat.

Semenjak kejadian malam itu, di desa Pak Bakil tidak terdengar lagi cerita ia merampas hak orang lain. Entah kapok atau pindah ke tempat lain untuk meneruskan aksinya, tak ada yang tahu?


Dul Karim yang nyentrik itu, sekarang sedang berjalan cepat ke rumah tetangga yang jaraknya kurang lebih tiga ratus meter dari rumahnya. Dia menghadiri selamatan, tetangganya itu lima hari yang lalu mendapat cucu baru. Sekalian, dia diminta untuk memberi nama si jabang bayi. Meskipun otaknya agak - agak gimana gitu, tapi kalau masalah kosakata dia yang paling ahli, setidaknya di antara sekian banyak warga desanya yang masih belum mengenyam pendidikan tinggi. Yap, desa tempat Dul Karim tinggal itu memang terletak di puncak bukit yang terisolasi dari peradaban. Jadi wajar saja.

Seorang teman memaksa ikut kendati tidak diundang, dia mengajukan berbagai alasan yang tak dapat ditolak Dul Karim. Sebenarnya, dalam hati dia sangat keberatan kalau Dul Karim yang diminta untuk memberi nama bayi berumur lima hari itu. Sebab dia merasa lebih pintar darinya. Singkat kata, diapun akhirnya ikut.

"Saya sudah memikirkan nama yang bagus untuk anak ini. Karena dia lahir sesaat setelah hujan rintik - rintik, bersamaan dengan munculnya matahari maka saya beri dia nama Tejo. Hm, tapi kurang panjang. Sebentar, saya pikirkan dulu tambahannya..." kata Dul Karim yang langsung mengrenyitkan dahinya itu.

Sejurus kemudian temannya tadi tertawa sendirian. "Nama apa itu? Kampungan sekali," ejeknya.
Dul Karim pun membalas dengan bertanya, datar. "O. Kurang keren, begitu?"
"Ya."
"Kalau diubah jadi Niji, bagaimana?"
"Hm, sedikit lebih modern."
"Kalau Rainbow?"
"Itu yang keren! Terdengar seperti rocker."
Dul Karim mengrenyitkan kening, "Memang kamu tahu apa artinya?" tanyanya diiringi gelengan kepala si teman.
"Goblok! Tiga kata itu punya arti yang sama," maki Dul Karim tanpa rasa bersalah.

Empunya hajatan dan semua tamu yang hadir di situ pun cekikikan menahan tawa.