Tahukah anda kelereng? Bagaimana sifat – sifatnya? Bagi anda yang telah akrab atau setidaknya pernah melihatnya, maka pendapat anda tidak akan jauh jauh dari keterangan saya ini. Bahwa kelereng itu berupa sebuah bola pejal yang terbuat dari bahan kaca. Jika kelereng itu dilemparkan maka energinya terkumpul di pusat. Energinya bergantung pada massa, dan kecepatannya. Energi tersebut dapat dirasakan oleh siapapun yang terkena lemparan (1), sementara area di sekitar kelereng terbang itu tidak mendapat pengaruh apapun kecuali gesekan dengan udara yang untuk mudahnya bisa diabaikan. Seperti jika teman anda melempar anda dengan sebuah kelereng, namun kelereng itu melaju tepat satu senti di depan hidung anda. Tentunya anda tidak akan merasakan sakit. Analogi ini dapat dipakai untuk memahami partikel.
Sekarang, pernahkah anda memperhatikan kelokan riak air beserta sifat – sifatnya? Dapatkah anda menjelaskan sifat – sifatnya? Dan jika ditanyakan kepada anda, dimanakah letak gelombang air yang anda amati, apa jawaban anda? Pertanyaan pertama, mungkin jawabannya sering, pernah, belum pernah atau bahkan tidak pernah sama sekali. Pertanyaan kedua bisa dijawab dengan deskripsi : Gelombang merupakan perambatan energi, tanpa disertai perambatan mediumnya (jika ada). Ciri khas gelombang adalah panjang gelombang. Sedangkan pertanyaan ketiga, nyaris tak bisa dijawab. Masalahnya, sesuai dengan definisi gelombang, posisinya tersebar dan memenuhi seluruh ruang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa partikel dan gelombang merupakan sesuatu yang berbeda.
Pada abad ke-17 Isaac Newton mempublikasikan karyanya yang berjudul Optics, Newton menjelaskan bahwa cahaya adalah partikel seperti peluru meriam yang sangat kecil, yang melaju dengan kecepatan tak hingga sehingga bias sampai pada jarak yang sangat jauh dalam sekjap mata saja. Dan jika ia menumbuk mata kita maka akan terjadi proses melihat. Pendapat ini ditolak oleh Christian Huygens, menurutnya cahaya adalah gelombang yang menjalar dengan kecepatan tertentu. Eksperimen – eksperimen selanjutnya, seperti yang dirancang oleh Thomas Young dan Augustin Fresnel, membenarkan Huygens.
Young berhasil menunjukkan gejala Interferensi dua celah, yaitu ketika cahaya disinarkan pada sebuah bidang dengan du lubang kecil berdekatan. Selanjutnya sebuah layar ditempatkan pada jarak tertentu di belakang bidang berlubang tadi. Sehingga muncullah pola gelap-terang. Dan fenomena itu hanya dapat dijelaskan dengan teori gelombang cahaya Huygens.
Namun, jika memang cahaya itu adalah gelombang seharusnya ia mempunyai suatu medium. Padahal angkasa itu hampa. Teka – teki ini membingungkan para ilmuwan selama beberapa dekade. Muncul kemudian hipotesis tentang eter (aether) (2), yaitu zat yang bisa menjadi perantara gelombang cahaya. Jika ia terbukti ada, maka ia juga sekaligus membenarkan teori mekaniaka Newtonian tentang adanya ruang mutlak-diam di alam semesta. Tapi nyatanya tidak semudah itu. Eter harus mempunyai sifat – sifat yang berlawanan. Pertama, ia harus bisa menembus semua materi lain, ini mengharuskan eter berwujud sangat lembut. Kedua, eter harus memenuhi seluruh ruang dan cukup pekat agar dapat menghatarkan gelombang cahaya.
Teori eter ini tetap dipegang teguh sampai akhir abad ke-18 meskipun belum ada eksperimen yang membuktikan keberadaannya. Sebab memang tak ada cara lain untuk memahami cahaya selain menyertakan medium eter di dalamnya. Tampil Maxwell yang melalui empat persamaan “matematis sederhana”–nya (3) mampu menggabungkan fenomena kelistrikan dan kemagnetan sehingga dikenal sebagai elektromagnetik. Ia juga mengusulkan bahwa cahaya tak lain adalah sebagian kecil dari rentang spektrum gelombang elektromagnetik. Yang terpenting, Maxwell dengan berani menyatakan bahwa gelombang elektromagnetik dapat merambat dalam ruang hampa, tanpa medium. Lagipula, kecepatanya konstan.
Tahun 1887, dua orang fisikawan Albert Michelson dan Edward Moorley merancang suatu percobaan yang nantinya dikenal dengan percobaan Michelson-Moorley. Melalui percobaannya, Michelson berusaha mendeteksi gerak relative bumi terhadap eter. Ingat, eter diasumsikan diam. Ini seperti ketika anda berusaha mengukur kecepatan kapal selam yang tengah anda tumpangi didasar samudera. Jika kapal selam anda bergerak, tentunya seoalh- olah ada arus samudera yang geraknya berlawanan arah dengan gerak kapal selam anda. Begitu pula, jika eter terbukti ada seharusnya suatu semacam “badai eter” akan terdeteksi. Karena saat itu telah diketahui bahwa bumi bergerak mengintari matahari dengan sangat cepat.
Namun sayang, percobaan Michelson-Moorley tidak mennunjukkan gejala “badai eter”. Belum puas dengan hasil itu, Michelson mengulangi percobaannya sampai beberapa kali. Mungkin saat dilakukan percobaan itu untuk pertama kalinya bumi dan eter sedang seragam sehingga seolah – olah tidak bergerak. Nyatanya, diulang berapa kali pun bumi sama sekali tidak menunjukkan gerak relative terhadap eter. Kesimpulan yang bisa diambil, eter tidak ada atau bumi memang benar – benar diam seperti yang dikatakan Aristoteles. Percobaan lain dilakukan oleh Albert Einstein, tapi gagal. Peralatan yang digunakannya meledak dan melukai tangannya. Mungkin karena itu juga lah dia menafikan konsep eter dalam teori relativitas khusus nya. Sampai di sini, kita simpulkan bahwa partikel hipotesis “eter” tak pernah ada.
Langkah besar selanjutnya dicapai oleh Max Planc pada tahun 1900, yang melalui percobaan radiasi benda hitamnya menujukkan bahwa distribusi energi gelombang elektromagnetik adalah diskontinu. Tidak kontinu berarti diskrit, diskrit berarti sepotong - sepotong meskipun potongannya sangat kecil. Dengan kata lain, cahaya yang tadinya nyaris secara sah dianggap sebagai gelombang, kini dipandang sebagai partikel. Berhenti sampai di sini? Ternyata tidak. Ada satu eksperimen lagi yang menunjukkan gejala partikel pada cahaya. Eksperimen ini dikenal dengan “efek fotolistrik”. Sederhanyanya, sebuah logam disinari dengan cahaya monokromatik (satu warna), maka elektronpun akan ditendang keluar dari permukaan logam tersebut.
Teka – teki yang membuat para fisikawan penganut teori gelombang cahaya adalah. Bagaimana sebuah gelombang dapat menendang keluar elektron dari permukaan sebuah logam? Anda bisa membayangkan, sedahsyat apapun energi yang dimiliki air laut yang sedang bertiwikrama (baca : menjadi tsunami), ia tidak akan sanggup melempar sebuah bola tinggi – tinggi. Ia hanya mampu meluluh-lantahkan beberapa bangunan yang dekat dengan tanah. Bola hanya akan terlempar ke udara jika ditendang, atau dalam kasus ini dibenturkan dengan bola lain yang memiliki energi cukup besar. Selain itu, seharusnya energi elektron yang dipancarkan dari logam itu bergantung pada intensitasnya. Jadi, misalkan satu buah lilin dapat “menendang” satu elektron hingga mempunyai kecepatan v, maka cahaya api unggun setara seribu lilin seharusnya mampu membuat elektron tersebut mempunyai kecepatan sekitar 1000v, jelas karena energinya lebih besar. Namun logika ini tidak teramati dalam eksperimen. Intensitas cahaya yang disinarkan hanya mempengaruhi jumlah elektron yang dipancarkan, bukan kecepatannya (atau dengan kata lain energi kinetiknya).
Sebuah solusi yang (lagi – lagi ) berani dinyatakan oleh Albert Einstein (4). Dalam menyikapi fenomena ini, Einstein memandang efek fotoelektrik sebagai tumbukan antara kuantum (partikel) cahaya (5) dengan elektron. Sesaat setelah tumbukan, kuantum cahaya tersebut menyerahkan sebagian energinya pada elektron untuk keluar dari atom, bahkan ia dapat melaju hingga kecepatan tertentu. Selanjutnya, ingat kembali rumusan Planck bahwa energi kuantum cahaya bergantung kepada frekuensinya. Dengan demikian, kedua masalah yang membingungkan itu dapat diselesaikan.
Terakhir, fisikawan dari keluarga ningrat Perancis, Louis de Broglie dalam tesisnya menyatakan secara tegas bahwa jika setiap gelombang punya bentuk partikel maka partikel pun seharusnya mempunyai bentuk gelombang. Agaknya hepotesis de Broglie ini akan menimbulkan kekacauan nalar. Namun hasil eksperimen difraksi berkas elektron pada tahun 1927 membenarkannya. Kesulitannya, siapa yang bisa menjawab pertanyaan : Apa sebenarnya cahaya itu? Gelombang atau partikel?
(1) Ada yang mau jadi relawan untuk mempraktekkan eksperimen ini? :)
(2) Bukan eter yang digunakan untuk obat bius.
(3) Perlu belajar kalkulus dulu sebelum mengatakan “sederhana”.
(4) Menurut saya, tidak sedemikian berani. Sebab Einstein mempublikasikan karyanya tentang efek fotoelektrik dengan judul “Tanggapan Heuristik tentang Produksi dan Transformasi Cahaya”. Kata “Heuristik”menyiratkan makna “tidak sungguh – sungguh”. Nyatanya memang dia tidak memberikan bukti eksperimental.
(5) Kuantum cahaya selanjutnya dikenal sebagai foton. Tidak hanya tu, perkembangan fisika selanjutnya menyatakan adanya kuantum gaya.
27 April 2011 pukul 00.14
saya bukan orang yg suka fisika
tapi kadang suka tercengang aja liat keajaiaban di baliknya
dan ini salah satunya