twitter


Sir Isaac Newton
Mekanika Newtonian adalah studi terhadap hubungan sebab akibat di dunia nyata antara gaya, massa dan gerakan.  Nama Newtonian (ala Newton) berasal dari nama penemunya, filosof alam dan saintis abad ke-17 Isaac Newton. Beliau menemukan satu set prinsip universal yang elegan namun sederhana, untuk membantu menjelaskan dan memprediksi gerak benda di alam semesta serta perubahannya akibat adanya interaksi dengan gaya eksternal. Newton mewujudkan hubungan timbal balik antara konsep fisis gaya, massa dan pecepatan ke dalam tiga hukum. Dengan berlandaskan pada ketiga hukum itu, mekanika Newtonian dapat digunakan untuk menurunkan seperangkat konsekuensi yang mampu mendeskripsikan fenomena alam secara akurat.

Hukum gerak pertama menyatakan bahwa benda yang bergerak cenderung untuk tetap bergerak, dan benda diam cenderung untuk tetap diam. Prinsip ini berkaitan dengan konsep inersia, yakni kecenderungan sebuah benda untuk mempertahankan keadaan geraknya. Perubahan gerak itu hanya mungkin terjadi jika ada gaya luar yang ikut ambil bagian. Gaya luar dalam jumlah tertentu diperlukan untuk menggerakkan sebuah benda dari keadaan diam sampai bergerak dengan kecepatan tertentu. Ini juga berlaku untuk mempercepat atau memperlambat gerak benda. Misalnya, sebuah peluru yang ditembakkan dari sebuah senapan akan terus bergerak menempuh lintasan lurus dengan kecepatan tertentu jika tidak ada gaya gravitasi dan hambatan akibat gesekan dengan udara di atmosfer. Kedua gaya itu bekerja bersamaan pada peluru untuk membuatnya berhenti.

Hukum Newton kedua adalah rumus matematik yang mendeskripsikan sifat gaya. Newton mempostulatkan bahwa besaran gaya yang diberikan berbanding lurus dengan massa benda kali percepatannya, atau f = ma. Jika terdapat dua buah benda yang berbeda dan masing - masing bergerak dengan percepatan tetap yang besarnya sama, maka benda dengan massa yang lebih besar akan menghasilkan gaya yang lebih besar juga. Hukum kedua ini dapat digambarkan oleh contoh sebuah sepeda motor dan mobil yang bergerak dalam arah berlawanan dengan kecepatan yang sama besar. Ketika keduanya bertabrakan, gaya yang diberikan oleh mobil pada sepeda motor jauh lebih besar daripada gaya dari sepeda motor ke mobil karena massanya juga lebih besar.

Hukum ketiga dapat diringkas dalam kalimat "untuk setiap aksi, terdapat sebuah reaksi yang besarnya sama namun arahnya berlawanan." Dengan kata lain, gaya dari dua buah benda yang saling bekerja satu terhadap yang lain selalu sama namun arahnya berlawanan. Misalnya, saat seseorang yang tidak bersepatu menendang bola, maka bola akan terlempar. Namun pada saat yang bersamaan, ia akan merasakan panas pada kakinya karena bola juga  memberi gaya.

Mekanika Newtonian menyediakan seperangkat “mesin analisis” yang dapat dipergunakan untuk memprediksikan perubahan gerak benda akibat interaksi dengan gaya luar yang bekerja pada benda itu, secara akurat. Prinsip itu sama – sama berlaku baik jika diterapkan pada  gerak benda – benda langit maupun bola tenis yang sederhana. Dengan menggunakan vektor, seorang pengamat dapat melukiskan besaran dan arah gerak benda dengan sangat baik. Ia mampu memprediksikan kecepatan total dan arah benda (jumlah semua gaya luar yang bekerja pada benda itu setiap saat) dari jejaring kecepatan dan arah benda itu dengan sangat teliti. Namun demikian, sejak seabad yang lalu mekanika Newtonian ini telah sah terbatas pada skala kehidupan sehari – hari. mekanika Newtonian dibatasi oleh mekanika relativistik dan mekanika kuantum.


Gambar 1 : Balok penyusun alam semesta yang meliputi tiga tipe neutrino, dikenal sebagai neutrino elektron, neutrino muon dan neutrino tau. Lebih dari satu dasawarsa yang lalu, fisikawan telah membuktikan bahwa neutrino - neutrino itu dapat berubah bentuk dari yang satu ke yang lain.

Para saintis dalam eksperimen Main Injector Neutrino Oscillation Search (MINOS) di Department of Energy’s Fermi National Accelerator Laboratory pada 24 Juni 2011, mengumumkan hasil pencarian fenomena langka, perubahan bentuk neutrino muon ke neutrino elektron. Hasilnya konsisten dengan pengukuran sejenis yang dilaporkan eksperimen T2K di Jepang 10 hari sebelumnya. Proyek itu juga mengumumkan indikasi perubahan bentuk tipe ini.

Hasil dari kedua eksperimen itu memiliki implikasi terhadap pemahaman kita akan aturan yang menyatakan bahwa neutrino mungkin mempunyai peran dalam evolusi alam semesta. Jika neutrino muon bertransformasi ke neutrino elektron, ia dapat menjadi alasan kenapa Big Bang memproduksi lebih banyak materi daripada antimateri, yang berimplikasi pada mewujudnya alam semesta saat ini.

MINOS di Fermilab mencatat sebanyak 62 peristiwa mirip neutrino (neutrino-like events). Jika neutrino muon tidak berubah bentuk menjadi neutrino elektron, MINOS seharusnya hanya mendapatkan 49 peristiwa. Eksperimen itu, seharusnya menemukan 71 peristiwa jika neutrino berubak bentuk sebanyak perubahan yang terjadi pada saat percobaan T2K dilakukan. Namun kedua eksperimen itu memang menggunakan metode dan teknik analisis yang berbeda untuk "melihat" fenomena langka ini.

Untuk mengukur transformasi neutrino muon ke bentuk neutrino lain, eksperimen MINOS mengirimkan seberkas neutrino sejauh 450 mil (735 km) di bawah tanah dari akselerator injektor utama di Fermilab ke sebuah detektor neutrino seberat 5000 ton, setengah mil di bawah tanah di Soudan Underground Laboratory di Minnesota bagian utara. Eksperimen itu menggunakan dua detektro yang hampir sama: detektor di Fermilab yang digunakan untuk memeriksa kemurnian berkas neutrino muon dan detektor di Soudan yang digunakan untuk mendeteksi elektron dan neutrino muon. Perjalanan neutrino dari Fermilab ke Soudan menghabiskan sekitar 4/100 detik, waktu yang cukup bagi neutrino untuk berubah bentuk.

Gambar 3 : Neutrino, partikel mirip hantu yang sangat jarang berinteraksi dengan materi, menempuh perjalanan 450 mil lurus melewai bawah tanah dari Fermilab ke Soudan tanpa terowongan!. Eksperimen MINOS mengkaji berkas neutrino muon menggunakan duda detektor. Detektor dekat MINOS, terletak di Fermilab, mencatat komposisi berkas neutrino muon saat ia meninggalkan area penembakan Fermilab. Detektor jauh MINOS yang terletak di Minnesota, setengah mil di dalam tanah, sekali lagi menganalisis berkas neutrino. Ini memungkinkan para ilmuwan untuk mengkaji osilasi neutrino muon ke neutrino elektron atau neutrino tau di bawah kondisi laboratorium secara langsung.

Selama lebih dari satu dasawarsa, para saintis telah membuktikan bahwa ketiga neutrino yang dikenal dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Melalui eksperimen, telah ditemukan bahwa neutrino muon menghilang, meskipun telah dicoba untuk dideteksi menggunakan beberapa pengukuran terbaik yang disediakan oleh MINOS. Saintis pun berpikir bahwa sebagian besar neutrino muon itu berubah bentuk menjadi neutrino tau, yang sejauh ini sangat sulit untuk didapatkan, mereka juga mengira bahwa sebagian lain berubah menjadi neutrino elektron.

Pengamatan peristiwa mirip-neutrino elektron pada detektor di Soudan memungkinkan para ilmuwan MINOS untuk menggali informasi tentang besaran yang disebut (dibaca sinus kuadrat dua teta satu tiga). Jika neutrino muon tidak berubah bentuk menjadi neutrino elektron, besaran ini bernilai nol. Kisaran nilai yang didapat dari pengukuran oleh MINOS berimpit namun lebih sempit dari kisaran pada eksperimen T2K.

Gambar 2 :  Menurut data T2K, nilai ini yang sangat mungkin 0,11. Hasil MINOS lebih mengarah ke 0,04; dan data ini mengindikasikan bahwa teta 13 tidak nol dengan tingkat keyakinan 89%.

MINOS memberikan batasan bagi kisaran ini antara 0 dan 0,12; meningkatkan hasil yang diperoleh dengan himpunan data yang lebih sedikit pada tahun 2009 dan 2010. Sebagai perbandingan, kisaran nilai yang diperoleh T2K adalah antara 0,03 dan 0,28.

"MINOS diharapkan bisa lebih sensitif terhadap perubahan bentuk itu dengan jumlah data yang dimiliki kedua eksperimen," kata fisikawan Fermilab Robert Plunkett, asisten jurubicara untuk eksperimen MINOS. "Tampaknya alam telah memilih nilai yang mungkin untuk berada di bagian bawah kisaran nilai yang diizinkan oleh T2K. Usaha serta data yang lebih benar - benar dibutuhkan untuk mengkonfirmasi kedua pengukuran itu."

Pengukuran MINOS adalah harapan terakhir dari usaha dunia untuk mempelajari lebih lanjut tentang neutrino. Sebab eksperimen T2K sejak Maret lalu telah terputus, ketika gempa bumi parah di Jepang merusak sumber neutrino muon untuk proyek akbar itu. Tiga reaktor nuklir untuk eksperimen neutrino itu, yang menggunakan teknik yang berbeda untuk mengukur , sedang dalam proses persiapan. Para ilmuwan dalam proyek itu berharap bisa melanjutkan eksperimen lintas Jepang tersebut akhir tahun. Sementara itu, MINOS sendiri akan melanjutkan pengumpulan data sampai Februari 2012.

"Sains biasanya cenderung mengalami kemajuan secara perlahan daripada tiba - tiba, dan ini juga berlaku untuk riset neutrino," kata Jenny Thomas dari University College London, asisten juru bicara untuk eksperimen MINOS. "Jika transformasi neutrino muon ke neutrino elektron tejadi dalam tingkat yang cukup tinggi, ekperimen selanjutnya harus mencari tahu apakah alam memberikan kita dua neutrino ringan dan satu berat atau sebaliknya. Ini benar - benar hal besar yang berikutnya harus diketahui dalam fisika neutrino."



Sumber :
Laporan Fermilab
Foto - foto Dokumentasi


Dalam perkembangannya, ketika alam semesta telah berumur sepersekian juta detik, komponen dasar materi bergerak bebas dalam sup quark dan gluon yang panas nan padat. Seiring perkembangan alam semesta, plasma quark-gluon ini mendingin dengan cepat. Proton, neutron dan bentuk materi normal yang lainnya terbentuk dari “pembekuan” sup ini. Quark yang tadinya bebas menjadi terikat oleh pertukaran gluon, pembawa gaya warna.


Gambar 1 : Proton atau neutron biasa (gambar depan) tersusun atas tiga quark yang terikat secara bersamaan oleh gluon, pembara kekuatan warna. Di atas suhu kritis; proton, neutron dan materi berbentuk hadron lainnya "meleleh" menjadi sup quark bebas dan gluon yang panas nan padat (gambar belakang), plasma quark-gluon.


"Teori yang menjelaskan gaya warna disebut kromodinamika kuantum, atau KDK," kata Nu Xu dari Berkeley Lab, juru bicara eksperimen STAR di he Relativistic Heavy Ion Collider (RHIC) di DOE's Brookhaven National Laboratory. "KDK telah sangat sukses dalam menjelaskan interaksi quark dan gluon pada jarak pendek, seperti tumbukan proton dan antiproton berenergi tinggi di Fermi National Accelerator Laboratory. Namun dalam sejumlah besar daftar materi --termasuk plasma quark-gluon-- pada jarak yang lebih panjang atau transfer momentum yang lebih kecil, sebuah pendekatan yang disebut teori kisi gauge (lattice gauge theory) yang harus digunakan." Namun sampai saat ini, perhitungan kisi KDK untuk materi panas, padat dan berjumlah banyak belum bisa diuji melalui eksperimen.

Berawal pada tahun 2000, RHIC telah mampu memodelkan kondisi ekstrim permulaan alam semesta dalam sebuah miniatur, dengan menabrakkan inti atom emas yang bermassa besar (ion berat) pada energi tinggi. Eksperimentalis di RHIC, yang bekerja dengan teoretis Sourendu Gupta dari India's Tata Institute of Fundamental Research, baru - baru ini membandingkan prediksi teori kisi (lattice-theory) tentang plasma quark-gluon dengan hasil eksperimental STAR yang pertama. Mereka hendak menetapkan batas temperatur dimana materi biasa dan materi quark menyebrang untuk berubah fase.


Diagram Fase

Sasaran kerja teoretik dan eksperimental itu ialah untuk mengeksplorasi dan menetapkan titik kunci dalam diagram fase untuk kromodinamika kuantum. Diagram fase itu sendiri merupakan peta yang menunjukkan, misalnya, bagaimana perubahan tekanan dan suhu menentukan fase air, apakah ia berwujud es (padat), cair atau gas. Pemetaan diagram fase KDK  meliputi distribusi materi biasa (dikenal dengan materi hadron), plasma quark-gluon dan fase KDK lain yang mungkin seperti superkonduktivitas warna (color superconductivity).

"Menggabungkan diagram fase KDK membutuhkan perhitungan teori dan percobaan tumbukan ion berat," kata Xu yang merupakan anggota Divisi Sains Nuklir Berkeley Lab. Studi eksperimental mebutuhkan akselerator tumbukan (collider) kuat seperti RHIC di Long Island atau Large Hadron Collider di CERN di Jenewa, sementara perhitungan KDK menggunakan teori kisi gauge membutuhkan superkomputer terbesar dan tercepat di dunia. Perbandingan langsung lebih baik daripada pendekatan menggunakan salah satu dari keduanya.

Gambar 2 : Perkiraan diagram fase KDK saat ini. Batas antara fase normal (hadron) bersuhu rendah dan fase quark-gluon bersuhu tinggi ditandai dengan warna hitam. Kotak persegi pada garis solid menunjukkan titik kritis yang belum ditemukan, dimana fase - fase itu berdampingan; RHIC adalah satu - satunya collider ion berat yang energinya dapat diatur di seluruh wilayah ambang ketelitian. Neutron dan proton serta partikel materi biasa lainnya (termasuk partikel antimateri) terdeteksi setelah mereka "membekukan" bola-bola api (fireballs) yang disebabkan oleh tumbukan ion berat seperti yang ada di RHIC, ditunjukkan oleh garis bertitik - titik. Sedangkan bagian kanan adalah wilayah yang mungkin untuk "superkonduktivitas warna".

Syarat dasar dari sebarang diagram fase adalah penetapan skalanya. Diagram fase air dapat didasarkan pada skala suhu Celsius, didefinisikan oleh titik didih air di bawah tekanan normal (yakni pada permukaan laut). Meskipun titik didih berubah seiring berubahnya tekanan --pada tempat yang lebih tinggi, air mendidih pada suhu yang lebih rendah-- tetapi perubahan ini diukur terhadap nilai tetap (fixed value).

Skala diagram fase KDK didefinisikan oleh transisi suhu pada nilai nol "potensial kimia barion." Potensial kimia barion mengukur ketidakseimbangan antara materi dan antimateri, nilai nol menunjukkan keseimbangan sempurna.

Melalui perhitungan yang panjang dan data aktual dari eksperimen STAR, tim itu memang mampu menetapkan suhu transisi KDK. Di sinilah teori dan eksperimen bekerja bahu membahu.

"Percikan bola – bola api (fireballs) terjadi jika inti atom emas saling berbenturan, amat dinamis dan terakhir dalam selang waktu yang pendek," kata Hans Georg Ritter, kepala program Relativistic Nuclear Collisions di Berkeley Lab's Nuclear Science Division. Ia juga mengatakan, bahwa dengan membandingkan hasil yang didapat timnya dengan prediksi teori kisi, mereka telah menunjukkan bahwa apa yang mereka ukur senyatanya konsisten dengan bola api yang mencapai keseimbangan termal itu. Dan itu merupakan prestasi penting.

Kini, secara optimis para saintis dapat melanjutkan ke penentuan skala diagram fase. Setelah pembandingan yang teliti antara data eksperimental dan hasil dari perhitungan teori kisi gauge, mereka menyimpulkan bahwa suhu transisi itu (dinyatakan dalam satuan energi) adalah 175 MeV (175 juta elektron volt).

Dengan demikian mereka dapat mengembangkan sebuah "rancangan" diagram fase yang menunjukkan batas antara fase hadron bersuhu rendah dari materi biasa dengan fase quark-gluon bersuhu tinggi.


Dalam pencarian titik kritis

Kisi KDK juga memprediksikan adanya "titik kritis", yaitu titik dimana materi menyebrang untuk berubah fase. Dengan mengganti energi, msalnya, potensial kimia barion (keseimbangan materi dan antimateri) dapat disesuaikan.

Di antara collider - collider ion berat di dunia, hanya RHIC yang dapat menyesuaikan energi tabrakan melalui wilayah diagram fase KDK di mana titik kritis itu paling mungkin ditemukan --dari energi 20 miliar elektron volt per pasang nukleon (proton dan neutron) sampai 5 miliar elektron volts per pasang. Kata Ritter, "Menetapkan adanya titik kritis jauh lebih penting daripada mengatur skalanya." Program untuk mencari titik kritis KDK ini dimulai oleh RHIC pada tahun 2010.

"Dalam makalah ini, kami membandingkan data eksperimental dengan perhitungan kisi secara langsung, sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ini adalah langkah maju yang nyata dan memungkinkan kita untuk menetapkan skala diagram fase KDK. Dengan kata lain, memulai era pengukuran teliti untuk fisika ion berat." papar Xu.



Sumber :


Sebuah tonggak penting dalam pengukuran momen magnetik proton dan antipartikelnya telah tercapai. Para peneliti di Johannnes Gutenberg University, Mainz (JGU) dan Helmholtz Institute Mainz (HIM), bersama rekan - rekan mereka dari Jurusan Fisika Nuklir Max Planck Institute dan Pusat Penelitian GSI Helmholtz bagian ion berat di Darmstadt, berhasil mengamati lompatan spin kuantum (spin quantum-jumps) dengan proton tunggal yang terjebak, untuk pertama kalinya. Kenyataan bahwa mereka telah berhasil mendapatkan data percobaan yang sulit dipahami ini berarti bahwa mereka mengalahkan para pesaing riset mereka di Harvard University. Dan sekarang mereka menjadi pemimpin global dalam bidang ini.

Hasil eksperimen itu merupakan kemajuan dalam upaya merintis usaha untuk mengukur sifat magnetik proton secara langsung dengan ketelitian tinggi. Prinsip pengukuran itu didasarkan pada pengamatan terhadap sebuah poton tunggal dalam perangkap partikel elektronmagnetik.

Mungkin, antiproton juga dapat diamati menggunakan metode yang sama. Harapan akan adanya penjelasan terhadap ketidakseimbangan materi-antimateri di alam semesta yang telah ditemukan sebelumnya, kini menjadi kenyataan. Analisa terhadap antimateri secara rinci merupakan faktor yang penting jika kita ingin memahami kenapa materi dan antimateri tidak sepenuhnya meniadakan satu sama lain sesaat setelah Big Bang. Atau dengan kata lain, jika kita hendak memahami sepenuhnya bagaimana alam semesta terwujud maka materi dan antimaterilah yang harus betul – betul kita pahami lebih dulu.

Seperti partikel lainnya, proton juga memiliki momentum sudut intrinsik atau biasa disebut spin. Bayangkan sebuah batang magnet kecil. Dengan analogi ini, lompatan spin kuantum akan mirip dengan “tombol” untuk membalik (flip) kutub - kutub magnet. Namun, mendeteksi spin proton adalah tantangan utama. Sementara momen magnet elektron dan anti partikelnya, positron, sudah bisa diukur dan diperbandingkan pada tahun 1980-an, tidak demikian halnya dengan proton. Menurut Stevan Ulmer, salah seorang anggota kelompok kerja yang dikepalai oleh Prof. Dr. Jochen Walz di Institut Fisika Helmholtz Institute baru, Mainz, momen magnetik proton sebelumnya telah diperkirakan dalam penyetelan partikel (particle ensembles), namun belum teramati secara langsung untuk proton tunggal.

Peralatan yang digunakan untuk untuk mendeteksi spin proton.

Masalah sebenarnya adalah, momen magnet proton 660 kali lebih kecil daripada momen magnetik elektron, yang artinya proton jauh lebih sulit dideteksi. Poyek ini telah memakan waktu lima tahun persiapan dan melibatkan kolaborasi beberapa tim fisikawan, dan mereka berhasil. "Akhirnya kami berhasil mendemonstrasikan deteksi terhadap arah spin proton tunggal yang terperangkap," kata Ulmer gembira.

Meskipun melalui penelitian tersebut, momen magnet proton baru diketahui sampai tiga desimal namun ini membuka jalan bagi pengukuran secara langsung dengan ketelitian tinggi terhadap momen magnetik proton, juga antiproton.

Saat ini, laboratorium Maiz tengah mempersiapkan pengukuran dengan sensitivitas dan ketelitian yang lebih tinggi terhadap simetri materi-antimateri. Pengamatan pertama lompatan kuantum spin dari proton tunggal adalah tonggak penting dalam pengejaran sasaran ini.

Simetri materi-antimateri adalah salah sati pilar Model Standar bagi fisika partikel elementer. Menurut model ini, partikel dan antipartikel harus berperilaku identik namun muatannya berlawanan. Dalam tingkat ketelitian tinggi, pembandingan sifat - sifat dasar partikel dan antipartikel memungkinkan para fisikawan untuk menentukan apakah perilaku simetri ini benar - benar terjadi, serta dapat menjadi dasar teori - teori yang melampaui Model Standar. Dengan asumsi perbedaan antara momen magnet proton dan antiproton bisa dideteksi, riset tersebut akan membuka “jendela” fisika baru ini.



Sumber :
http://www.sciencedaily.com/releases/2011/06/110621101329.htm
http://www.uni-mainz.de/eng/14236.php


Neutrino adalah partikel dasar penyusun alam semesta, termasuk golongan fermion. Massanya sangat kecil, hampir dikatakan tak bermassa. Neutrino hanya berinteraksi lewat interaksi lemah dan gravitasi, tak satu pun lewat interaksi kuat dan interaksi elektromagnetik. Ia merupakan "produk sampingan" dari peluruhan radioaktif tertentu, seperti reaktor nuklir atau sinar kosmik yang membentur sekelompok atom. Neutrino hadir dalam tiga rasa (istilah untuk menggantukan kata "jenis"), yakni : neutrino elektron, neutrino muon dan neutrino tauon. Selain itu, neutrino juga memiliki pasangan yang dikenal dengan sebutan antineutrino. Neutrino susah dideteksi, itulah kenapa ia bisa dibuktikan keberadaannya, baru 25 tahun setelah dipostulatkan pertama kali oleh Wolfgang Pauli pada tahun 1930. (Wikipedia)

Riset terbaru yang meneliti neutrino dilakukan di Jepang, dikenal dengan sebutan T2K (Tokai to Kamioka) experiments. Proyek itu mengkolaborasikan sekitar 500 ilmuwan dari 12 negara. Mereka menembakkan berkas neutrino melalui jalur bawah tanah dengan lintasan sepanjang 295 km dari Japan Proton Accelerator Research Complex ( J-PARC) ke detektor  neutrino Super-Kamiokande yang terletak di dekat pantai Jepang bagian barat.

Skema riset T2K

Sebuah tanduk magnetik (magnetic horn) yang terbuat dari konduktor aluminium berarus listrik sangat tinggi digunakan untuk menghasilkan dan menembakkan berkas neutrino. Jauh sebelum mencapai detektor primer Super-Kamiokande, terlebih dulu partikel itu melewati detektor sekunder untuk diukur kadar kemurniannya. Dan pada akhir perjalanan bawah tanahnya, neutrino akan menumbuk “dinding” molekul air. Tumbukan itulah yang menjadi obyek utama para saintis dalam proyek T2K. 

Para ilmuwan dalam proyek sejenis sebelumnya telah mengamati perubahan (osilasi) neutrino muon ke neutrino tau dan neutrino elektron ke neutrino muon atau neutrino tau. Di sinilah letak kemajuan tim T2K, mereka menemukan bahwa secara spontan neutrino muon dapat berubah "rasa" menjadi neutrino elektron. Temuan itu dapat membantu menjelaskan mengapa alam semesta lebih banyak terdiri atas materi daripada antimateri.

Telah diyakini bahwa materi dan antimateri hadir dalam perbandingan yang hampir sama pada awal Big Bang. Karena partikel materi dan antimateri saling meniadakan satu sama lain, maka disimpulkan bahwa terjadi pelanggaran keseimbangan saat semesta masih bayi, yang menghasilkan sedikit lebih banyak materi daripada antimateri. Sisa materi tersebut telah membentuk semua bintang, galaksi dan planet yang kita saksikan saat ini.

Pergeseran dari neutrino muon ke neutrino elektron yang terdeteksi dalam eksperimen akbar itu merupakan osilasi neutrino jenis baru. Hasil tersebut membuka celah bagi studi terhadap simetri materi-antimateri yang disebut pelanggaran keseimbangan muatan (charge-parity violence). "Fenomena pelanggaran keseimbangan ini belum pernah teramati pada sebuah neutrino, tetapi barangkali itulah alasan kenapa alam semesta kita sekarang ini sebagian besar tersusun atas materi dan bukan anti materi," kata Alysia Marino, asisten profesor departemen fisika Colorado University, Boulder.

Berdasarkan analisa data yang dikumpulkan dari eksperimen T2K antara Januari 2010 sampai 11 Maret 2011 -yang sempat terganggu oleh gempa 9 skala richter di Jepang Timur- para ilmuwan menemukan 88 peristiwa neutrino (neutrino events) yang terdeteksi oleh detektor Super-Kamiokande. Di antara 88 peristiwa tersebut, mereka mengidentifikasi enam peristiwa yang dicalonkan sebagai interaksi neutrino elektron.

Meskipun begitu, menurut Eric D. Zimmerman, salah seorang rekan kerja Marino menyatakan bahwa dibutuhkan lebih banyak data untuk mengkonfirmasi hasil - hasil terbaru T2K. Diharapkan, akselerator dan riset ini dapat beroperasi kembali pada akhir tahun.

Hm… salah satu pertanyaan yang timbul dalam benak saya saat membaca sumber tulisan ini adalah “Kapan Indonesia bisa jadi tuan rumah untuk proyek sekaliber T2K?”



Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Neutrino
http://www.sciencedaily.com/releases/2011/06/110616103031.htm
http://www.symmetrymagazine.org/breaking/2011/06/15/japans-t2k-experiment-observes-electron-neutrino-appearance/


Galaksi yang memancarkan radiasi

Pada 28 Maret 2011 satelit milik NASA mendeteksi adanya seberkas radiasi sinar gamma yang bersumber dari bintang Sw 1644+57 pada konstelasi Draco. Sinar yang biasanya menyertai ledakan supernova itu lebih terang daripada sinar sejenis yang pernah teramati sebelumnya.

Menurut sebuah tim astronom University of California, Berkeley, diperkirakan sinar tersebut merupakan "teriakan kematian" sebuah bintang yang ditelan lubang hitam masif. Pada 31 Maret Joshua Bloom, salah seorang spesialis ledakan radiasi sinar gamma menyatakan bahwa semburan itu sama sekali bukan sinar gamma seperti biasa, melainkan radiasi berenergi tinggi jenis lain yang dikeluarkan oleh bintang seukuran matahari kita ketika terkoyak oleh sebuah lubang hitam dengan massa sejuta kali lebih besar.

Analisa data yang cermat dan pengamatan selanjutnya oleh Teleskop Luar Angkasa Hubble dan Observatorium Sinar-X Candra telah mengkonfirmasi tafsiran Bloom. "Ini benar - benar berbeda dari semua peristiwa ledakan (bintang) yang kami saksikan sebelumnya," kata Bloom.

Yang membuat semburan sinar gamma Sw 1644+57 ini menarik adalah durasinya yang lama serta fakta bahwa ia memancar dari pusat sebuah galaksi yang jauhnya 4 milyar tahun cahaya dari bumi. Para astronom menjelaskan, karena kebanyakan -jika tidak semua- galaksi diduga mengandung lubang hitam masif pada pusatnya, maka semburan dengan durasi yang lama itu diperkirakan datang dari gangguan pasang surut (tidal distruption) sebuah bintang runtuh.

"Ledakan ini menghasilkan sejumlah besar energi selama selang waktu yang agak lama, dan peristiwa tersebut masih berlangsung hingga lebih dari dua setengah bulan kemudian," ungkap Bloom. "Itu karena lubang hitam mengoyak bintang itu sedikit - demi sedikit, sehingga massa yang berputar di sekitarnya seperti air yang terkuras, dan proses berputar ini melepaskan banyak energi. Sebagai perbandingan, dengan daya yang sekarang ini matahari kita membutuhkan 100 milyar tahun (sepuluh kali waktu hidupnya) untuk memproduksi energi sebesar itu.

Menurut Bloom, sekitar 10% massa bintang runtuh berubah menjadi energi dan diradiasikan dalam bentuk sinar-x atau sinar gamma dengan energi yang lebih tinggi. Secara kebetulan bumi berada di ujung sinar, itu sebabnya jet (pancaran) terlihat sangat terang.

Sebuah bintang mengintari lubang hitam, sebelum akhirnya ditelan. Bersamaan dengan itu, bintang melepaskan energinya (atau kehilangan massanya) dalam bentuk radiasi.

Proses ini mirip quasar, yakni galaksi jauh yang memancarkan cahaya terang berenergi tinggi karena lubang hitam masif pada pusatnya menelan bintang dan mengirimkan pancaran sinar-x sepanjang sumbu rotasinya.

Gangguan pasang surut bintang oleh lubang hitam masif sebelumnya pernah terlihat memancarkan sinar-x, ultraviolet dan cahaya tampak, tetapi belum pernah terjadi pada tingkat sinar gamma. Karenanya Bloom menyatakan bahwa kejadian itu amat langka, mungkin sekali dalam 100 juta tahun dalam setiap galaksi yang diteliti. Menilik kembali observasi sebelumnya tentang kosmos, ia dan timnya tidak menemukan adanya bukti emisi sinar-x ataupun sinar gamma. Lantas mereka menyimpulkan bahwa ini adalah kejadian sekali seumur hidup (one-off event).

Para astronom menduga, emisi sinar gamma itu dimulai 24 atau 25 Maret di galaksi yang belum terdaftar pada pergeseran merah 0.3534 yang terletak pada jarak sekitar 3.8 miliar tahun cahaya. Meskipun intensitasnya telah berkurang, namun sinar itu masih tetap terang hingga kini. Tim yang dikepalai Bloom memperkirakan bahwa emisi akan memudar tahun depan.




Sumber :
http://motls.blogspot.com/2011/06/black-hole-devoured-star.html
http://www.sciencedaily.com/releases/2011/06/110616142709.htm
http://news.sciencemag.org/sciencenow/2011/06/scienceshot-powerful-jet-being.html



Fungsi gelombang pertama kali diciptakan oleh fisikawan Austria Erwin Schrodinger, untuk menangani salah satu fenomena dunia kuantum dualisme gelombang partikel. Namun, fungsi gelombang itu sendiri tidak memberikan gambaran fisik apapun sampai Max Born mengusulkan untuk mengkuadratkan nilai mutlaknya. Selanjutnya, amplitudo fungsi gelombang yang telah dikuadratkan itu ditafsirkan sebagai kemungkinan menemukan partikel berada pada tempat dan saat tertentu. Bersamaan dengan itu, Born juga memperkenalkan metode pengukuran di bawah aturan – aturan yang ditetapkannya.

Dalam perkembangan selanjutnya para ahli menggunakan metode pengukuran tak langsung yang dikenal dengan tomografi kuantum. Dengan estimasi bahwa fungsi gelombang konsisten terhadap berbagai kumpulan hasil pengukuran, mereka melakukan banyak pengukuran, mencatat hasilnya dalam tabel  yang nantinya digunakan untuk memprediksikan nilai – nilai pada kolom yang kosong. Jeff Lunden, seorang peneliti dalam bidang terkait mengibaratkan metode ini seperti meneliti sebuah gelombang air dengan cara menyinari nya dengan cahaya yang digerak – gerakkan lalu mengukur bayangannya di dasar kolam. Namun metode pengukuran tak langsung ini hanya melipat-gandakan masalah dalam menentukan fungsi gelombang. Lagipula fungsi gelombang terlalu rapuh, seperti gelembung sabun yang mudah pecah ketika disentuh untuk diteliti. Fisikawan Sanford, Onur Hosten bahkan menyatakan bahwa mengukur fungsi gelombang itu saja nyaris tidak mungkin dilakukan.

Tetapi kini tim fisika Kanada yang dikepalai oleh Jeff Lundeen berhasil menemukan cara baru untuk mengukur fungsi gelombang, bahkan secara langsung. Mereka menggabungkan sistem pengukuran kuat yang memberikan kepastian yang mantap tetapi menghancurkan fungsi gelombang, dan pengukuran lemah yang memberikan informasi yang kurang pasti namun hanya merusak sebagian kecil darinya.

Lundeen dkk. mendemonstrasikan hasil kerja mereka dengan bantuan banyak foton-tuggal sebagai partikel uji. Foton – foton itu ditransmisikan melalui serat optik dengan tujuan agar mereka mempunyai fungsi gelombang yang sama. Setelah ditembakkan, lalu foton itu dipolarisasikan sehingga mereka mendapat dua variabel dari satu keadaan foton untuk diukur. Pertama mereka mengukur lokasinya secara kasar, hal ini mengakibatkan fungsi gelombang itu tetap stabil. Kemudian sisa foton digunakan untuk mengukur momentumnya secara akurat dan akhirnya memetakan fungsi gelombangnya. Intinya, pengukuran pertama dikerjakan dengan cara halus sehingga tidak membatalkan hasil dari pengukuran kedua. Sayangnya, metode ini hanya berlaku jika telah diketahui secara pasti bahwa foton – foton uji itu memiliki keadaan kuantum yang sama.

Dengan demikian, tim tersebut tidak hendak menggugurkan mekanika kuantum. Nyatanya, prinsip ketidakpastian Heinsenberg masih berlaku. Mereka tidak memperkenalkan metode yang lebih baik untuk menjelaskan fenomena kuantum, mereka hanya memperkenalkan “metode lain” semata. Selain itu, untuk sementara partikel tunggal yang diuji baru foton. Meskipun begitu ini bukan berarti sebuah kegagalam, justru temuan tim Lundeen ini merupakan kemajuan. Ia memprediksikan, dalam waktu dekat metodenya juga dapat disesuaikan untuk mengukur fungsi gelombang partikel – partikel lain seperti ion, molekul dan elektron.

Sumber :
http://www.nature.com/nature/journal/v474/n7350/full/nature10120.html
http://www.sciencenews.org/view/generic/id/330958/title/Wave_function_directly_measured_


Canadian team achieves quantum feat that makes the intangible a little more tangible

CATCHING A WAVE The wave function that describes the location of a single particle of light is colorfully depicted in an artist’s interpretation, superimposed on an image of the experimental setup.
The fuzzy quantum shape that describes the speed or location of a single particle, its wave function, has now been directly measured in the laboratory, giving this mathematical concept a small dose of reality.

Like a bubble on the breeze, the wave function usually disappears when poked or prodded for information. But scientists in Canada have worked out a gentler way to touch it, they report June 9 in Nature.

“Measuring the wave function itself is not really thought to be a possible thing,” says Stanford physicist Onur Hosten. “It’s not really thought to be something physical.”

This interpretation dates to the 1920s, when physicist Max Born argued that the wave function, represented by the Greek letter psi, is a useful mathematical tool. The equation for the wave function is the starting point, for instance, for drawing the colorful shapes in chemistry textbooks that show the probability of an electron being in a certain spot.

To calculate a wave function, scientists usually collect lots of indirect measurements using a technique called quantum state tomography.

“It’s like working out the shape of a water wave by moving a light around and measuring the wave’s shadow on the bottom of the pool,” says Jeff Lundeen, a physicist at Canada’s National Research Council Institute for National Measurement Standards in Ottawa.

Lundeen and colleagues favor a direct interrogation using a combination of strong measurements, which provide the comfort of certainty but destroy the wave function, and weak measurements, which provide uncertain information but do little damage.

To demonstrate how this works in the laboratory, the team measured the wave function that describes the location of a single particle of light, or photon. The team polarized photons so that the angle of each particle gave a rough idea of its location, leaving just enough uncertainty to not disturb the wave function. Eliminating all photons that were moving in a specific direction — a strong measurement of momentum — allowed the scientists to map out the wave function using the still particles that remained.

“This doesn’t provide any more information than other methods,” says Lundeen. “It just gives it to you in a different way.”

Lundeen and his colleagues aren’t trying to challenge quantum mechanics. Heisenberg’s uncertainty principle, which says that the location and momentum of a single particle can’t be simultaneously measured, still holds: Lundeen’s team had to weakly measure many light particles to work out the position information.

And all these light particles had to be identical, which could limit the usefulness of the technique.

“The method reported works only if one knows beforehand that every photon is created in the same quantum state,” says Michael Raymer, a physicist at the University of Oregon in Eugene. “This is generally not the case, and in this case one would need to use the standard methods of quantum state tomography.”

Still, Lundeen says this new probe can probably be adapted to measure the wave functions of many other particles — including ions, molecules and electrons.

Source :
http://www.sciencenews.org/view/generic/id/330958/title/Wave_function_directly_measured_