twitter


Empat eksemplar "Teruntuk Mentari dan Rembulan"

Bagi saya ada kepuasan tersendiri ketika saya berhasil menyelesaikan naskah antologi puisi berjudul "Teruntuk Mentari dan Rembulan" ini, apalagi ketika ia saya terbitkan (atas bantuan penerbit Beebook Publisher) dan akhirya versi cetak antologi tersebut sampai ke tangan. Ini adalah antologi pertama saya, dan buku kedua saya setelah novel The Jadzab Boy (Diva Press, 2012).

Saya memang hobi menulis, tapi jarang-jarang tulisan saya mengejawantah menjadi sebuah buku. Terlebih lagi dalam bidang sastra, saya baru belajar menulis puisi awal Juni 2016. Meskipun begitu, ketekunan yang dipacu oleh keinginan mendapat perhatian dari bribikan (hehehe) berhasil membuat saya mengumpulkan sejumlah sajak dan puisi.

Ketika saya membaca karya sendiri, saya tidak terlalu bisa menikmati tulisan sebanyak saya menikmati karya orang lain. Membaca tulisan sendiri itu seperti membaca tulisan setelah terkena megaspoiler. Saya juga merasa membaca tulisan sajak-sajak sendiri itu seperti membaca jurnal perjalanan. Bagaimana tulisan kita bervolusi dari berbagai sisi seperti diksi, tema yang diangkat dan sebagainya.

Yah, apapun dan bagaimanapun itu, saya tetap sudah menelurkan sebuah karya lagi. Selain harus disyukuri, fakta itu juga menjadi batu pijakan bagi saya untuk maju lebih jauh lagi dengan menelurkan karya-karya berikutnya.


Aku sedang menyeduh kopi yang airnya baru saja kudidihkan menggunakan api kompor gas. Dua gelas berisi sesendok gula dan dua sendok kopi tubruk di depanku menganga. Mereka seolah tak sabar menungguku menuang air panas. Currr! Currr! Kutuangi juga keduanya. Kopi tubruk yang bersentuhan dengan air bersuhu seratus derajat Celcius itu segera bereaksi. Ia menerbangkan aroma khasnya bersama uap yang membumbung ke udara. Setelah kuaduk tiga belas kali dengan arah adukan yang berlawanan dengan arah jarum jam, keduanya pun kubawa ke ruang tengah.

Penghujung bulan Agustus, tentunya tanah Jawa sedang diliputi kemarau. Wajar jika dinginnya udara pagi ini sampai menusuk tulang. Menjelang subuh, sepertinya makhluk yang sudah membuka matanya baru aku dan bapakku di ruang tengah.

"Sudah kamu aduk tiga belas kali, putar ke kiri?" tanya bapak.
"Sudah, Pak."
"Bagus."

Kami berdua pun meminumnya menggunakan lepek. Benda itu susah dicari padanan katanya dalam Bahasa Indonesia, bentuknya seperti piring kecil dan mungkin kalau di kota besar biasanya digunakan untuk tempat sajian gorengan. Aku dan bapakku biasa menggunakan lepek itu untuk meminum kopi. Kami menuangkan kopi kami ke dalamnya hingga hampir penuh. Satu lepek penuh kira-kira sama dengan sepertiga gelas. Fungsi lepek adalah untuk mendinginkan kopi dengan cepat, agar lidah dan tenggorokan kami dapat bersentuhan dengan minuman berwarna hitam itu sebanyak mungkin dalam waktu singkat.

Aku tidak pernah menggunakan air yang dipanaskan dalam dispenser atau yang sudah disimpan dalam termos untuk beberapa lama. Kurang panas. "Air untuk menyeduh kopi harus benar-benar mendidih, tapi untuk benar-benar menikmatinya kita juga harus mengurangi panasnya dengan segera. Pakai ini," papar bapak sambil menunjuk ke lepek-nya. Benda berbahan keramik yang berwarna putih itu mengkilat oleh tusukan cahaya lampu neon.

...

Sekarang aku berusia tiga belas tahun, dan ini tahun enam puluhan. Pagi buta memang sedang menebarkan gigilnya di tanah Jawa penghujung bulan Agustus ini. Dunia masih diselimuti kegelapan, tapi bapak sudah membangunkanku. Hanya aku. Ibu yang biasanya memasak belum bangun, pun juga tidak dibangunkan. Ini masih terlalu pagi untuk menyalakan api dan memasak, tapi bapak sudah membangunkanku. Hanya aku.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan mengikuti ajakan bapak yang lalu berjalan menuju dapur. Bapak mengambil sebuah kaleng bekas yang bagian atasnya sudah dibuang dan tepiannya dipasangi kawat. Benda itu menjadi lebih mirip dengan ember daripada kaleng, tapi ukurannya sangat kecil. Kalau diisi air, mungkin akan sama dengan banyaknya air yang diisikan ke dalam dua buah cangkir.

Bapak mencopot beberapa bagian dinding dapur rumah kami. Ya, dinding. Tahun enam puluhan, rata-rata dinding rumah di desa terbuat dari anyaman bambu. Hal ini tentu saja mencerminkan rendahnya tingkat ekonomi masyarakat di desa era ini. Akan tetapi siapa pun yang pernah merasakan pengalaman tinggal di rumah berdinding anyaman bambu dan bata lalu membandingkan keduanya, maka ada sisi postitif yang bisa diambil dari rumah pertama. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu memberi kesempatan yang lebih bebas bagi udara untuk menerobos masuk, jadi sepanas apapun siang hari terasa sejuk. Gantinya, malam hari menjadi sangat dingin.

Pagi buta yang gelap ini aku baru bisa menggunakan sebelah mataku, yang sebelah kanan. Sedangkan mata sebelah kiri masih buram. Biasanya segera hilang kalau diucek-ucek. Gedebuk! Aku terantuk sebuah peralatan dapur, entah apa.

"Sssst! Jangan berisik. Nanti ibumu bangun. Ini Bapak bikinkan kopi. Bahan bakar apinya Bapak ambil dari dinding dapur. Dindingnya jadi berlubang. Nanti kalau ibumu tanya, bilang saja kalau lubang di dapur ini dibuat kucing atau tikus besar yang ingin memaksa masuk."

Kuanggukkan kepalaku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Di bawah penerangan api tungku berbahan bakar anyaman bambu yang nyalanya semakin redup itu kuperhatikan baik-baik cara bapak menyeduh dan mengaduk kopi. "Tiga belas kali, putar ke kiri," batinku sesaat sebelum menikmatinya menggunakan lepek, bersama bapak, di dapur rumah yang kian diliput kegelapan.


Aku sama sekali tidak pernah berpikir bahwa di masa depan aku akan melakukan hal serupa dengan salah seorang anak laki-lakiku.

...

Sekarang tahun 2016, aku tidak tinggal bersama dengan bapak lagi, tapi di sebuah rumah kontrakan di kota. Pagi buta di penghujung Agustus, masih di tanah Jawa, aku menancapkan ujung seutas kabel ke colokan listrik, ujung yang lainnya sudah menancap ke heater. Tidak ada dapur yang gelap. Aku bahkan tidak perlu pergi ke dapur, hanya beranjak satu meter dari tempatku tidur untuk memasak air. Kuseduh kopiku menggunakan air yang sudah benar-benar mendidih lewat bantuan heater, lalu kuaduk tiga belas kali berlawanan arah dengan arah jarum jam. Kutuang sepertiga bagian kopiku ke lepek dan kukipasi tiga kali menggunakan tangan kanan sebelum kuteguk cepat-cepat.

Sayang sekali, aku sedang tidak bersama bapak. Aku juga masih bujang, jadi tidak ada anak lelaki yang bisa kubangunkan dan kuajak menikmati kopi dengan cara khas nan turun-temurun ini. Kubayangkan bapak di kampung sedang melakukan aktivitas serupa dan membayangkan hal serupa pula.