twitter


Terdapat masalah - masalah fisika yang membutuhkan nilai stasioner (puncak) dari suatu persamaan integral fungsional (fungsi di dalam fungsi). Tinjau persamaan berikut :

... (1)
dengan :
                         : Kuantitas yang ditentukan bernilai stasioner.
               : sebuah fungsi (tepatnya kelas fungsi) dari dan .
: turunan terhadap .
                         : variabel bebas.

diketahui, namun ketergantungannya terhadap dan , yakni tidak diketahui. Artinya lintasan eksak tidak diketahui kendati batas - batas integralnya dan . Misi kita adalah mencari sedemikian sehingga nilai stasioner. Ini lebih rumit dari kalkulus biasa karena ada kemungkinan persamaan (1) tidak punya solusi.

Tentunya terdapat tak berhingga lintasan yang mungkin, yang memenuhi persamaan (1). Dua di antaranya dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1  :  Variasi Lintasan

Secara umum, persamaan yang menggambarkan lintasan - lintasan ini adalah
...(2)

adalah kurva terpendek (ekstremal), faktor skala, dan sebarang fungsi yang menggambarkan perubahan bentuk lintasan serta memiliki titik awal dan akhir yang sama. Jadi . Selain itu harus terdiferensial, otomatis kontinu.

Sekarang kita definisikan beda lintasan - lintasan itu, dilambangkan dengan .
...(3)
kembali ke persamaan (1)
...(4)
Kondisi ekstrim diperoleh dari
yang analog dengan dalam kalkulus differensial. Penurunan secara parsial mengubah bentuk integran menjadi
dari persamaan (2) kita peroleh
sehingga

...(5)
Ambil suku kedua untuk diintegrasikan secara parsial
...(6)

suku pertama lenyap karena , jadi dengan mengembalikan hasil ini ke persamaan (5)
...(7)
sebarang, karenanya kita mengambil integran persamaan (7) sama dengan nol, yakni
...(8)
yang dikenal dengan persamaan Euler-Lagrange (dalam bentuk yang paling sederhana). Untuk mencari yang berasal dari persamaan integral stasioner cukup dengan mengolah integrannya dengan persamaan (8).

Bentuk berikut adalah alternatif lain dari persamaan Euler-Lagrange yang kadang berguna :
,
yakni didapat dari pengertian turunan total
 .








Sumber :
Arfken, George B. Weber, Hans J. 2005, Mathematical Methods for Physicist 6th Edition, Elseiver Academic Press, California, USA.


Bayi yang ditemukan terhanyut di sungai Gangga oleh Radha itu lalu diangkatnya menjadi anak. Ia menamainya Radheya yang berarti anak Radha. Adirata suaminya, ikut bergembira karena pasutri itu memang tidak punya  keturunan.

Lima belas tahun kemudian, Radheya menginjak usia remaja. Kegagahan mulai tampak dari postur tubuhnya yang kekar. Ia juga cerdas. Ini menambah kebahagiaan pasutri Adirata-Radha kendati Radheya bukan anak kandung mereka. "Radheya itu anak yang baik ya, Pakne," kata Radha di suatu sore yang cerah.

"Bune benar. Baktinya pada orang tua tidak diragukan lagi. Salah satu contoh, dia selalu bangun lebih dulu dariku. Pagi - pagi sudah menghilang, dan ketika metahari mulai meninggi ia kembali dengan beberapa keranjang penuh rumput segar. Sejak dia mulai melakukan itu, kerjaku jadi lebih ringan. Jadi sewaktu - waktu ndoro Destarastra ingin naik keliling kota naik kereta, misalnya, semuanya sudah siap." Adirata menimpali.

Perlu diketahui, Adirata adalah kusir pribadi raja Astina. Awalnya ia bekerja pada Prabu Abiyasa, dan setelah raja itu pensiun dan menyerahkan tampuk kekuasaan pada keturunannya, majikan Adirata berganti menjadi Pandhu. Pun juga, ketika Pandhu mangkat, ia bekerja pada raja berikutnya, Destarastra.

"Bune jadi ingin tahu siapa yang begitu tega membuang bayi Radheya di sungai Gangga." Terpikir oleh Radha kejadian lima belas tahun silam.

"Entahlah, yang mungkin dia bukan manusia. Singa yang kejam saja tidak akan membuang anaknya sendiri." Adirata berkata dengan mata menerawang, seolah ucapan barusan keluar begitu saja tanpa sadar.

"Pakne, bukankah jika ditelusuri ke atas, sungai Gangga itu lewat dekat ibukota kerajaan Mandura?"

"Iya, memangnya kenapa Bune?"

"Mungkin desas - desus itu benar Pakne."

"Desas - desus yang mana maksud Bune?" Adirata berubah penasaran.

"Itu, tentang Dewi Kunthi yang hamil sebelum menikah."

"Hus! Bune jangan bicara sembarangan. Dewi Kunthi itu kan permaisurinya ndoro Pandhu, kalau Bune bicara macam-macam tentangnya, Bune bisa dihukum."

"Lho, tapi kan masuk akal Pakne. Sungai Gangga menghubungkan beberapa daerah, dan yang terdekat dengan Astina ya Mandura itu. Kalau Radheya berasal dari daerah yang lebih pangkal lagi, kemungkinan besar dia bakal ditemukan orang Mandura kan?" Radha berargumen.

"Itu tidak cukup untuk membuktikan bahwa Radheya berasal dari Mandura, Apalagi lahir dari rahim Dewi Kunthi," sangkal Adirata. "Terkait hal ini, Prabu Pandhu pernah curhat padaku waktu beliau sedang dalam perjalanan melakukan inspeksi dan aku menjadi kusirnya. Beliau bercerita bahwa kedua permaisurinya Dewi Kunthi dan Dewi Madrim, adalah perempuan - perempuan baik dan berbudi luhur. Saat ndoro Pandhu menikahi mereka, keduanya masih perawan. Yah, Bune tahu lah maksudku," tambah Adirata.

"Tapi Pakne," Radha keberatan. "Teknologi zaman sekarang kan sudah canggih, bisa saja kan perempuan hamil dan melahirkan tetapi dia masih perawan."

"Alaah, itu tidak mungkin. Sudahlah Bune, kita tidak perlu membahas darimana asal - usul Radheya lagi. Bukankah kehadirannya saja sudah membuat kita bahagia. Lagipula kalau orang kerajaan sampai mendengar kasak – kusuk kita ini dan melapor pada Prabu Destarastra, trus aku diPHK, bagaimana? Kita juga kan yang rugi? Belum lagi masa depan Radheya akan terancam. Aku tidak ahu pekerjaan apa lagi yang bisa kulakukan, kalau sampai aku dipecat dari posisi kusir kerajaan."

"Ah Pakne ini! Sukanya berbelok ke mana - mana. Wong saya bicara asal - usul Radheya, kok malah ke PHK," sungut Radha.

"He he he." Adirata tertawa pelan. "Hyang Widhi mengaruniakan Radheya pada kita, seharusnya kita bersyukur dan bukan membicarakan hal - hal yang tidak penting seperti itu?"


Tak terasa percakapan mereka memakan waktu yang cukup lama. Tanpa sadar senja telah tiba. "Oh iya Pakne, ngomong - ngomong sudah mulai gelap tapi kok Radheya belum kembali ya?"

"Iya ya. Biasanya kalau main dengan teman - temannya tidak pernah sampai petang. Pakne kok jadi khawatir, coba Bune cek ke tetangga."

Sebelum yang diperintah menyanggupi, Radheya sudah muncul dengan tergopoh - gopoh. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuhnya. Matanya berbinar terang, "Maaf atas keterlambatan Dheya, Romo, Ibu," ujarnya dengan nafas terengah - engah.

"Kamu dari mana saja nak? Baru saja Ibu mau mencarimu," Kata Radha dengan nada khawatir.

"Dari... dari..."

"Tenang, ambil nafas dulu. Kamu kok seperti baru dikejar setan sih."

"Begini Ibu, saya... istana. Eh, maksud saya tadi habis dari taman di belakang istana. Saya terpukau dengan pangeran - pangeran Astina itu, Bu. Mereka belajar olah kanuragan pada seorang pendeta sakti dari Sokalima. Kalau tidak salah namanya Durna. Besok - besok, saya boleh ikut ya Bu?" pinta Radheya polos.

"Hoalah Le... Kamu itu mbok ya tahu diri. Begawan Durna itu kan orang pilihan, Prabu Destarastra membayarnya dengan gaji yang sangat tinggi untuk secara khusus membimbing para Pandawa dan Kurawa. Sementara Romo kan cuma kusir, gaji Romo tidak cukup untuk membayar Pandhita Durna." Adirata menjawab cepat.

"Tapi Mo," bantah Radheya. "Dheya ingin sekali belajar pada Pandhita Durna, terutama dalam seni memanah. Dheya bisa kok, lebih baik dari pangeran yang paling tampan itu," tambahnya sambil meniru gerakan orang membidik sasaran dengan panah.

"Pakne," Radha menyela "Niat Dheya kan baik, masa niat baik tidak mendapat apresiasi yang baik juga."

"Tapi Bune, jer basuki mowo beyo. Dan untuk hal ini aku tidak sanggup."

"Lewat cara lain kan bisa, misalnya bicara baik - baik ke ndoro Destarastra supaya anak kita boleh ikut belajar bersama anak - anaknya. Kasarnya minta beasiswa begitu."

"Alah Bune, seperti tidak tahu saja." Adirata melanjutkan kata - katanya setengah berbisik sehingga Radheya tidak dapat mendengar ucapannya. "Semenjak ndoro Pandhu meninggal dan posisi raja diambilalih oleh ndoro Destarastra, eksospol negara jadi kacau. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjamur dalam struktur pemerintahan. Jadi kita tidak bisa berharap pada dana pendidikan yang diberikan pemerintah, paling - paling masuk kantong pejabat."

Lalu Adirata berpaling pada Radheya. "Sebaiknya kamu mandi dulu le. Baumu seperti kembang setaman tuh."

Radheya kecewa dengan tanggapan yang dia diterima tidak sesuai dengan gambaran awalnya, namun ia bisa memaklumi bahwa apa yang dikatakan ayahnya itu memang benar. Sambil pergi ke kamar mandi, hatinya memberontak. Kenapa biaya pendidikan di Astina mahal dan hanya untuk anak - anak raja saja? Apa rakyat jelata tidak boleh mengenyam pendidikan? Sementara pikiran - pikiran seperti itu melayang - layang dala benaknya, sebesit ide melintas.

"Ah ya! Jika aku tak bisa mendapatkan ilmu pengajaran secara formal, maka aku tinggal mencuri saja. Toh mencuri ilmu itu tidak membuat orang yang bersangkutan kehilangan ilmunya, jadi sah - sah saja hukumnya. Aku akan ke taman belakang istana setiap hari, lalu mengintip dan mendengarkan pelajaran Pandhita Durna dari luar tembok istana. Terakhir, aku kembali ke rumah tepat waktu. Aku dapat ilmu dan Romo tidak perlu khawatir biayanya. Ide yang cerdas Radheya!" pujinya pada diri sendiri dengan tangan terkepal.



Roda musim memaksa pepohonan di hutan dekat Negara Astinapura untuk menggugurkan daun – daunnya. Sial, sebelum daun – daun itu mencapai tanah beberapa batang anak panah yang ditembakkan dari kejauhan tepat mengenainya secara horizontal. Alhasil ia berputar – putar di udara, terpotong menjadi beberapa bagian. Tak hanya itu, anak panah – anak panah yang menyambarnya tertancap pada sebatang pohon  besar lapuk, mereka saling mengena satu sama lain. Ujung yang satu tepat mengenai ekor anak panah sebelumnya.

Seraut wajah merona jingga karena efek mentari senja, tersenyum puas. Pemuda itu berbadan tegap dan gagah. Rambutnya panjang, digelung, terawat rapi. Ia mengenakan pakaian berbahan kain biasa, khas seorang pengembara. Namun cincin perak berbatu permata ungu yang melingkar manis di jempolnya jelas menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan bangsawan.

“Wah, sekarang kakang sudah banyak kemajuan. Hebat!” puji seorang seorang perempuan yang sedari tadi duduk tak terlampau jauh darinya. Bertepuk tangan pelan, tersenyum kecil.

“He he he. Semua ini berkat bopo Begawan Durna yang menurunkan ilmunya lewat patung itu,“ tanggap si pemuda sambil mengenang. Rupanya diallah yang disebut – sebut orang sebagai Bambang Ekalaya, atau kerap juga dipanggil Palgunadi.

Lima purnama lalu, belum genap satu musim, Palgunadi memohon  pada Begawan Durna untuk mengajarinya seni memanah. Pandhita satu itu memang terkenal sangat piawai dalam ilmu olah keprajuritan utamanya  memanah, tak heran jika setiap ksatria ingin menjadi muridnya termasuk Palgunadi.

Sayangnya Durna tak mau menerima sembarang orang sebagai murid. Entah apa yang dilihat dari Palgunadi, yang jelas ia menyimpan sesuatu yang membuat Durna takut dirinya akan diungguli. Namun demikian, ia juga tak enak menolak secara terang – terangan. Akhirnya ia tinggalkan sebuah patung untuk menipu Palgunadi, figur seorang pemanah berpose unik.

Durna lantas menyuruh Ekalaya untuk menirukan gaya patung itu. Bagaimana posisi kaki, tangan, serta tatapan matanya. Melihat Ekalaya antusias dengan bualannya ia pun tambah bersemangat dalam berujar. Dan setelah memberikan penjelasan seperlunya, ia pamit dengan alasan urusan dinas kepandhitaan tanpa menyebutkan lokasi yang hendak dia tuju. Tentu saja, agar ia tak bertemu dengan Ekalaya lagi.

Karena ketekunannya dalam berlatih, hanya dalam waktu lima purnama Palgunadi menjadi ksatria pemanah pilih tanding. Diambah lagi, kesaktian dari cincin Mustika Ampal yang ia pakai di ibu jarinya juga memberikan kontribusi bagi bakatnya. Konon, orang yang memakai cincin sakti itu akan menjadi pemanah terhebat di arcapada ini. Sebenarnya ia telah mengetahui hal ini, namun ia tetap merasa berhutang budi pada guru non-formalnya, Pandhita Durna. Karena itu, ia hendak bertemu langsung untuk mengucapkan terima kasih. Tentang keberadaan Durna, lokasi terakhir yang ia dengar adalah kota Astinapura. Ia juga mendapat informasi bahwa gurunya itu sekarang menjadi pegawai negeri di sana. Karir dan namanya meroket lantaran sukses mengajar serta mendidik pandawa-kurawa dalam berbagai cabang ilmu.



Perjalanan dari Paranggelung ke Astina cukup memakan waktu. Lagipula Palgunadi juga tidak mau terlihat mencolok, ia tak mau ada berita bertema “Raja Negara Paranggelung berkunjung ke Astina” diekspose berbagai media massa. Risih kalau ke mana – mana harus dibuntuti para kuli tinta. Selain itu, jika ia datang sebagai seorang raja maka pemerintah Astina akan disibukkan dalam mengurusi penyambutannya. Karena itu dalam perjalanan ia hanya mengajak istrinya Anggraeni serta menyamar menjadi pengembara biasa. Sesekali, ia mengasah kemampuannya di hutan dekat tempat ia menginap seperti yang ia lakukan sepanjang sore ini.

“Kita kembali ke penginapan, yayi. Hari mulai gelap,” Ajaknya pada Anggraini seusai merapikan busur dan sekeranjang anak panah yang masih tersisa.

“Iya kakang,” jawab sang istri lembut.

Tanpa mereka sadari, dari kejahuan sepasang mata tak pernah luput dari setiap gerak yang mereka lakukan. Ia bersembunyi dan mengintip dari balik semak belukar. Agaknya orang ini lumayan sakti, buktinya ia bisa menghilangkan hawa keberadaannya dari jangkauan indera kewaspadaan Palgunadi.

“Wah, rejeki nomplok nih,” batin pemuda itu. “Akan kutantang orang itu beradu panah. Jika dia kalah akan kuambil semua pusaka yang dia miliki, dan yang terpenting istrinya. Tapi kalau aku yang kalah, akan kubiarkan dia memotong kepalaku. Hm, kalau hanya memanah seperti tadi anak kecil juga bisa. aku bahkan lebih hebat dan lebih tampan, jadi seharusnya cewek itu jadi milikku dan bukan miliknya.”



Malam pun berlalu tanpa terasa, mentari telah meninggi, Palgunadi dan Anggraini melanjutkan perjalanan. Masih ada satu hutan lagi yang harus ditembus untuk sampai ke Astina. Tak ada kecurigaan apapun dalam benak mereka berdua. Terlepas dari konflik – konflik internal yang isunya banyak beredar di masyarakat, Astina tampak sebagai negara besar yang makmur. Para penjahat kelas teri semisal perampok, pencuri dan kawan - kawannya di seluruh dunia enggan beraksi di negeri itu. Apalagi dekat kotaraja, sebab resiko untuk segera tertangkap dan diadili dengan hukuman berat sangat besar. Berdasarkan asumsi itu Palgunadi dan istrinya ‘berjalan melenggang’, tanpa beban.

Tapi siapa sangka jika Hyang Widhi berencana lain, keduanya dihadang oleh seorang pemuda. Dialah orang yang kemarin memata – matai latihan Palgunadi. Ia tak punya tampang perampok, malah ia terkesan sebagai ksatria. Dan agaknya ia sengaja menunjukkan wajahnya yang bersinar seterang mentari untuk memikat Anggraini. Palgunadi terkejut melihat ketampanan pemuda di hadapannya, “Ini… bangsa manusia atau makhluk halus? Adakah manusia punya paras setampan ini?” pikirnya. Anggraini juga sempat terkesima, namun ia segera sadar bahwa ia telah bersuami sekalipun dari segi ketampanan mereka sama sekali tak sebanding.
"He pengembara! Kutantang kau bertanding dalam seni memanah,” tantang pemuda itu, to the point.
“Sebentar, kamu ini siapa anak muda? Dan apa urusanku denganmu, sehingga aku harus menerima tantanganmu?”

Pemuda itu tersenyum, “Heheh. Aku telah memperhatikan kalian sejak kemarin, jadi aku tahu kalau kau pandai memanah. Kebetulan, aku juga menggemari bidang itu. Nah, aku menantangmu untuk menguji kemampuanku. Tapi kalau hanya itu rasanya kurang menarik. Ada ide begini, kalau kau kalah serahkan busur, semua anak panah, pusaka serta istri yang kau miliki. Tapi jika aku yang kalah, kau boleh memotong kepalaku sebagai hadiahnya. O iya, pertanyaan pertamamu belum kujawab. Namaku Arjuna, boleh juga dipanggil Dananjaya karena selalu berjaya dalam setiap pertempuran. Bagaimana? Kau terima tantanganku atau lari seperti tikus?” tanya Arjuna memancing.

Palgunadi cepat tanggap dengan maksud Arjuna, ia pun naik pitam. “He Arjuna, keinginan mengambil istri orang lain itu lebih pantas menjadi sifat raksasa daripada seorang ksatria. Tapi aku tak akan lari, keluarkan semua kemampuanmu. Aku sama sekali tak gentar!” Ekalaya ganti mengungguli. Disiapkan busur serta anak panah – anah panahnya, lantas mengisyaratkan agar Anggraini menjauh sehinggaia tidak terkena dampak pertarungannya nanti.



Keduanya berhadapan, memasang anak panah, menarik busur serta menunggu saat untuk menembak. Sehelai daun jatuh dari pohon induknya, itulah yang mereka gunakan untuk aba – aba, mereka saling sepakat melalui komunikasi batin. Ketika daun itu meyentuh tanah mereka pun saling melepas anak panah masing - masing. Palgunadi yang marah dan merasa direndahkan itu tak mau setengah – setengah, ia langsung mengerahkan seluruh kesaktiannya. Arjuna pun demikian, semangatnya dipicu oleh hasrat yang menggebu untuk memiliki Anggraini.

Mereka sama – sama sakti, satu anak panah yang ditembakkan di udara mereplikasi diri menjadi sepuluh, kesepuluhnya mereplikasi lagi, demikian seterusnya. Kecepatan menembak mereka juga jauh melampaui pemanah biasa, sehingga pertandingan itu lebih mirip adu senapan mesin yang semua pelurunya berbenturan di udara lantas jatuh menghujam bumi.

Mereka  tetap bertempur dengan cara seperti itu, kira - kira sampai petang baru kelihatan Palgunadi jauh lebih unggul. Arjuna mulai kesulitan mengatur udara yang keluar masuk melalui hidungnya, nafasnya ngos-ngosan tak menentu. Sementara Palgunadi masih saja tenang, sejak mereka mulai dadanya hanya mengembang dan mengempis tiga kali. Artinya ia hanya menghabiskan tiga tarikan nafas. Dan, saat Arjuna lengah karena fokusnya menurun drastis Palgunadi lebih menggencarkan serangannya. Puluhan anak panah menyerbu Arjuna, yang pertama mengenai busurnya hingga patah menjadi dua. Lalu anak-panah berikutnya menggores setiap inci dari tubuhnya yang kekar kecuali bagian wajah. Itu membuktikan bahwa amarah Palgunadi telah mereda. Jika ia mau, dengan kekuatan cincin yang dipakainya, membidik leher Arjuna dengan sangat tepat pun hanya masalah sepele.

Melihat lawannya telah lumpuh, Palgunadi berjalan mendekat. “Pergilah! Sebelum aku berubah pikiran dan membidik lehermu,”hardiknya. Melihat mata Palgunadi yang menunjukkan ekspresi serius itu Arjuna membalas dengan tatapan tidak puas. Pelan namun pasti, Palgunadi memasang anak panah dan menarik busurnya yang diarahkan tepat ke leher Arjuna. Itu membuatnya ketakutan setengah mati lalu lari terbirit – birit.


“Sungguh aneh, ternyata ada orang seperti itu di Astina. Padahal waktu prabu Pandu masih memegang tampuk kekuasaan, bukan hanya rumor kalau negeri ini menjadi kerajaan terbesar dan termakmur di dunia. Zaman telah berubah ternyata,” gumam Palgunadi disusul ajakan untuk meneruskan perjalanan pada istrinya.

Di lain pihak, Arjuna tidak lantas jera begitu saja. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, ia mengerahkan kesaktiannya untuk berlari secepat angin menuju Dwarawati. Ia bermaksud menemui Sri Kresna dengan harapan mendapat bantuan, atau setidaknya saran untuk mengalahkan Palgunadi, dari penasehat para Pandawa itu.

Kebetulan, saat itu Kresna sedang menggelar rapat bersama para menterinya dalam rangka memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi di Dwarawati. Di balik itu, rapat sebenarnya adalah untuk memecat para pejabat yang terbukti ingin menggulingkan kekuasaan Kresna dengan memanfaatkan rakyat yang tidak tahu apa – apa melalui berbagai aksi masal. Ya, isu pemerintahan Kresna yang korup mulai menyebar di Dwarawati kala itu, yang pada giliran berikutnya memunculkan aksi demonstrasi di beberapa distrik Dwarawati. Kresna tahu siapa dalang di balik semua itu sejak lama, namun baru melakukan tindakan nyata setelah semua terbukti jelas. Memang begitulah watak titisan Bathara Wisnu, sportif dan berpikir dahulu sebelum bertindak.

Bosan dengan aktivitas menunggu, Arjuna memutar haluan sebentar. Ia berjalan mengendap – endap menuju dapur tempat para emban mempersiapkan masakan. Saat ia masuk, perhatian semua emban tertuju padanya. Arjuna berharap bahwa mereka akan terkesima oleh ketampanan wajahnya, tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka semua lari tunggang-langgang, ketakutan. Ada yang menjerit histeris, bahkan pingsan di tempat. “O iya, aku lupa. Badanku masih penuh luka sekalipun aku sudah tak merasakannya. Jika aku bercermin mungkin aku tampak seperti zombie. Pantas saja semua emban itu lari. Hi hi hi,” ujarnya terkikik.

“Yayi Arjuna, harap jangan melakukan kebiasanmu di sini. Kalau kau hendak menemuiku, aku ada di pendopo,” suara Kresna sampai ke telinga Arjuna. Mendengar pesan yang disampaikan secara telepati itu, ia langsung melesat menuju tempat yang dimaksud.

“Kamu itu memang tidak pernah kapok yayi. Setiap ada cewek selalu kamu goda, akibatnya justru kamu yang rugi kan?” tunding Kresna saat Arjuna menemuinya.

“Mohon jangan begitu Kakang Kresna, saya datang kemari untuk meminta petunjuk sebab hamba kalah bertarung dengan raja Negara Paranggelung, si Palgunadi. Yang kakang bicarakan itu soal lain, dan hendaknya dibicarakan lain waktu saja,” Arjuna berkelit. Namun Kresna tahu akal bulusnya, bahkan jauh melebihi dirinya sendiri. Salah satu kemampuan titisan Bathara Wisnu yang lain, ngerti sak durunge winarah atau tahu sebelum diberi tahu.

“Alaah, jangan kamu kira aku tidak tahu. Kau berantem dengan Palgunadi karena ingin merebut istrinya kan? Mengaku saja yayi,” kata Kresna diiringi seraut wajah tersipu Arjuna. “Sudah, sekarang daripada kau lama – lama di sini aku beri tahu saja info yang kau butuhkan. Palgunadi dapat mengalahkanmu dengan mudah karena ia memakai cincin Mustika Ampal. Konon yang memakai cincin itu akan menjadi pemanah terhebat di arcapada ini. Kedua, kedatangannya ke Astina adalah untuk menemui Pandhita Durna. Ia hendak berterima kasih karena merasa telah diajari memanah oleh beliau. Cukup itu saja yang kuberitahukan padamu. Mengenai bagaimana kau merangkainya menjadi suatu cara yang jitu untuk mengalahkan Palgunadi, aku tidak ingin ikut campur.”

Sebenarnya Arjuna masih ingin bertanya lebih jauh, tapi itu hanya akan membuat lebih banyak kartunya yang dibuka Kresna. Karenanya ia segera undur diri, dengan rasa malu. Sekali lagi ia kerahkan aji sepi anginnya untuk menemui Durna sebelum didahului Palgunadi. Dalam perjalanan akal liciknya bekerja, ia mengatur siasat untuk memanfaatkan Durna agar gurunya itu mau meminta cincin milik Palgunadi, kalau bisa sekalian istrinya. Ia beruntung Begawan Durna sedang bersantai di rumahnya, perum militer Astina. Saat seperti itulah yang biasanya paling memungkinkan bagi Durna untuk diajak kompromi.

Dengan gayanya yang dibuat – buat, Arjuna menjatuhkan diri tepat di depan Durna. Tingkah itu membuat sang pandhita tergagap. “Katiwasan bopo! Katiwasan! Tadi…, di hutan sana bopo, di hutan sana…” ujar Arjuna dengan nafas tersengal – sengal.

“Tenang gus, coba atur nafas. Cerita yang jelas biar bopo mengerti,” sahut Durna.
"Bopo kenal dengan Palgunadi?”
“Hemmm, maksudmu Ekalaya?” tanya Durna sembari mengingat – ingat.
“Nha itu, benar bopo.”
“Lantas?”
“Bopo ini bagaimana? Kenapa dia diajari memanah sedemikian intensif sedangkan saya tidak? Mana janji bopo bahwa saya adalah murid kesayangan bopo dalam bidang memanah?

“Sebentar ngger, bopo bingung dengan apa yang kamu bicarakan. Ada apa dengan Ekalaya? Dan apa yang dia lakukan padamu sehingga kamu terluka seperti ini?” Durna bingung.

Arjuna pun memanfaatkan kebingungan itu untuk terus menghasut Durna. “Bopo tahu? Palgunadi hendak menantang bopo karena merasa bahwa dirinya sekarang lebih unggul dari bopo. Saya merasa tersinggung dan menantangnya beradu panah, tapi kalah.”

Durna yang sudah mulai pikun itu termakan oleh omongan Arjuna, “Seingatku seperti baru kemarin aku meninggalkan patung itu untuk menipunya agar tidak merengek minta kuajari memanah. Mungkin sekitar enam atau tujuh purnama, aku tidak begitu ingat pasti tapi aku yakin masih belum lama. Tidak mungkin hanya dengan berlatih dari sebuah patung dalam waktu sesingkat itu ia bisa mengalahkan Arjuna. Pasti ada sesuatu,” gumam Durna. Tanpa pikir panjang, ia segera melesat menuju perbatasan hutan dengan kota. Arjuna mengekor gurunya dari jauh.

Tak butuh waktu lama bagi padhita dan raja muda itu untuk bertemu, sebab mereka tak terpisah oleh jarak yang jauh. Melihat guru yang dicari – cari datang menyambut, Palgunadi pun menghaturkan sembah sebagai tanda penghormatan. “Sembah bakti hamba bopo Begawan, lama tak bertemu.”

“Heh, Ekalaya! Aku dengar kau mau menantangku beradu kemampuan memanah lantaran sekarang kau merasa lebih unggul dariku. Apa benar begitu?” hardik Durna tiba – tiba.

Palgunadi kaget dengan sambutan yang tidak disangka itu. Agak gagap ia menjawab, “Duh bopo, siapa yang berani berkata demikian? Tak sedikitpun maksud yang terbesit di hati hamba menantang bopo Durna. Justru kedatangan hamba dalah untuk berterima kasih karena bopo telah mengajari hamba ketrampilan memanah.”

Mendengar jawaban tulus Palgunadi, Durna pun sadar akan kejadian sebenarnya. Ia lalu tersipu karena telah berpikir yang tidak – tidak tentangnya. Namun karena pada dasarnya ia tidak suka pada Palgunadi, ia tidak begitu saja berbalik memihaknya. Selain itu reputasinya di Astina bisa hancur kalau ketahuan menyimpan murid yang lebih hebat dari anak – anak didiknya di negeri itu. Ia bisa dicap tidak serius mengajar mereka dan jabatannya dicopot.

“Baik, karena apa yang kudengar sebelum ini dan apa yang kau ucapkan bertentangan. Maka aku meminta bukti agar lidahmu bisa kupegang,” kata Durna masih setengah menghardik.

“Bukti apa yang bopo maksud?” Palgunadi tak mengerti.

“Satu pertanyaan, bagaimana kau bisa mengalahkan Arjuna padahal dia sangat berbakat. Sementara kau memulai dari nol hanya dalam waktu semusim, itu pun tak pernah belajar langsung dariku?”

Sekejap setelah nama Arjuna disebut, Palgunadi sadar bahwa dialah yang berdiri tegap di balik layar. Ia paham ini semua adalah skenario yang dirancang, sebuah lakon yang dimainkan, dan Arjuna lah dalangnya. Namun penghormatannya pada Begawan Durna lebih besar dari amarahnya sehingga luapan emosi yang meletup – letup dalam dadanya dapat ditekan. Pada giliran berikutnya, justru ketulusan itu membawa nasib buruk baginya sesuai dengan rancang bangun siasat Arjuna. Palgunadi menceritakan pada Durna bahwa cincin yang dipakainya dapat melejitkan bakat memanah seperti roket. Polos dan blak-blakan meskipun ada sedikit rasa tidak rela.

“Jika memang begitu, penghormatanmu kuterima dengan syarat kau menyerahkan cincin itu. Kau bilang, cincin itu membuat penggunanya mempunyai bakat memanah. Karena sekarang kau telah mahir maka bakat tidak lagi dibutuhkan, otomatis tak masalah jika kau tak memakai cincin itu.”

Palgunadi hanya menurut, baginya penerimaan Durna lebih berharga daripada sebuah cincin. Sial, saat ia menjulurkan tangan dengan maksud agar Durna menagmbil cincin itu dari ibu jarinya, secepat kilat Durna mencabut pisau dan memotong tangannya. Belum sempat mengelak, Durna menancapkan pisaunya tepat di jantung Palgunadi. Anggraeni yang berdiri di sampingnya agak ke belakang menjerit histeris seketika, tak kuasa melihat suaminya bersimbah darah.

Saat itulah Arjuna muncul mengambil potongan ibu jari Palgunadi untuk melepas cincinnya dan memasangkannya ke jarinya sendiri. Namun cincin itu seperti punya kode DNA yang hanya bisa dipakai oleh orang tertentu dan tidak yang lain. Sehingga Arjuna harus memasang cincin itu sekalian ibu jari Palgunadi. Sebagai bayaran atas kemampuan cincin itu, total jari tangannya menjadi sebelas kemudian.

Detik – detik terakhir hidup raja Negara Paranggelung itu ditutup dengan kata – kata kutukan. “Orang tua keparat! Padahal aku tulus ingin menjadi muridmu, tapi kenapa kau menyia – nyiakan ketulusanku dan malah membela Arjuna? Bahkan sampai sejauh ini perbuatanmu padaku. Ingat! Di masa depan saat perang besar terjadi aku akan datang lagi untuk memenggal kepalamu. Dan kau playboy cap tokek! Aku bersumpah bahwa saat perang besar itu tiba ribuan anak panah akan menacap di tubuhmu, kau akan mengalami penderitaan tiada tara sehingga segera mati menjadi pilihan yang lebih baik. Dan jika sumpahku tidak berlaku padamu, maka anakmu lah yang akan mengalaminya.” Sehabis berkata demikian, Palgunadi pun mengehembuskan nafas terakhirnya. Anggraeni, sebagai sosok istri yang setia pada suami dan tak mempan oleh godaan berupa ketampanan yang menjanjikan dari seorang Arjuna, melakukan bela pati. Ia menikam jantungnya sendiri dengan tusuk konde. Jiwa keduanya melayang menuju khayangan, meninggalkan sepasang jasad yang terkulai, berpelukan.



Tinjau sebuah partikel bermassa yang berada pada medan potensial (potensial tidak bergantung waktu). Persamaan Schrodingernya menjadi
…(1)

Solusi umum dari persamaan (1) adalah fungsi gelombang yang bisa kita peroleh dengan cara pemisahan variabel  . Sehingga
… (2)
Bagi kedua ruas dengan, diperoleh
...(3)
Karena kedua ruas tidak saling bergantung satu sama lain, maka satu – satunya kemungkinan untuk kedua ruas adalah konstanta.

Kerjakan ruas kanan
...(4)
integralkan
...(5)
Solusinya menjadi
...(6)
Fungsi gelombang seperti ini menunjukkan keadaan stasioner karena rapat peluangnya tidak berubah terhadap waktu, yakni