Hujan Bulan Juni berkisah tentang Sarwono, seorang antropolog, dosen muda FISIP-UI yang sedang menjalin hubungan cinta-kasih bersama seorang gadis muda keturunan Menado-Jawa, Pingkan namanya. Sarwono sendiri Jawa tulen, dia muslim dan berasal dari keluarga yang agak - agak abangan, sementara Pingkan beragama Katolik. Pingkan yang sudah menjadi asisten dosen di Prodi Jepang dan tersebut mendapat tugas ke Jepang untuk beberapa lama.
Latar yang diambil dalam Hujan Bulan Juni adalah seputar Jakarta-Solo-Minahasa, dan waktunya dari ketika Pingkan mendapat tugas ke Jepang itu sampai beberapa bulan ia di sana. Selain masalah perbedaan suku, budaya dan agama novel tersebut juga menampilkan sosok Katsuo sebagai orang yang keberadaannya mengancam hubungan antara Sarwono dan Pingkan.
Hujan Bulan Juni menyiratkan bahwa novel yang bagus tidak harus tebal. Serta novel yang berkisah tentang cinta-kasih tidak harus ditulis oleh anak - anak muda penggila roman. Pak Sapardi dapat menggambarkan hubungan lelaki dan perempuan yang saling menyukai satu sama lain dengan sangat baik, meskipun suasana masa muda pria yang lahir tahun 1940 itu jelas berbeda dari Sarwono. Memang, hubungan tokoh Sarwono dengan Pingkan terasa "kurang muda" kalau dibandingkan dengan novel - novel roman remaja, tapi ini berhasil ditutupi dengan latar belakang keduanya sebagai dosen dan asisten dosen. Jadi bukan remaja lagi, tapi juga tidak terlalu tua.
Meskipun begitu, di samping kepiawaian pak Sapardi membangun latar, saya pribadi merasa kurang puas dengan hadirnya Katsuo. Sosok orang Jepang itu tidak punya banyak peran yang membangun konflik dalam cerita. Ancamannya pada hubungan Sarwono-Pingkan kurang terasa karena tidak banyak digambarkan kecuali hanya sebagai dosen muda di Universitas Kyoto yang sewaktu mengenyam pendidikan tingkat master (di Indonesia) adalah seorang mahasiswa populer karena suka mentraktir teman - temannya, menyukai Pingkan dan pernah dekat dengan gadis blasteran Menado-Jawa itu.