twitter


Saya heran dengan orang-orang yang berupaya memboikot Sari Roti, bagaimana bisa mereka berkesimpulan bahwa Sari Roti harus diboikot lantaran pengumuman atas ketidak terlibatannya dalam aksi demo besar tempo hari? Alur pikiran saya begini, mestinya pemilik perusahaan apa pun akan berupaya produknya punya pasar seluas mungkin. Khusus makanan, wajar jika pemilik perusahaan ingin jika makanan yang diproduksi perusahaannya dikonsumsi sebanyak mungkin, terlepas dari suku, agama dan ras konsumen.

Demo besar kemarin menunjukkan adanya "perpecahan" menjadi dua kubu, pro-demo dan menolak demo baik karena memang tidak berkenan atau berada di pihak yang bertentangan. Produsen makanan apa pun mestinya tidak ingin konsumennya banyak berkurang karena terbukti memihak salah satu kubu. Maka ketika muncul gambar yang seolah menandakan keterlibatan semacam itu, adalah wajar jika pihak perusahaan gusar lalu mengeluarkan pernyataan resmi bahwa perusahaannya tidak terlibat. Pernyataan itu sendiri diawali dengan apresiasi atas tindakan demo besar kemarin, artinya disusun dengan bahasa yang sopan. Akan tetapi, kubu pro-demo kemudian menganggap ini sebuah pembelaan atas kubu lawannya?

Maa kuntu mafhuman `an thoriqoti tafakkurikum, _haqiqotan...

NB : Alur berpikir di atas didasarkan pada praanggapan logis, bukan pada fakta eksperimental.


Jepang pra-1945 menampilkan wajah congkak kepada dunia, khususnya kepada Asia. Ini tidak lain karena Jepang ketika itu mempercayai mitos bahwa ia keturunan dewa, dan bahwa balatentaranya tidak terkalahkan. Tetapi, begitu dipukul kekalahan dalam bulan Agustus 1945, rakyat Jepang menyadari bahwa mereka harus menyadari nilai-nilai perdamaian, demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Sebagai hasilnya, mereka menjadi rendah hati.

Paragraf di atas dapat kita temui dalam buku berjudul "Masalalu Selalu Aktual" tulisan P. Swantoro dalam bab ketika ia menulis tentang Prof. Rokuro Hidaka dan pandangannya terhadap Jepang modern. Mungkin sebagian dari kita beranggapan bahwa keyakinan sekelompok orang bahwa mereka punya hubungan khusus dengan entitas transendental dan karenanya berhak mendominasi kelompok lain, adalah keyakinan yang konyol. Apalagi jika kemudian keyakinan tersebut terbantahkan dengan cara yang sangat memalukan.

Well, saya juga beranggapan seperti itu meski tidak secara spesifik merujuk kepada Jepang. Tapi bagaimanapun, saya harus mengacungkan jempol pada negara yang mendapat julukan "Tanah Tempat Matahari Terbit" tersebut. Pasalnya keyakinan yang mereka anut adalah hasil swadaya mereka sendiri. Setidaknya "keyakinan konyol" itu bukan produk impor.


Bahkan setelah game Assassin's Creed punya banyak sekuel, saya rasa Altair (Ath-Thoir) bin Laa Ahad (tokoh utama game pertama) adalah tokoh yang paling keren. Semboyannya, "Laa syai-a waqii`un muthlaqon bal kullun mumkinun" tidak hanya menjadi doktrin yang terkenal di antara para assasin sesudahnya, tapi juga menarik untuk direnungkan penonton.

Altair bin Laa Ahad
Arti kalimat tersebut adalah "Tidak ada sesuatu pun yang terjadi secara mutlak, tetapi semuanya mungkin". Ezio, assassin penerus Altair, menafsirkan kalimat tersebut sebagai berikut, setiap tindakan yang kita lakukan selalu membawa konsekuensi dan karenanya kita sendiri lah sosok yang membentuk masa depan. Dipikir-pikir saya penasaran juga, akankah ada yang memaknai ini sebagai upaya penafian terhadap Tuhan sebagai sosok dengan kekuasaan mutlak oleh pihak pembuat game. Pemaknaan semacam itu sangat mungkin muncul mengingat beberapa kejadian terkait isu agama yang mencuat akhir-akhir ini.

Assasin lazimnya mengenakan jubah bertudung yang menutupi sebagian wajahnya. Mungkin kostum Assassin dirancag demikian sehingga pemakainya tidak gampang dikenali. Senjata andalan mereka adalah bilah tajam yang dipasang di lengan bawah bersama gauntlet. Selain doktrin di atas, kostum dan senjata yang khas assassin memberikan kesan mengagumkan tersendiri bagi penonton sekaligus penikmat jalan cerita seperti saya.


Setelah melihat beberapa orang mengaitkan antara angka 212 dengan Q.S. 21:2 dan Q.S. 2:21, saya lantas berpikir. Angka 212 berarti tanggal 2 Desember menurut penanggalan masehi. Tapi bukankah penanggalan masehi, menurut catatan sejarah, adalah sistem penanggalan yang diciptakan bangsa mesir penyembah berhala, dikembangkan oleh orang-orang kerajaan Romawi lalu disempurnakan Paus Gregorius XIII pada abad keenam belas? Di sisi lain, sistem penanggalan khas Islam adalah sistem penanggalan yang didasarkan pada pergerakan bulan, atau dengan kata lain kalender hijriyah. Jadi dasar bagi pengaitan antara angka 212 dengan Q.S. 2:12 dan Q.S. 21:2 cukup rapuh.

Setelah mengecek lewat aplikasi, tanggal 2 Desember 2016 bertepatan dengan tanggal 2 Rabiul Awwal 1428 H. Rabiul Awwal adalah bulan ketiga dalam kalender hijriyah, dan karena terprovokasi oleh pengaitan itu maka secara iseng saya mengecek Q.S. 2:3 yang ternyata isinya (berdasarkan terjemahan dari Depag RI) sebagai berikut : "(Orang-orang bertaqwa)... Yaitu orang-orang yang beriman pada yang ghaib, melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka." Saya pun berhenti sebab tidak segera melihat adanya kaitan antara ayat dengan tanggal tersebut.

Mikir yang lain...


Akhirnya kubeli juga novel berjudul Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas setelah dibuat penasaran oleh isinya. Novel itu sudah sering kulihat di rak toko buku tapi waktu itu belum ada keinginan untuk membelinya. Baru ketika salah seorang teman di tempat kerja meminjamiku sebentar agar aku membaca beberapa paragraf di dalamnya, lalu tidak berkenan meminjamiku agar novel itu kubaca lebih jauh, keinginan semacam itu baru muncul.

Seingatku dia sendiri yang menunjukkan bahwa dia mempunyai buku itu padaku. Karena aku adalah orang yang sangat obsesif terhadap buku baru, maka aku langsung meminjamnya. Dia ragu-ragu, dan ketika dia menyerahkannya padaku dan kusambut novel itu, dia masih menahan tangannya sambil memeringatkanku bahwa bahasa yang digunakan untuk menulisnya adalah bahasa dewasa. Aku tertawa. Kukatakan padanya bahwa aku hanya dua puluh hari lebih muda darinya. Jika dia bisa membaca dari sudut pandang orang dewasa, aku juga pasti bisa. Lalu aku pun membaca paragraf pertamanya.
 
"Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati," kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir. Ia satu dari beberapa orang yang mengetahui kemaluan Ajo Kawir tak bisa berdiri. Ia pernah melihat kemaluan itu, seperti anak burung baru menetas, meringkuk kelaparan dan kedinginan. Kadang-kadang bisa memanjang, terutama di pagi hari ketika pemiliknya baru terbangun dari tidur, penuh dengan air kencing, tapi tetap tak bisa berdiri. Tak bisa mengeras.

Aku nyengir, kesan pertama yang muncul setelah membaca paragraf pertama novel itu adalah bagaimana bisa temanku yang seorang gadis anggun berjilbab lebar itu bisa mempunyai dan membacanya. Dengan tersipu dia mengatakan bahwa dia tidak sengaja membelinya. Aku terkikik.

Lebih jauh, aku lalu berpikir. Ini pertama kalinya aku menemukan novel yang ditulis menggunakan gaya bahasa selugas itu ketika penulisnya menceritakan kelamin dan segala aktivitas yang berkaitan dengannya. Fakta bahwa naskahnya lolos dan diterbitkan oleh penerbit ternama adalah bukti bahwa bahasa selugas itu, ternyata, bisa juga menjadi konsumsi khalayak. Ini adalah hal baru. Maka sejak si teman enggan meminjamkannya lagi, aku berniat untuk membeli sendiri...






Orator dalam video di atas menyampaikan keberatannya secara berapi-api tentang seorang dosen dari Universitas Islam Negeri Sunankalijaga, yang sebagaimana disebutkannya telah membaca Al-quran (Mushaf Usmani) di Istana Negara menggunakan langgam Jawa.

Alasannya adalah bahwa jika langgam Jawa diperbolehkan untuk membaca Al-quran, maka nanti (dikhawatirkan) akan muncul orang-orang yang membacanya dengan langgam dangdut atau jaipongan. Well, dengan melihat fakta bahwa dangdut sekarang diwarnai oleh penyanyi erotis berpakaian minim, wajar jika pembacaan Al-quran menggunakan langgam dangdut dianggap menodai kesuciannya. Perbuatan seperti itu adalah perbuatan kurang ajar dan pelakunya disetarakan dengan beberapa binatang yang juga disebut dalam video.

Terlepas dari kapan video tersebut direkam, mari kita pikir lebih jauh. Peristiwa pembacaan Al-quran di Istana Negara yang dimaki oleh orator dalam video itu baru menggunakan langgam Jawa. Setahu saya, langgam Jawa tidak atau belum tersentuh erotisme sebagaimana dangdut (atau mungkin jaipongan). Maka kekhawatiran akan munculnya pembacaan Al-quran dengan langgam dangdut sebenarnya adalah kehawatiran yang terlalu dini.

Kemudian jika pembacaan Al-quran dengan langgam dangdut mulai muncul, lalu masalahnya di mana? Yang memberi nilai sedemikian negatif pada dangdut adalah sebagian dari kita sendiri, yakni dengan ketidaksukaan kita pada tampilan penyanyi yang erotis dan berpakaian minim, bukan pada langgamnya. Jadi, kesimpulan bahwa pembacaan Al-quran menggunakan langgam dangdut pastilah diambil berdasarkan analisis yang dangkal atau terburu-buru, jika tidak dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menjaga elemen "budaya asal tempat Islam lahir" terjaga.


Bertemu dengan orang baru di tempat kerja menjadi pengalaman yang sangat menarik ketika orang itu melakukan hal-hal yang menurutku tak biasa. Aku baru tiga kali bertemu dengannya dan baru kali ini, jumat malam ini, aku berbincang dengannya. Maka kukira wajar kalau namanya tak bisa kusebutkan karena aku lupa.

Perempuan itu sangat ekspresif, dia selalu memberi kesan 'wah' yang  untuk ukuran penggemar ekspresi datar sepertiku berlebihan. Dia punya penjelasan yang didasarkan pada pengalamannya sendiri perihal  kenapa dia menjadi begitu ekspresif padahal sebelumnya tidak seperti itu. Menurutnya, sikap ekspresif itu adalah cara khasnya untuk memberi kesan menyenangkan bagi orang lain. Jika kita menampakkan luapan kegembiraan yang ditampilkan oleh wajah ceria dan senyum, kata perempuan itu, maka orang lain akan 'diringankan'. Sebagai gantinya, kita lah yang akan diringankan di kemudian hari.

Perempuan itu memberi contoh, seorang manajer sebuah kafe mentraktirnya makan ketika ketepatan dia sedang tidak punya uang dan harus mengajar privat di kafe tersebut. Ketika dia meminta penjelasan, si manajer hanya mengatakan bahwa traktiran itu adalah ungkapan terima kasih padanya karena telah memberi bantuan di masa lalu.

Aku dan perempuan itu segera terlibat percakapan yang kalau dipikir-pikir aneh juga. Kami berbicara kesana-kemari, mulai dari pekerjaan perempuan itu sebelum bekerja di tempat yang sama denganku saat ini, pengalamannya lolos dari kanker otak dengan hanya berbekal pasrah yang kemudian menjadikannya konsultan kesehatan, proses studi lanjutannya ke luar negeri, akun media sosialnya yang aku tidak tahu apa itu, hingga ke anggapannya bahwa gunung adalah makhluk hidup.

Aku pun menolak anggapan tersebut berdasarkan ingatanku (yang sudah cukup kabur) tentang definisi "kehidupan" hasil usulan Lee Smolin dalam bukunya The Life of The Cosmos. Menurut Smolin, galaksi tidak bisa dikategorikan sebagai makhluk hidup karena tidak menggandakan diri, aku ingat betul bagian itu. Maka kutolak anggapan perempuan itu dengan menanyakan secara retoris, apakah gunung beranak pinak atau tidak. Bantahnya, gunung bisa beranak pinak, contohnya adalah gunung Krakatau.

Menurut perempuan itu juga, gunung pun bergerak, karena sudah jelas dalam Al-quran disebutkan bahwa memang begitu keadaannya. Kalau sudah bawa-bawa Mushaf Usmani seperti itu, tanggapan saya hanya senyum dan tiga patah kata, "Ya... Ya... Ya...". Tambahnya lagi, gunung juga punya jenis kelamin. Merapi berjenis kelamin laki-laki.

Percakapan kami terhenti oleh kedatangan tiga siswa yang harus dia ajar secara privat. Dia sekarang sedang mengajari mereka bertiga bahasa Inggris, dan aku masih tidak percaya ada menusia nyata yang seperti itu, sempat bertemu dan bercakap-cakap denganku sehingga membuatku merasa ingin menuliskan kisah ini. Aneh? Ayo kita tertawa saja...


Membaca buku-buku fisika populer kadang membawa kepuasan tersendiri. Ketika sebuah teorema dipaparkan dengan kata-kata belaka, tanpa simbol-simbol matematis yang rumit, tapi nyatanya itu berhasil menjelaskan gagasan pokok si pencetus teorema dengan gamblang, lalu kita bisa memahaminya setelah melakukan beberapa upaya, maka saat itulah kepuasan khas tersebut muncul. Kali ini aku membaca buku karya Lee Smolin yang judulnya The Life of The Cosmos dan mendapati sebuah teorema tentang lubang hitam.

Teorema tersebut menyatakan bahwa sebuah wilayah tertentu dalam ruang hanya dapat menampung informasi dalam jumlah yang terbatas. Batasan ini diberikan oleh entropi lubang hitam terbesar yang dapat dimuat oleh wilayah tersebut. Karena entropi lubang hitam sebanding dengan luasnya, maka jumlah maksimal informasi yang dapat ditampung oleh sebuah sistem sebanding dengan luas tapal batasnya.

Pembuktiannya demikian. Hukum kedua termodinamika menyatakan bahwa tidak ada proses termodinamis dalam sistem tertutup yang menurunkan entropi sistem tersebut. Andaikan di dalam sebuah wilayah dengan tapal batas yang telah ditentukan, ada suatu sistem yang bisa menampung informasi lebih banyak dari sembarang lubang hitam yang dapat dimuat oleh wilayah tersebut. Kita lalu dapat terus menambah energi sistem sehingga sistem memadat dan menjadi lubang hitam. Berdasarkan pernyataan sebelumnya, proses perubahan sistem menjadi lubang hitam ini menurunkan entropinya, yang jelas bertentangan dengan hukum kedua termodinamika. Karena itu pengandaian salah dan terbukti bahwa jumlah maksimal entropi yang dapat ditampung oleh suatu sistem berukuran tertentu sebanding dengan luas area lubang hitam terbesar yang dapat ditampung sistem tersebut. Maka informasi yang dapat ditampungnya pun terbatas, sebab entropi adalah ukuran informasi.

Membaca adalah kegiatan yang menyenangkan ketika kita berhadapan dengan buku yang bagus, apalagi buku itu bercerita tentang pengetahuan perihal bidang yang kita sukai tapi belum kita kuasai.



Cara laba-laba pelompat (Habronattus Clypeatus) untuk memperoleh pasangan bukan hal yang unik di dunia binatang. Untuk menarik perhatian betinanya, pejantan spesies ini biasa melakukan gerakan-gerakan khusus. Ilmuwan telah mengembangkan gawai yang memanfaatkan sensor khusus untuk mengonversi gerakan yang ditampilkan si laba-laba menjadi suara. Mereka menemukan bahwa pejantan seolah sedang "bernyanyi" ketika melakukan gerakan menggetarkan perut dan mengangkat kaki depan.

Nyanyian tersebut bernada mendominasi dan mempunyai tiga corak yang bergantung dari jarak antara pejantan dan betina. Jika nyanyian berhasil, maka si pejantan akan mendapatkan si betina sebagai pasangan untuk berhubungan seksual. Jika tidak berhasil, pejantan mungkin ditendang jauh sebab tubuh betinanya tiga kali lebih besar. Uniknya, memutuskan untuk menjadi jomblo seumur hidup bukan pilihan yang baik untuk laba-laba pelompat (Habronattus Clypeatus) jantan, sebab betinanya kanibal. Tidak ingin berpasangan berarti secara harfiah siap menjadi mangsa bagi betinanya.

Sumber :
https://www.youtube.com/watch?v=y7qMqAgCqME


Fisikawan abad ke-18 Pierre-Simon, Marquis de Laplace pernah menulis buku berjudul Mekanika Benda-Benda Langit (Mechanique Celeste) yang di dalamnya dia menjelaskan pergerakan benda-benda langit dengan berpijak pada landasan fisis hasil rumusan Newton pada periode sebelumnya. Menurut Laplace, konsekuensi dari fisika newtonan adalah determinisme. Jika kita hendak memrediksikan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi (atau telah terjadi), kita cukup tahu posisi dan momentum setiap partikel yang ada di alam semesta pada suatu waktu. Jika suatu saat kecerdasan seperti itu ada, maka dalam bahasa Laplace, tidak ada yang tidak pasti baginya.

Kesimpulan ini memunculkan kisah tentang pertemuan antara Laplace dengan Napoleon. Kisah itu menyebutkan bahwa Jendral Perancis tersebut menanyakan kenapa Laplace tidak menyertakan Tuhan dalam buku tentang alam semesta yang telah ditulisnya. Laplace kemudian menjawab bahwa dia tidak membutuhkan hipotesis semacam itu. Artinya, menurut Laplace tidak ada "sosok" di atas sana yang mengendalikan segala hal di alam semesta. Ini jelas merupakan tantangan bagi agamawan pada masa itu. Karena perannya yang mengancam keberadaan konsep tuhan, "kecerdasan" yang disinggung Laplace itu kemudian disebut dengan Iblis Laplace (Laplace's Demon).

Pierre-Simon, Marquis de Laplace (1749-1827) adalah matematikawan dan fisikawan berkebangsaan Perancis yang banyak menyumbangkan gagasan pada kalkulus interal, kalkulus diferensial serta astronomi.
Hari ini kita mempunyai fisika baru yang belum ada pada masa hidup Laplace, yaitu fisika kuantum. Dengan berpegang pada fisika kuantum yang salah satu pernyataan terkenal di dalamnya mengatakan bahwa kita tidak mungkin mengetahui posisi dan momentum partikel secara bersamaan sekaligus seratus persen akurat, kita dapat menyimpulkan bahwa Iblis Laplace tidak akan pernah ada.

Kendati demikian, sebenarnya gagasan tentang Iblis Laplace menimbulkan masalah serius dalam dirinya sendiri. Andaikan kita dapat membangun sebuah mesin yang mampu mencatat atau merekam posisi dan momentum setiap partikel di alam semesta berikut menghitung posisinya pada sembarang waktu berdasarkan fisika newtonian.

Mesin tersebut boleh menyimpan informasi dalam bentuk apapun, catatan di atas kertas, batu tulis bahkan hardisk raksasa. Akan tetapi dalam kaitannya dengan peran untuk meniadakan "agen luar yang ikut campur dalam cara alam semesta bekerja", mesin tersebut harus merupakan bagian dari alam semesta juga. Di sinilah letak kesulitannya, sebab mesin tersebut harus mampu mencatat setiap posisi dan momentum partikelnya sendiri. Dengan kata lain, mesin yang mampu memerikan dirinya sendiri di samping seluruh benda entitas fisis lain di alam semesta. Sulit kiranya membayangkan adanya mesin seperti itu, maka wajarlah jika kita ucapkan sayang sekali Iblis Laplace tidak pernah dapat mewujud.


Malam minggu, jones tapi tidak homeless dan jobless, serta punya keinginan kuat untuk menulis. Aku mencari-cari bahan curhat di otakku, dan ketemu. Leonard Susskind, fisikawan teoretik, dalam sebuah kuliah "Mekanika Kuantum"-nya, pernah mengatakan bahwa dia lebih menyukai mekanika kuantum daripada mekanika klasik karena dalam beberapa hal mekania kuantum memberikan kejelasan yang tidak diberikan oleh mekanika klasik.

Aku sempat merenungi makna di balik ucapan dosen di Universitas Standford itu. Apa saja "beberapa hal" itu? Tentu saja aku juga belajar mekanika kuantum di bangku kuliah, tapi butuh perenungan yang jauh untuk menemukan "beberapa hal" yang dimaksud Pak Susskind.

Hari terakhir aku membaca buku teks tentang mekanika kuantum adalah hari ketika malamnya adalah malam minggu ketika aku merasa menjadi jones tapi tidak homeless maupun jobless, hari ini. Maka kuputuskan untuk benar-benar menulis gagasan itu dengan bahasaku sendiri. Bahasa yang tidak kaku. Bahasa yang disastra-sastrakan meskipun tidak sastrawi dan sedikit banyak mengorbankan kejelasan konsep.

Oke. Kembali ke pokok bahasan. Kuduga, salah satu aspek paling jelas ketika mekanika kuantum "berani beda" dari mekanika klasik adalah ketika keduanya mengusung masalah pengukuran. Menurut gagasan yang mendarah daging dalam fisika klasik (sampai abad kedua puluh), pada prinsipnya, masalah pengukuran hanya masalah kecanggihan alat. Misalnya, jika kita tidak dapat melihat hal-hal yang cukup kecil, kita "cukup membuat" kaca pembesar. Ada obyek-obyek yang lebih kecil lagi, kita buat kaca pembesar yang lebih canggih lagi. Begitu seterusnya, tidak ada batasan bagi seberapa kecil obyek yang kita lihat tanpa menimbulkan masalah serius, asalkan kita menyumbangkan dana yang cukup untuk membangun alat yang lebih canggih. Bahasa ringkasnya, untuk mekanika klasik, mengukur hanyalah mengukur.

Sebenarnya, kita harus berhati-hati dalam mengucapkan kata "pengukuran". Ketika kita mengukur sesuatu, panjang pensil menggungakan penggaris misalnya, yang kita maksudkan sebenarnya adalah menyandingkan pensil itu dengan penggaris kita. Saat itu cahaya menumbuk ujung-ujung pensil berikut skala pada penggaris dan memantul ke mata kita sehingga kita melihat pensil itu mempunyai panjang sebesar x. Fokus pada kalimat "cahaya menumbuk ujung-ujung pensil berikut skala pada penggaris". Rupanya, mengukur tidak hanya sekadar mengukur. Pengukuran adalah proses yang melibatkan interaksi fisis, dan dalam mekanika kuantum interaksi itu "sangat" mengganggu.

Bayangkan lagi, ketika kita melihat orang mengendarai sepeda motor berikut pergerakannya, sebenarnya yang terjadi adalah cahaya menumbuk pengendara tersebut lalu memantul mengenai mata kita. Pengendara motor, tentu saja, mempunyai bobot yang lumayan besar sedemikian rupa sehingga interaksinya dengan cahaya tidak mengganggu proses "melihat" tadi. Akan tetapi jika pengendara motor itu diganti dengan elektron, lain ceritanya. Elektron sangat-sangat ringan sehingga jika ia tertimpa cahaya, "jalan"-nya akan benar-benar terganggu. Momen setelah gangguan itu tidak terprediksi. Di sinilah letak titik perbedaan antara mekanika kuantum dari mekanika klasik...

Nah, aku sudah dapat bahan yang cukup untuk kupubikasikan di blog. Cerita tentang kuantumya sekian dulu. Tertarik untuk mendengar cerita lebih jauh, pm!


Membaca tiga potong kicau Goenawan Mohamad tentang kritik Bung Karno masalah penggunaan fikih untuk melakukan tindakan tercela, yaitu :

Yang mengejutkan, pada tahun 1940, Bung Karno juga sebut praktik kawin siri (nikah cuma buat semalam) dengan para pelacur di satu kota Jawa-Barat
Ada penghulu yang siap menikahkan pelanggan dan pelacurnya, dan esoknya talak dijatuhkan. Ini, kata Bung Karno, "Main kikebu dengan Tuhan."
"Main kikebu" atau cilukba dengan Tuhan, itulah sebutan Bung Karno tentang orang yang menggunakan fikih untuk membenarkan laku yang cela.

dalam buku "Percikan : Kumpulan Twitter @gm_gm" halaman 202-203, imajinasiku melayang. Aku benar-benar membayangkan adanya jasa yang menyediakan layanan prostitusi tetapi lewat jalan "syar'i". Kata "syar'i" yang kumaksudkan di sini adalah dalam kaitannya dengan fikih.

Misalkan benar-benar ada jasa prostitusi yang juga menyediakan penghulu, pramuria sebagai mempelai perempuan, saksi, komplit dengan wali yang entah bagaimana bisa dibujuk untuk menyetujui anaknya menjadi pramuria dengan cara seperti itu, pokoknya syarat dan rukunnya lengkap, lalu bagaimana? Apa yang menjadi ganjalan bagi penyedia jasa prostitusi syariah seperti itu untuk ada? Harus kutekankan bahwa aku tidak tahu banyak tentang fikih (dan tidak suka juga meskipun kolom agama di KTP-ku berisi kata "Islam", tapi ini soal lain).

Setahuku fikih hanya menghukumi suatu pekerjaan berdasarkan rukun dan syarat pekerjaan itu. Dalam Islam, menikah adalah sangat dianjurkan. Bahkan, konon orang yang tidak meikah justru tidak terpuji. Lalu ketika orang ingin "menikah untuk semalam" saja, dengan rukun dan syarat yang lengkap, bukankah secara fikhiyah tidak masalah? Sedangkan jika ada larangan dan anggapan bahwa tindakan tersebut tercela, bukankah ini bersumber dari moral si pencela? Dengan kata lain, larangan itu tidak bersumber dari fikih.

Kadangkala, dalam fikih kita mendapati perbuatan yang dalam kesadaran moral kita salah, berubah menjadi tidak bermasalah. Misalnya, seorang anak sulung dihadiahi sebidang tanah berikut rumah dan kebun oleh bapaknya semasa hidup. Lalu ketika meninggal, pemberian itu tidak dihitung warisan, sehingga peninggalan si bapak yang tersisa harus dibagi menurut ketentuang yang berlaku menurut faraid (ilmu tentang tata cara membagi warisan dalam Islam). Ada juga beberapa hal yang tidak diperbolehkan menurut seorang ahli fikih, tapi dianggap sebagai "tercela" oleh yang lain, dan diperbolehkan untuk yang lain lagi. Untuk yang ini, kulit seorang laki-laki bersinggungan langsung dengan kulit perempuan setelah berwudu lalu laki-laki itu salat tanpa berwudu lagi. Jadi, "menikah dalam semalam" itu termasuk yang mana? Ingat, pertimbangan moral (apalagi yang tidak berasal dari Arab abad ketujuh masehi) tidak dimasukkan dalam penilaian suatu perbuatan menurut fikih.

Terakhir, andaikan prostitusi syariah itu benar-benar ada, maka alangkah beruntung para muslim yang kaya yang berkeinginan untuk berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seksual. Ada legalisasi dari agamanya untuk melakukan itu, sehingga paling tidak dia dan semua pihak yang membantunya tidak terkena beban psikologis akibat  ketakutan pada dosa berzina dan semua konsekuensinya meskipun dilihat dari bentuk perbuatannya sama saja.


Seorang teman tiba-tiba duduk di dekatku pada jarak sekitar dua meter untuk sebuah keperluan yang sudah kulupakan. Dia menyambar gitar yang ternyata rusak dan tidak bisa dimainkan, lalu terlihat mengelus-elus dagu. "Bro, cukur jenggot yang bagus gimana (di mana) ya? Jenggotku kurang terawat nih," celetuknya. Kulihat, dagunya memang ditumbuhi beberapa helai janggut. Tidak lebat tapi cukup panjang, sehingga kesannya tidak terawat.

"Dicukur habis saja, Mas. Pakai pisau cukur yang biasa," kutawarkan sebuah solusi.

"Wah, jangan Bro. Ini bidadari bergelayutan di sini."

Tanpa sengaja, aku bereaksi dengan meringis dan mengulang kata-katanya dengan nada mengejek. "Bidadariii???" Lalu aku diam dan buru-buru mengalihkan pembicaraan. Aku mungkin sudah menyinggung perasaannya meski tak bermaksud mengejek. Sesuatu yang sebenarnya kupikirkan adalah kenyataan bahwa temanku itu sudah punya seorang istri yang menurutku cantik. Tepat saat aku mengucapkan kata "bidadari" yang terakhir itu otakku menanyakan apakah bidadari masih berharga bagi seorang muslim yang telah mempunyai seorang istri dengan wajah menawan.

Beberapa waktu setelah itu aku merenung sendiri. Apakah sesuatu yang belum pasti, yaitu bidadari (_huur) yang dalam Islam dijanjikan untuk orang-orang saleh di surga nanti masih berharga ketika kita sudah punya istri? Tentunya istri kita adalah perempuan nyata yang sudah kita pilih dengan hati-hati yang telah kita pilih dengan sebaik-baiknya untuk menjadi pendamping sehidup semati. Mungkin ada landasan biologis yang menyatakan bahwa laki-laki cenderung untuk menyebarkan bibitnya sebanyak mungkin, dan karenanya lebih lazim laki-laki menginginkan banyak perempuan daripada perempuan menginginkan banyak laki-laki. Tapi ini di luar konteks. Muslim masuk surga tidak membawa jasad duniawi.

Adapun bidadari dalam Islam adalah makhluk Tuhan yang berwujud perempuan berdada besar dan bermata indah serta diciptakan dari cahaya khusus untuk menemani orang-orang Islam di surga nanti. Tidak hanya itu, bidadari juga selalu perawan, legal untuk disenggamai sepuas hati serta punya daya pikat yang luar biasa. Dikatakan bahwa seorang yang beradu pandang dengan makhluk bernama bidadari ini tidak akan berkedip empat puluh tahun lamanya karena terlalu terpesonanya (belum adegan ranjang yang lebih jauh dari itu). Bahkan, dari kisah yang lain dikatakan setiap muslim diberi tujuh puluh dua bidadari.

Percaya tidak percaya, muslim terpaksa harus percaya kendati ini absurd. Aku sih senang saja. Agamaku Islam, dan aku laki-laki (perempuan di surga tidak dapat fasilitas serupa). Masalahnya adalah, mitos tentang perempuan yang sempurna untuk disenggamai sebagai hadiah bagi orang-orang yang pandai menahan diri dari menggoda anak orang akan sangat mungkin muncul (atau dimunculkan) untuk mengatur masyarakat yang kaum laki-lakinya gila seks! Bagaimana kalau konsep tentang bidadari ini, walau pun tercantum dalam Al-quran dan Hadits, dimaksudkan untuk mengatur orang-orang yang gila seks supaya tidak mengganggu anak orang? Entahlah.

Secara pribadi tentu saja aku punya hasrat seksual, tapi tidak sedemikian parah sampai membayangkan adanya pelayanan seksual dari tujuh puluh dua perempuan yang tubuhnya sangat menawan dan selalu perawan seperti itu. Lagipula ketika kalau pun aku sudah punya istri, aku ingin konsisten dengan satu orang saja. Yah, meskipun tidak ada jaminan bahwa aku lantas tidak menginginkan yang lain. Maksudku, andai aku punya kemampuan untuk mengendalikan proses-proses biologis dalam tubuhku sendiri, aku lebih memilih mengarahkannya untuk tertarik ke satu perempuan saja daripada mengatur agar dapat menarik perempuan sebanyak-banyakya. Nah, kalian laki-laki muslim yang lain bagaimana?


Nama Y. B. Mangunwijaya bukannya tidak pernah saya dengar, hanya saja saya belum pernah menyempatkan diri untuk membaca cerpen-cerpennya. Malam ini adalah kedua kalinya saya berkunjung ke FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) ke-28 yang diselenggarakan di Taman Kuliner Condong Catur Yogyakarta, dan pertama kalinya memasuki bilik sastra. Saya mendengarkan pembacaan cerpen yang judulnya saya lupa, tapi cerpen tersebut mengisahkan tentang seorang lelaki tulen bernama Baridin dengan pekerjaan berkesan "miringnya" yaitu mengamen dengan dandanan perempuan.

Saya katakan pembacaan cerpen itu bagus, tapi sebatas karena saya menghargai mbak pembaca cerpen. Saya bukan seorang yang tahu tentang seni membaca cerpen. Akan tetapi terlepas dari itu, cerpennya sendiri mampu mengaduk-aduk perasaan. Jika cerpen-cerpen Kuntowijoyo membidik "realitas" yang terjadi dalam masyarakat (mungkin untuk membendung mulut-mulut yang matanya hanya melihat buku dan tidak melihat keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan) dari sudut pandang agama tanpa menggurui, maka cerpen yang mengisahkan Baridin ini sama sekali tidak memuat hal-hal berbau formalitas agama tertentu, tapi langsung memaparkan situasi tertentu.

Tokoh Baridin yang seorang pemuda berkulit hitam (laki-laki tulen) tapi harus menyulap dirinya menjadi sosok secantik mungkin, di samping harus menerima ejekan dan olok-olok orang yang tidak suka, hanya untuk mendapatkan uang dua ribu rupiah. Mestinya ada manusia yang mirip Baridin dalam cerpen Y.B. Mangunwijaya itu, dan saya langsung membayangkan satu di antara beberapa pengamen (laki-laki berpakaian seperti perempuan) yang biasa saya lihat di perempatan kota Jogja adalah sosok nyata dari tokoh fiktif Baridin.

Adalah menarik untuk menelaah keadaan seperti ini lebih jauh. Misalkan orang-orang seperti Baridin benar-benar ada, kita menganggap keberadaannya sebagai sebuah masalah sosial dalam masyarakat kita. Satu di antara beberapa pertanyaan yang bisa kita tanyakan adalah, bagaimana tanggapan orang-orang dari sudut pandangan agama terhadap sosok seperti Baridin?

Nah, terlepas dari itu semua. Saya harus mengacungkan jempol untuk cerpen yang dibaca malam hari ini.


Empat eksemplar "Teruntuk Mentari dan Rembulan"

Bagi saya ada kepuasan tersendiri ketika saya berhasil menyelesaikan naskah antologi puisi berjudul "Teruntuk Mentari dan Rembulan" ini, apalagi ketika ia saya terbitkan (atas bantuan penerbit Beebook Publisher) dan akhirya versi cetak antologi tersebut sampai ke tangan. Ini adalah antologi pertama saya, dan buku kedua saya setelah novel The Jadzab Boy (Diva Press, 2012).

Saya memang hobi menulis, tapi jarang-jarang tulisan saya mengejawantah menjadi sebuah buku. Terlebih lagi dalam bidang sastra, saya baru belajar menulis puisi awal Juni 2016. Meskipun begitu, ketekunan yang dipacu oleh keinginan mendapat perhatian dari bribikan (hehehe) berhasil membuat saya mengumpulkan sejumlah sajak dan puisi.

Ketika saya membaca karya sendiri, saya tidak terlalu bisa menikmati tulisan sebanyak saya menikmati karya orang lain. Membaca tulisan sendiri itu seperti membaca tulisan setelah terkena megaspoiler. Saya juga merasa membaca tulisan sajak-sajak sendiri itu seperti membaca jurnal perjalanan. Bagaimana tulisan kita bervolusi dari berbagai sisi seperti diksi, tema yang diangkat dan sebagainya.

Yah, apapun dan bagaimanapun itu, saya tetap sudah menelurkan sebuah karya lagi. Selain harus disyukuri, fakta itu juga menjadi batu pijakan bagi saya untuk maju lebih jauh lagi dengan menelurkan karya-karya berikutnya.


Aku sedang menyeduh kopi yang airnya baru saja kudidihkan menggunakan api kompor gas. Dua gelas berisi sesendok gula dan dua sendok kopi tubruk di depanku menganga. Mereka seolah tak sabar menungguku menuang air panas. Currr! Currr! Kutuangi juga keduanya. Kopi tubruk yang bersentuhan dengan air bersuhu seratus derajat Celcius itu segera bereaksi. Ia menerbangkan aroma khasnya bersama uap yang membumbung ke udara. Setelah kuaduk tiga belas kali dengan arah adukan yang berlawanan dengan arah jarum jam, keduanya pun kubawa ke ruang tengah.

Penghujung bulan Agustus, tentunya tanah Jawa sedang diliputi kemarau. Wajar jika dinginnya udara pagi ini sampai menusuk tulang. Menjelang subuh, sepertinya makhluk yang sudah membuka matanya baru aku dan bapakku di ruang tengah.

"Sudah kamu aduk tiga belas kali, putar ke kiri?" tanya bapak.
"Sudah, Pak."
"Bagus."

Kami berdua pun meminumnya menggunakan lepek. Benda itu susah dicari padanan katanya dalam Bahasa Indonesia, bentuknya seperti piring kecil dan mungkin kalau di kota besar biasanya digunakan untuk tempat sajian gorengan. Aku dan bapakku biasa menggunakan lepek itu untuk meminum kopi. Kami menuangkan kopi kami ke dalamnya hingga hampir penuh. Satu lepek penuh kira-kira sama dengan sepertiga gelas. Fungsi lepek adalah untuk mendinginkan kopi dengan cepat, agar lidah dan tenggorokan kami dapat bersentuhan dengan minuman berwarna hitam itu sebanyak mungkin dalam waktu singkat.

Aku tidak pernah menggunakan air yang dipanaskan dalam dispenser atau yang sudah disimpan dalam termos untuk beberapa lama. Kurang panas. "Air untuk menyeduh kopi harus benar-benar mendidih, tapi untuk benar-benar menikmatinya kita juga harus mengurangi panasnya dengan segera. Pakai ini," papar bapak sambil menunjuk ke lepek-nya. Benda berbahan keramik yang berwarna putih itu mengkilat oleh tusukan cahaya lampu neon.

...

Sekarang aku berusia tiga belas tahun, dan ini tahun enam puluhan. Pagi buta memang sedang menebarkan gigilnya di tanah Jawa penghujung bulan Agustus ini. Dunia masih diselimuti kegelapan, tapi bapak sudah membangunkanku. Hanya aku. Ibu yang biasanya memasak belum bangun, pun juga tidak dibangunkan. Ini masih terlalu pagi untuk menyalakan api dan memasak, tapi bapak sudah membangunkanku. Hanya aku.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan mengikuti ajakan bapak yang lalu berjalan menuju dapur. Bapak mengambil sebuah kaleng bekas yang bagian atasnya sudah dibuang dan tepiannya dipasangi kawat. Benda itu menjadi lebih mirip dengan ember daripada kaleng, tapi ukurannya sangat kecil. Kalau diisi air, mungkin akan sama dengan banyaknya air yang diisikan ke dalam dua buah cangkir.

Bapak mencopot beberapa bagian dinding dapur rumah kami. Ya, dinding. Tahun enam puluhan, rata-rata dinding rumah di desa terbuat dari anyaman bambu. Hal ini tentu saja mencerminkan rendahnya tingkat ekonomi masyarakat di desa era ini. Akan tetapi siapa pun yang pernah merasakan pengalaman tinggal di rumah berdinding anyaman bambu dan bata lalu membandingkan keduanya, maka ada sisi postitif yang bisa diambil dari rumah pertama. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu memberi kesempatan yang lebih bebas bagi udara untuk menerobos masuk, jadi sepanas apapun siang hari terasa sejuk. Gantinya, malam hari menjadi sangat dingin.

Pagi buta yang gelap ini aku baru bisa menggunakan sebelah mataku, yang sebelah kanan. Sedangkan mata sebelah kiri masih buram. Biasanya segera hilang kalau diucek-ucek. Gedebuk! Aku terantuk sebuah peralatan dapur, entah apa.

"Sssst! Jangan berisik. Nanti ibumu bangun. Ini Bapak bikinkan kopi. Bahan bakar apinya Bapak ambil dari dinding dapur. Dindingnya jadi berlubang. Nanti kalau ibumu tanya, bilang saja kalau lubang di dapur ini dibuat kucing atau tikus besar yang ingin memaksa masuk."

Kuanggukkan kepalaku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Di bawah penerangan api tungku berbahan bakar anyaman bambu yang nyalanya semakin redup itu kuperhatikan baik-baik cara bapak menyeduh dan mengaduk kopi. "Tiga belas kali, putar ke kiri," batinku sesaat sebelum menikmatinya menggunakan lepek, bersama bapak, di dapur rumah yang kian diliput kegelapan.


Aku sama sekali tidak pernah berpikir bahwa di masa depan aku akan melakukan hal serupa dengan salah seorang anak laki-lakiku.

...

Sekarang tahun 2016, aku tidak tinggal bersama dengan bapak lagi, tapi di sebuah rumah kontrakan di kota. Pagi buta di penghujung Agustus, masih di tanah Jawa, aku menancapkan ujung seutas kabel ke colokan listrik, ujung yang lainnya sudah menancap ke heater. Tidak ada dapur yang gelap. Aku bahkan tidak perlu pergi ke dapur, hanya beranjak satu meter dari tempatku tidur untuk memasak air. Kuseduh kopiku menggunakan air yang sudah benar-benar mendidih lewat bantuan heater, lalu kuaduk tiga belas kali berlawanan arah dengan arah jarum jam. Kutuang sepertiga bagian kopiku ke lepek dan kukipasi tiga kali menggunakan tangan kanan sebelum kuteguk cepat-cepat.

Sayang sekali, aku sedang tidak bersama bapak. Aku juga masih bujang, jadi tidak ada anak lelaki yang bisa kubangunkan dan kuajak menikmati kopi dengan cara khas nan turun-temurun ini. Kubayangkan bapak di kampung sedang melakukan aktivitas serupa dan membayangkan hal serupa pula.



Bagaimana mungkin seseorang 
memiliki keinginan untuk mengurai kembali 
benang yang tak terkirakan jumlahnya 
dalam selembar sapu tangan 
yang telah ditenunnya sendiri...

Hujan Bulan Juni adalah novel karya pak Sapardi Djoko Damono yang kabarnya berasal dari sebuah buku puisi berjudul sama. Dalam novel tersebut pak Sapardi mencoba menyerang perbedaan suku, budaya dan agama yang kerap dijadikan sumber konflik. Saya menangkap pesan penyair kelahiran Solo itu adalah untuk move on dari upaya membikin tabu hubungan lelaki dan perempuan yang nyatanya berbeda suku, budaya dan agama.

Hujan Bulan Juni berkisah tentang Sarwono, seorang antropolog, dosen muda FISIP-UI yang sedang menjalin hubungan cinta-kasih bersama seorang gadis muda keturunan Menado-Jawa, Pingkan namanya. Sarwono sendiri Jawa tulen, dia muslim dan berasal dari keluarga yang agak - agak abangan, sementara Pingkan beragama Katolik. Pingkan yang sudah menjadi asisten dosen di Prodi Jepang dan tersebut mendapat tugas ke Jepang untuk beberapa lama.

Latar yang diambil dalam Hujan Bulan Juni adalah seputar Jakarta-Solo-Minahasa, dan waktunya dari ketika Pingkan mendapat tugas ke Jepang itu sampai beberapa bulan ia di sana. Selain masalah perbedaan suku, budaya dan agama novel tersebut juga menampilkan sosok Katsuo sebagai orang yang keberadaannya mengancam hubungan antara Sarwono dan Pingkan.

Hujan Bulan Juni menyiratkan bahwa novel yang bagus tidak harus tebal. Serta novel yang berkisah tentang cinta-kasih tidak harus ditulis oleh anak - anak muda penggila roman. Pak Sapardi dapat menggambarkan hubungan lelaki dan perempuan yang saling menyukai satu sama lain dengan sangat baik, meskipun suasana masa muda pria yang lahir tahun 1940 itu jelas berbeda dari Sarwono. Memang, hubungan tokoh Sarwono dengan Pingkan terasa "kurang muda" kalau dibandingkan dengan novel - novel roman remaja, tapi ini berhasil ditutupi dengan latar belakang keduanya sebagai dosen dan asisten dosen. Jadi bukan remaja lagi, tapi juga tidak terlalu tua.

Meskipun begitu, di samping kepiawaian pak Sapardi membangun latar, saya pribadi merasa kurang puas dengan hadirnya Katsuo. Sosok orang Jepang itu tidak punya banyak peran yang membangun konflik dalam cerita. Ancamannya pada hubungan Sarwono-Pingkan kurang terasa karena tidak banyak digambarkan kecuali hanya sebagai dosen muda di Universitas Kyoto yang sewaktu mengenyam pendidikan tingkat master (di Indonesia) adalah seorang mahasiswa populer karena suka mentraktir teman - temannya, menyukai Pingkan dan pernah dekat dengan gadis blasteran Menado-Jawa itu.


Bagi seorang penggemar Bleach yang juga menyukai puisi, rasanya ada kesan tersendiri ketika ia mengapresiasi "mantra yang harus dirapal" untuk mengeluarkan Kidou (baik Hadou maupun Bakudou). Adalah menarik untuk membandingkan Hadou no. 90 dan 91 dari segala sisi, baik peletakannya dalam cerita, tokoh - tokoh yang mampu mengeluarkannya hingga mantranya.

Hadou no. 90 dikuasai oleh Sousuke Aizen sang antagonis utama Bleach dari awal hingga episode 310, dan pernah dikeluarkan sekali dalam bentuk yang belum sempurna dalam upayanya melakukan pengkhianatan pada Gotei 13 pada peristiwa eksekusi Rukia. Begitu Aizen mendapat hollowfikasi sempurna berkat bola Hougyoku, Hadou 90 bisa dikeluarkan dengan kekuatan penuh.


Aizen mencoba mengurung Ichigo menggunakan Kurohitsugi.

Hadou no. 90 sendiri mempunyai nama Kurohitsugi (Peti Mati Hitam), ketika dilepaskan ia mengurung target dengan pelat - pelat hitam yang menempel berurutan ke atas sehingga membentuk kubus raksasa, kemudian menusuk apapun yang terkurung dengan palang - palang berbahan serupa. Menurut Aizen, Kurohitsugi adalah pengejawantahan "semburan gravitasi yang mampu membengkokkan ruangwaktu itu sendiri".

Sebagai Kidou tingkat 90-an, wajar jika Kubo menyusun mantra yang cukup panjang untuk Kurohitsugi. Setelah saya terjemahkan secara bebas (dari bahasa Inggris) dan saya ubah sedikit untuk mengatur rima, mantranya berbunyi :


Mahkota huru-hara gelombang pasca-badai
Kapal kegilaan tumbuh tanpa kendali

Mereka mendidih
mereka memberontak,
mereka mati rasa,
mereka mengerjap,
mereka merintangi lelap

Sang putra besi merayap
Si boneka lumpur senantiasa melenyap

Menyatulah!
Berontaklah!
Jadilah sesak oleh tanah,
tahulah akan ketidakberdayaanmu!

Sedangkan Hadou no. 91 digunakan oleh Kisuke Urahara untuk menyerang Aizen ketika hollofikasinya belum sempurna, dan meskipun telah didahului dengan Kuyou Shibari (Sembilan Matahari) yang fungsinya untuk mengunci sasaran dan menggandakan kekuatan serangan, tidak berefek apa - apa (tapi pada adegan berikutnya ditunjukkan bahwa sebenarnya serangan ini disusupi kidou lain bertipe segel, dan bekerja dengan baik).

Urahara menembakkan Senjuu Kouten Taihou ke arah Aizen setelah merapal mantranya.

Wujud Hadou no. 91 yang bernama Senjuu Kouten Taihou (saya terjemahkan sebagai Meriam Cahaya Avalokitesvara) adalah tiga belas buah peluru berwarna ungu berbentuk seperti komet yang langsung menuju sasaran begitu dilepaskan. Adapun mantranya, saya terjemahkan secara bebas sebagai berikut :

Pada cakrawala Avalokitesvara 
Engkau tangan - tangan agung yang tak pernah menyentuh kegelapan
Engkau pemanah dari surga yang tak menangkap pantulan
Jalan yang bermandikan cahaya, angin yang mengobarkan bara, jangan ragu! Ikuti perintah jemariku!
Peluru cahaya
Delapan raga
Sembilan pusaka
Sutra surga
Harta karun petaka
Roda perkasa
Kelabu pagoda
Ketika kulepaskan anak panah ini, menghamburlah pada sasaranmu nun jauh di sana!

Lebih jauh, jika kita membandingkan kata - kata dalam kedua mantra, kita bisa melihat adanya unsur - unsur kebalikan. Misalnya, Senjuu menggunakan pepujian dengan bahasa a la kitab suci, objek - objek yang disebut juga seputar langit seperti cakrawala, cahaya dll. Sementara Kurohitsugi terkesan memberi kutukan dan menyebut beberapa objek seputar bumi, seperti tanah, besi, lumpur dan sebagainya.

Selain itu, Aizen dan Urahara adalah mantan - mantan kapten di Gotei 13 yang meskipun bukan rival tapi layak untuk dipertandingkan dalam sebuah pertarungan. Keduanya sama - sama mempunyai kekuatan dan kecerdasan yang unik dibanding tokoh manapun di Gotei 13. Belakangan, keduanya diberi predikat oleh Van Der Reich sebagai dua dari "Lima Potensial Perang", sampai - sampai moyang para Quincy itu mengadakan "kunjungan pribadi" untuk Aizen yang ditahan di penjara guna mengajaknya menginvasi Seireitei dan melanjutkan kembali ambisinya yang sempat gagal, tapi ajakan itu ditolak.


Bersamamu,
rembulan tak pernah terbit
bintang - bintang tak pernah hilang
lautan tak surut-pasang.

Bersamamu,
aku seperti rumput yang menari karena angin.
Langit tak pernah bermendung, tak ada hujan,
hanya tiang - tiang putih menyala di kejauhan.

Bersamamu,
gemerlap dunia jauh dari pelupuk mata
hilang semua di cakrawala.

Bersamamu,
si kuncup tak menolak mekar.
kelopak - kelopaknya tak pernah gugur.

Bersamamu,
tanah - tanah basah tak lagi kurindui,
berpasang mata indah tak lebih berharga dari senja
kelapa gading kubiarkan meninggi.

Bersamamu,
Andai saja aku tidak sedang bermimpi.


Seorang pria tua bermata sendu baru saja selesai menyantap hidangan penutupnya di sebuah restoran perancis. Ia berpaling pada sebotol wine, yang kemudian dituangkan ke gelas kosong dan lalu diteguknya dengan cara elegan. Selepas menyeka anggur di sudut bibir batinnya berbicara, "Eksistensi manusia pasti adalah sebuah kesalahan."

Kendati tak terdengar oleh telinga, tapi suara hati itu sampai padaku, yang pada waktu yang sama sedang meneguk kopi panas di angkringan seberang jalan, tepat segaris dengan pintu restoran perancis itu. Kalimat pak tua menarik kelopak mataku untuk menutup, nafasku menghembus dan lidahku berkata lirih, "Aku setuju denganmu, Pak Tua, dengan sejumlah catatan tertentu."


Sekelumit apresiasi untuk Sapardi Djoko Damono (selanjutnya disebut pak Sapardi).

Berawal dari keinginan untuk mengasah ketrampilan menguntai kata dalam sebuah tulisan, saya mencoba merambah dunia puisi. Misi umumnya mengembangkan pengetahuan, misi khususnya berupaya menarik hati seorang perempuan. Saya pun berkenalan dengan puisi - puisi pak Sapardi. Awalnya saya punya "Hujan Bulan Juni" yang kemudian menuntun saya pada "Melipat Jarak".

"Hujan Bulan Juni" adalah antologi yang banyak menginspirasi saya dalam upaya belajar menulis sajak (untuk kemudian dikirim ke bribikan). Buku yang satu ini saya acungi jempol tanpa komentar apa - apa. Tapi "Melipat Jarak" agak lain ceritanya.

Sebelum ini saya tidak pernah mengenal sastra kecuali satu - dua bahan yang disusupkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Bayangan saya, puisi / sajak yang tergolong indah itu adalah sajak - sajak empat (atau tiga) seuntai. Maka ada rasa aneh yang muncul ketika saya berinteraksi dengan "Melipat Jarak" ini. Pasalnya dalam antologi tersebut, kebanyakan puisi yang disajikan bukan berupa sajak empat seuntai. Ada puisi yang sangat panjang, dan penulisannya per-paragraf, seperti "Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?" dan "Surah Penghujan : Ayat 1-24". Berikut saya kutipkan Surah Penghujan Ayat 1 (paragraf pertama) :

musim harus berganti musim agar langit menjadi biru untuk kemudian membeku agar pohon tumbuh untuk kemudian rubuh agar menyerap air untuk dikirim ke tunas daun untuk kemudian gugur agar lebah menyilangkan putik dan benang sari untuk kemudian layu agar rumput meriap untuk kemudian kering agar telur meretas dan burung terbang untuk kemudian patah sayapnya agar hari bergeser dari minggu ke sabtu agar kau mengingat untuk kemudian melupakan-Ku

Susunan seperti ini asing bagi saya, sudah begitu arah kata - katanya susah diterka. Maksudnya apa? Dari musim berganti, rumput meriap, hingga ke "kau" yang "melupakan-Ku". Aneh, dan saya tidak menyukainya. Mengingat nama pak Sapardi di dunia sastra, saya lalu bertanya, apakah di dunia sastra sajak - sajak semacam ini justru mencerminkan kepiawaian dan kecerdasan penulisnya? Jika ya, maka saya harus membatasi diri untuk tidak masuk terlalu dalam di dunia asing itu.

Sebaliknya, sajak - sajak pendek yang "menepuk" kesadaran seperti penggalan berikut (masih di buku yang sama) :

mencintai cakrawala
harus menebas jarak

mencintai-Mu
harus menjelma aku

justru (hemat saya) memikat. Sajak - sajak seperti ini banyak dijumpai dalam "Hujan Bulan Juni", maka wajar kalau kemudian saya menjadikannya inspirasi untuk menulis sajak.


Perhitungan volume bola berdimensi yang diberikan di tulisan ini dapat diperumum. ALih - alih menjadikan persamaan bola sebagai tapal baas integrasi, orang bisa menggunakan persamaan elipsoid, yaitu

Sore tadi saya baru menyadari masalah ini, ketika saya mengerjakan salah satu soal UTS Fisika Statistik dari adik kelas untuk dibahas pasca ujian. Awalnya saya mengira penyelesaiannya cukup rumit, tetapi ternyata tidak. Rumusan permasalahannya seperti ini :
Yang harus kita lakukan untuk menghitung volume elipsoida berdimensi ini hanyalah mengubah peubah menjadi yang didefinisikan sebagai
yang memberikan . Sehingga, 
Viola! Faktor berupa hasil integrasi di sisi kanan persamaan tidak lain adalah volume bola berdimensi yang cara menghitungnya sudah diberikan di sini.

Kau



Setiap kali kau lewat, aku tak mampu mendekat
Hanya memandang dari balik jendela
menatap dari dalam kamar yang gelap.

Di mataku kau nampak tak peduli.
Tapi kita sama - sama tahu
Kita saling memperhatikan satu sama lain.

I close my eyes, think about you everyday...

Kutahu ku tak layak bersanding denganmu.
Tapi akankah kau tega menolak,
jika kupinta engkau sepenuh hati?

Kusadar aku terlalu hina, terlahir sebagai sudra.
Namun bukankah kau tidak melihat bentuk rupa?
Dan jika engkau tetap menolak,
pada siapa lagi aku harus menaruh harap?

I close my eyes, think about you everyday...

Tiada yang lebih kunanti
daripada jawaban singkat, iya.
Maka dunia mendadak berubah,
saat kau anggukkan kepala.

Seluruh alam semesta turut merayakan,
bunga - bunga pun bermekaran.
Kusiulkan simfoni kesembilan,
sepanjang jalanku pulang.

Orang bilang aku sudah tak waras,
tapi mereka tak pernah tahu,
akulah raja para orang gila.

Aku tak perlu lagi khawatir,
aku tak perlu lagi keras berpikir,
sebab pencarianku telah berakhir.

I close my eyes, think about you everyday...

Minggu pagi kita jalan - jalan,
di antara pepohonan yang rindang
Raut wajah itu lebih indah
dari setumpuk buku fisika yang berat.

Rambut hitam legam tergerai,
tiupan angin memaksanya anggun melambai
Aku tak tahu kenapa,
tahu - tahu tersenyum begitu saja.

I close my eyes, think about you everyday...

Kopi panasku mengepul riang,
ketika kau temami soreku yang berembun.
Acuh pada orang - orang gusar di jalan,
kita berbicara panjang tentang sejarah alam semesta.

Kata - katamu seindah pelangi di atas kanvas kelabu,
meski tak jarang membuatku gagal paham.
Waktu pun berhenti berputar,
seolah ingin mendengarkanmu bicara.

Sesungging senyum darimu saja sudah cukup
untuk membuatku abai pada yang lain,
Bahkan meski kiamat telah menyapa dari ambang pintu.

I close my eyes, think about you everyday...

Syair - syairmu selalu gagal kumaknai,
meski aku berusaha setengah mati.
Sering aku bosan,
kadang kau melakukan tindakan mengerikan
Bersamaan dengan itu,
kau selalu datang dengan senyum semanis madu.

Pertengkaran kecil membuat kita saling membelakangi,
tapi kita tak pernah saling membenci.
Tak butuh waktu yang lama,
agar tangan kita bergandengan seperti semula.
Cinta sejati telah mengikat kita berdua,
dalam dunia yang abadi selamanya.


#Mentari


 (Terinspirasi oleh : B with U - Aqua Timez)



Kijang yang berkaki lebih panjang mungkin dapat berlari lebih cepat sehingga mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk selamat dari pemangsa. Keselamatan ini memungkinkannya untuk bereproduksi dan menghasilkan keturunan, yakni anak kijang dengan kaki lebih panjang. Dengan demikian, kijang yang berkaki lebih panjang lebih mungkin untuk bertahan di alam.

Akan tetapi pada akhirnya kita tidak melihat kijang dengan kaki yang sangat panjang karena alam tidak mengizinkannya. Kemampuan untuk berlari lebih cepat yang diperoleh dari kaki yang lebih panjang bukan satu - satunya faktor yang menentukan keselamatan kijang. Kaki yang lebih panjang, setelah mencapai panjang tertentu, misalnya akan lebih mudah patah sehingga alih - alih menjadi keuntungan, justru malah menjadi kerugian bagi si kijang.

Selain itu pemangsa juga tidak tinggal diam, ia juga turut menyesuaikan diri dengan kemampuan berlari si kijang. Ketika kijang - kijang mulai mampu berlari cepat (kijang dengan kaki pendek, dan karena itu kemampuan larinya payah telah habis), pemangsa yang tidak mampu menyesuaikan kemampuan larinya dengan buruan dengan sendirinya tidak akan mendapat jatah makanan, sementara yang mampu menyesuaikan diri akan bertahan, dan kemampuan itu tentu saja diwariskan pada keturunannya. Baik kijang maupun pemangsa senantiasa berubah untuk saling menyeimbangkan.

Begitulah alam menceritakan salah satu prosesnya yang keras dan kasar, namun indah nan mengagumkan. Itulah yang disebut evolusi berdasarkan seleksi alamiah.


Prof. Brian Cox dalam BBC Wonders of The Universe episode keempat mencoba merasakan sensasi berada di tempat dengan percepatan gravitasi yang lebih besar dari percepatan gravitasi bumi. Prof. Cox masuk ke dalam sebuah alat mirip komedi putar, seorang operator kemudian mengatur putaran alat tersebut sedemikian rupa sehingga percepatan sentrifugal yang dialami Prof. Cox semakin besar. Mula - mula percepatan sentrifugal itu sama dengan percepatan gravitasi bumi g, rotasi kemudian dipercepat sehingga Prof. Cox mengalami sensasi percepatan gravitasi sebesar 5g. Dalam keadaan itu ia tampak hampir kehilangan kesadaran dan tidak lama kemudian meminta operator untuk segera menghentikan alatnya.

Prof. Cox dalam alat mirip komedi putar yang menimbulkan sensasi percepatan gravitasi sebesar lima kali percepatan gravitasi bumi. Sang profesor seolah menjadi tua, tapi sebenarnya itu adalah efek tarikan ke "bawah" yang besar.

Prof. Cox setelah keluar dari alat mirip komedi putar.
Sekeluarnya Prof. Cox dari alat mirip komedi putar itu, ia menceritakan pandangannya yang mulai kabur dan kesulitannya untuk bernafas, bahkan wajahnya terasa berat dalam ruangan sempit bersensasi percepatan gravitasi sebesar 5g. Ia lalu menyimpulkan bahwa planet kita telah tertala secara halus (finely tuned) sehingga kita bisa tinggal di dalamnya.

Jika kita pertimbangkan hal - hal lain semisal jarak antara bumi dan matahari, kemiringan pros rotasi bumi, dan sebagainya, kita mungkin akan jauh lebih kagum daripada Prof. Cox pasca sensasi percepatan gravitasi 5g itu. Dalam keadaan demikian, agaknya akan sangat tepat untuk menyimpulkan bahwa bumi telah tertala secara halus sehingga memungkinkan kita untuk mendiaminya. Namun tidak harus seperti itu juga. Jika kita muncul secara tiba - tiba dari ketiadaan, lalu kita mendapati diri kita berada di tempat yang sepenuhnya mendukung kehidupan kita (yakni bumi), maka kita punya alasan yang kuat untuk menyimpulkan bahwa tempat kita itu tertala secara halus.

Kita harus ingat bahwa sejak "awal" telah bersama bersama dengan bumi dan "berevolusi" bersamanya. Mekanisme evolusi a la Darwin menyediakan penjelasan alternatif (yang bahkan lebih baik) daripada argumen penalaan halus. Melalui hukum - hukum fisika disertai syarat - syarat awal yang diperlukan, bumi terbentuk dan bersamanya makhluk hidup sederhana muncul. Makhluk hidup sederhana ini, berusaha beradaptasi dengan lingkungannya, makhluk yang tidak sukses mati, sementara makhluk yang sukses mewariskan metode pertahanan ini pada generasi berikutnya. Proses seperti ini terus berlangsung sehingga dalam rentang waktu yang cukup panjang (dan melalui banyak generasi), makhluk - makhluk yang lebih rumit muncul, termasuk kita manusia.

Dengan kata lain, kita tidak tinggal di tempat yang ditala sedemikian rupa sehingga kita mungkin menjalani kehidupan di dalamnya, melainkan "kita" menyesuaikan diri dengan tempat "kita" tinggal sedemikian rupa sehingga "kita" bisa tinggal di dalamnya. Penjelasan ini, sekurang - kurangnya menjadikan argumen penalaan halus menjadi alternatif sampingan.


"Kerja" yang dimaksudkan di sini adalah "kerja" dalam konteks fisika, yang maknanya berbeda dari "kerja" dalam kalimat semisal "ayah bekerja keras untuk menghidupi keluarga kami". Dalam fisika,

Kerja yang dilakukan oleh gaya pada sebuah sistem fisis adalah perubahan tenaga sistem akibat bekerjanya gaya itu.
Artinya setiap kerja harus dilakukan oleh gaya tertentu. Jika kerja yang dilakukan oleh gaya tertentu dilambangkan dengan dan perubahan energi sistem yang diakibatkan gaya tersebut dilambangkan dengan , maka berlaku hubungan
Namun perlu dicatat, jika sistem mengalami perubahan tenaga total sebesar maka tidak harus berlaku
Hal ini terjadi karena beloh jadi ada proses lain, misalnya perpindahan kalor, yang mengakibatkan perubahan tenaga total sistem selain kerja yang dilakukan oleh sejumlah gaya tertentu. Maa secara umum berlaku
dengan menyatakan perubahan energi total sistem akibat proses lain yang dimaksud.



Judul Buku : The God Delusion
Penulis : Richard Dawkins
Dimensi : 14 x 21 cm, vi + 522 hal.
Penerbit : Banana

Buku yang ditulis oleh Richard Dawkins, seorang biolog dan atheis kenamaan, ini mengupas masalah atheisme. Dalam bab pertama, ia menjelaskan dan menyepakati makna kata "tuhan" yang boleh jadi dalam pembicaraan dicampuradukkan. Kata "tuhan" yang biasa disebut Einstein, misalnya, tidak sama dengan kata "tuhan" yang dijadikan sebagai sesembahan umat beragama. Bab kedua buku tersebut mengupas perkara "tuhan sebagai hipotesis", misalnya apakah jika kita berhadapan dengan fenomena alam yang sangat mengagumkan sedemikian rupa sehingga agaknya fenomena itu terjadi begitu saja, maka kita bisa beranggapan bahwa tuhan berada di balik semua itu. Didukung oleh bab selanjutnya, yakni argumen - argumen tentang eksistensi tuhan. Dawkins menjelaskan bahwa argumen - argumen yang disajikan oleh para agamawan, mulai dari argumen paling konyol (bahasa saya sendiri) hingga argumen paling saintifik, ternyata lemah dan mengandung cacat logika.

Dawkins membuat pukulan pada argumen - argumen tersebut dalam bab kelima, yakni bab "Mengapa Hampir Pasti Tidak Ada Tuhan". Menurut Dawkins, dalam menjelaskan fenomena - fenomena alam yang barangkali masih di luar pemahaman kita, kita tidak perlu menganggap bahwa tuhan berada di balik fenomena - fenomena alam itu. Sebab dengan menyertakan "tuhan" dalam penjelasan, kita hanya menambah rumit fenomena alam yang hendak dijelaskan. Dawkins hanya memaparkan beberapa contoh, namun saya kira itu cukup untuk memberi gambaran bagi ide pokok yang hendak disampaikannya.

Saya baru membaca sampai pertengahan bab keenam ketika menulis ini, jadi saya tidak bisa memberi tanggapan tentang bab - bab selanjutnya. Sejauh ini saya simpulkan bahwa gagasan - gagasan Dawkins dalam buku ini sangat menarik. Namun perlu saya beritahukan juga, buku ini dapat menggiring anda ke arah atheisme, khususnya jika anda "sedikit tahu" sains dan mempunyai tekanan batin yang diakibatkan oleh agama yang anda anut. Atheisme jelas tidak baik di Indonesia yang berasaskan pancasila ini.

Kendati demikian, bagi saya buku ini sangat bagus untuk menambah wawasan. Bagi saya pribadi, buku ini juga menambah semangat untuk tidak percaya begitu saja pada orang - orang yang banyak bicara tentang agama, khususnya jika mereka adalah anak - anak muda yang menganggap diri mereka paling benar dan menyalahkan orang lain berdasarkan sifat fanatik terhadap agama mereka.

Terakhir, untuk penerjemah yang menerjemahkan buku "The God Delusion" ini ke dalam bahasa Indonesia, edisi ini masih memuat beberapa kesalahan ketik. "Beberapa" itu berarti tidak banyak, tapi menurut saya cukup mengganggu. Penerjemah juga perlu untuk semakin memperkaya kosa kata ilmiah yang hendak digunakan. Kata "strong force" (halaman 188), sebagai contoh, diterjemahkan menjadi "kekuatan besar". Setelah membaca konteksnya, orang yang akrab dengan fisika berbahasa Indonesia akan tahu bahwa istilah yang lebih tepat bagi "strong force" dalam subbab yang bersangkutan, adalah "gaya kuat". Selain itu, catatan kaki yang dalam edisi aslinya dirujuk oleh tanda "*" dan halaman indeks juga dihilangkan. Tentunya ini menyulitkan pembaca yang hendak menelusuri bahasan tertentu lebih jauh.


Saya mendapat tugas untuk mencari suatu persamaan yang menggambarkan lingkaran ganda :

dalam bidang bermatra dua. Satu persamaan untuk menggambarakan satu lingkaran sudah biasa, tetapi satu persamaan untuk menggambarakan lingkaran ganda, itu lain soal. Saya segera ingat, mungkin saya bisa menemukan petunjuk dalam buku geometri analitik. Saya pun membuka - buka buku kalkulus jilid tulisan Purcell dan Varberg, sembari berhara menemukan persamaan yang saya cari. Saya lalu menemukan istilah lemniskat, yang menurut buku tersebut berarti grafik dengan bentuk mirip angka delapan (setelah googling beberapa saat, pengertian itu mungkin bukan pengertian yang tepat).

Persamaan lemniskat yang diberikan dalam buku tulisan Purcell itu (dalam koordinat kutub) adalah :
...(1)
Sayangnya, dua persamaan di atas tidak menggambarkan lingkaran ganda (lingkaran yang bersinggungan di satu titik) seperti pada gambar di atas. Well, setelah beberapa kali mengutak - atik persamaan tersebut (setengah ngawur), akhirnya saya bisa menemukan persamaan yang saya cari. Dalam sistem koordinat kutub, persamaan yang saya cari itu adalah
...(2)
Persamaan (2) adalah hasil trial and error, dari bentuknya saja langsung kelihatan kalau persamaan itu masih bisa diubah ke bentuk yang lebih sederhana. Meskipun tugas saya sudah selesai, tapi saya tertarik untuk melakukan lebih, yakni menemukan penurunannya. Setelah menghabiskan satu lembar kertas buram ukuran A4 untuk corat - coret, saya akhirnya menurunkan penurunan persamaan itu.
Mula - mula, saya menggambar lingkaran ganda itu di dalam lingkaran yang lebih besar, dengan syarat diameter masing - masing lingkaran ganda itu sama dengan jari - jari lingkaran besar yang memuatnya. Lalu saya menarik garis lurus, dari pusat lingkaran besar ke sembarang titik pada lingkaran besar, meskipun sembarang, tetapi garis ini harus membentuk sudut tertentu dengan garis mendatar (sumbu-x) agar memotong salah satu lingkaran pada lingkaran ganda. Dikandung maksud agar tali busur pada salah satu lingkaran dari lingkaran ganda itu dapat dikaitkan dengan jari - jari lingkaran besar.

Misalkan jari - jari masing - masing lingkaran pada lingkaran ganda itu maka jari - jari lingkaran besar adalah . Panjang tali busur OP = l, dapat dihitung menggunakan rumus kosinus, yaitu :
 ...(3)
Jadi, himpunan titik - titik pada bidang x-y yang dalam koordinat memenuhi persamaan 
 
akan membentuk lingkaran ganda dengan jari - jari lingkaran bagiannya , atau mungkin lebih singkat disebut lemniskat.


Setelah menyampaikan seminar atheismenya, Pak Dawkins mempersilakan hadirin untuk mengajukan pertanyaan. Seorang perempuan mengangkat tangan lalu maju ke arah mikrofon yang disediakan untuk peserta seminar. "Maaf Pak, bagaimana kalau anda salah?" tanya perempuan itu.

Hadirin tertawa kecil setelah pertanyaan itu diajukan, sementara Pak Dawkins melirik ke atas pertanda menyusun jawaban. "Baik, bagaimana kalau saya salah?" ulang Pak Dawkins. "Maksud saya, setiap orang bisa saja melakukan kesalahan. Kita bisa saja salah mengenai monster spagheti terbang dan unicorn merah muda dan cangkir teh terbang."

Pak Dawkins melanjutkan jawabannya, sesekali peserta seminar mengiringinya dengan tawa kecil. "... Jika anda lahir di India, maka anda akan menjadi seorang hindu. Jika anda lahir di Denmark zaman Viking, maka tuhan anda adalah Thor. Jika anda lahir di Yunani zaman kuno, anda akan percaya pada tuhan bernama Zeus. Jika anda lahir di Afrika bagian tengah maka anda akan percaya pada Ju-Ju Yang Agung dari gunung. Tidak ada alasan untuk memilih satu di antara tuhan - tuhan itu, maka pertanyaan yang benar bukanlah bagaimana kalau saya salah, tapi bagaimana kalau anda salah tentang Ju-Ju Yang Agung di dasar lautan?"

Jawaban Pak Dawkins itu mengakhiri sesi tanya-jawab diiringi tepuk tangan meriah dari segenap peserta seminar.

Tulisan ini disarikan dari video "ini".



Barangkali persamaan dengan menyatakan energi, massa dan laju cahaya di ruang hampa, adalah persamaan persamaan yang paling terkenal. Persamaan yang menjadi konsekuensi teori relativitas Einstein itu mewakili kesetaraan massa dengan energi. Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan kesetaraan massa dengan energi itu?

Tahukah anda bahwa dalam paper pendek yang asli, Einstein tidak menuliskan melainkan , atau menggunakan lambang di sini ? Secara aljabar sebenarnya tidak ada perbedaan antara dengan . Akan tetapi kedua persamaan tersebut mengandung tata pemahaman fisis yang berbeda. menyiratkan massa sebagai salah satu bentuk energi, massa sebagai energi yang "membeku", atau massa dapat dikonversikan menjadi energi. Namun ketiga pemaknaan tersebut salah secara konseptual.

Di sisi lain, menawarkan pemahaman yang lebih baik. Ketika ditanya "Apa itu massa?" Umumnya fisikawan akan menjawab "banyaknya materi". Tapi jawaban ini tidak terlalu tepat. Misalkan suatu objek tersusun atas beberapa bagian, massa objek tersebut secara umum tidak sama dengan jumlahan massa penyusun - penyusunnya, melainkan bergantung pada bagaimana penyusun - penyusun itu tertata dan cara gerak penyusun - penyusun itu dalam objek tersebut. Berdasarkan pemaknaan ini massa jam yang masih bekerja secara normal, misalnya, akan berbeda dengan massa jam identik yang tidak bekerja.

Menurut teori relativitas Einstein, massa jam yang bekerja itu lebih besar daripada massa jam yang diam. Kenapa? Sebab roda - roda gigi dalam jam itu bergerak, jadi ia mempunyai energi kinetik, pegas - pegas dalam jam menyumbang energi potensial, gesekan antar roda gigi menyumbangkan energi termal, batere dalam jam menyumbang energi kimiawi, dan sebagainya. Sementara jam yang tidak bekerja, sumbangan massa hanya diberikan oleh komponen - komponen penyusunnya saja.

Energi total pada jam yang bekerja itulah yang kemudian mengejawantah menjadi massa tambahan, yakni energi total dibagi kecepatan cahaya dikuadratkan. Namun karena besarnya nilai kecepatan cahaya, massa tambahan itu menjadi sangat kecil, sehingga dalam skala kehidupan sehari - hari massa tambahan ini tidak terukur. Massa materi, jika diteliti lebih jauh, sebenarnya merupakan bentuk energi kinetik dan potensial partikel - partikel elementer.

Untuk uraian lebih lengkar disertai contoh - contoh kasus, silakan lihat video "ini"