twitter


Dua minggu yang lalu Kang Mat Maut meninggal gantung diri di pohon asem di samping rumahnya. Kabarnya, ia tak kuat menanggung hutangnya pada Pak Bakil yang rentenir kelas kakap itu. Masa hutang hanya dua juta yang nunggak hingga lima bulan saja harus kehilangan tanah, rumah dan perabotannya. Itu karena Pak Bakil memanfaatkan sifat buta huruf Kang Mat Maut untuk membuat surat pernyataan yang isinya menjadikan rumah sebagai jaminan. Apabila hutang Kang mat Maut berikut bunganya belum lunas dalam waktu lima bulan maka Pak Bakil berhak merampas rumah Kang mat maut, lengkap dengan perabotannya. Begitu isi surat pernyataan itu.

Dan, entah karena para penuduk lupa melepas tali pocong Kang Mat Maut atau apa, ia bangkit dari kubur setelah tujuh hari kematiannya dan menghantui siapapun yang pernah menyakiti hatinya. Yang bersangkutan terutama Pak Bakil dikejar – kejar tiap malam. Meskipun lari mereka lebih cepat dari lompatan pocong itu, namun mereka tetap tidak nyaman.

Malam ini, jantung pak Bakil berdetak kencang. Keringat dingin sebesar biji jangung yang merembes dari sekujur tubuhnya membuatnya seperti habis mandi. Ia bersembunyi di kolong tempat tempat tidurnya yang terbuat dari spons super empuk itu. Matanya tak lepas dari ambang pintu, mengawasi setiap gerak di sana. Jangan – jangan pocong itu nyelonong masuk tanpa permisi.

Lama sekali Pak Bakil tak berkedip, tapi tak ada tanda – tanda pocong itu masuk. Ia merasa lega, nafasnya yang tertahan tanpa sadar itu membuatanya tersengal – sengal saat ia kembali normal. Ia berguling ke kanan, dari posisis miring ke posisi terlentang.

Ba! Kang Mat Maut sudah terbaring di sampingnya. Mata dan hidung  itu tertutup oleh kapas, wajah itu pucat pasi, dan pakaiannya adalah kain kafan kotor yang penuh lumpur. Spontan Pak Bakil memekik keras, lalu tak sadarkan diri.



Keesokan harinya Pak Bakil bertandang ke rumah dukun kondang Ki dhedhel Semelekete untuk meminta bantuan. Kekondangan dukun sakti ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Ia kesohor lewat layanan primbon selulernya. Ketik REG [spasi] dhedhel [spasi] NOMOR SEPATU [spasi] UKURAN CELANA kirim ke 0987, untuk mendapatkan ramalan jodoh, karir, keuangan serta kesehatan hari ini dengan tingkat akurasi 100%. (Wao!)

“Pocong itu matre, sebab ia lahir pada bulan agustus tanggal dua puluh, Leo,” jelas Ki dhedhel sebelum Pak Bakil mengutarakan uneg – unegnya.

“Tapi Ki, kedatangan saya kemari bukan untuk meramal status Mat Maut yang sekarang jadi arwah penasaran itu. Melainkan untuk memusnahkannya untuk selama – lamanya supaya tidak mengganggu saya terus,” ucap Pak Bakil dengan mengepalkan tangannya. Geram.

“Sampeyan betul angger Bakil. Tapi untuk memecahkan masalah apapun itu bentuknya, kita harus membedelnya dulu. Perlu dijelaskan sejelas – jelasnya. Paham sampeyan?” tegas paranormal itu dengan nada kalem sekalem aliran air.

Pak Bakil hanya mengrenyitkan dahi. Ia tak habis pikir dengan apa yang ada dalam kepala ki Dedel. Lha wong masalah sebesar itu kok dia tenang – tenang saja, sepertinya sepele sekali.

“Jadi, karena dia matre saya harus memberinya uang barang satu rupiah begitu? Emoh Ki! Mendingan saya dihantui setiap malam daripada harus kehilangan uang saya untuknya,” tolak Pak Bakil setengah mencak – mencak. Selain terkenal sebagai rentenir, Pak Bakil juga terkenal sebagai orang paling kikir di desanya. Bahkan, kalau ada olimpiade orang terkikir sejagad mungkin dialah yang akan menyabet tropi platina.

“Bukan begitu, goblok!” bentak Ki dhedhel Semelekete sembari meberikan jitakan mulus tepat di ubun – ubun Pak Bakil. Tangan kanannya yang dipenuhi batu akik, desain yang sangat cocok untuk menjitak kepala seorang Pak Bakil. “Maksud saya matre itu materialis, durung bisa moksa kanthi sampurna. Badan wadagnya masih belum sepenuhnya lepas dari arwahnya. Itulah kenapa dia selalu kalah lari dengan sampeyan saat sampeyan kabur,” imbuhnya.

“Lalu, saya harus bagaimana Ki?” tanya Pak Bakil sambil memegangi kepalanya, meringis kesakitan.

“Sekarang angger Bakil pulang saja dulu, nanti sore saya menyusul. Kita tangkap pocong itu bersama – sama, tepat tengah malam nanti!” tegas Ki dhedhel di sela batuknya.

“Kalau begitu saya pulang dulu Ki.” Pak bakil mohon diri buru – buru, takut kena jitakan lagi. Atau yang lebih buruk dari itu, santet.

Belum juga kaki Pak Bakil beranjak, Ki dhedhel Semelekete berdehem pertanda ada sesuatu yang kurang. Matanya menatap tajam, seolah mengikat Pak Bakil dengan kekuatan magis.

“Oh! maaf Ki Dedel, saya hampir lupa. Ini sekedar untuk beli rokok,” kata Pak Bakil dengan tergopoh – gopoh. Selanjutnya ia mengeluarkan amplop putih ukuran besar dari sakunya, nampaknya tebal. Dukun terkenal itu menerimanya dengan sesunging senyuman sinis yang membuat Pak Bakil bergidik ngeri dan segera mohon diri.

Dianggap pantas untuk membuka bungkusan, Ki dhedhel pun menyobek ujung amplop tebal itu. Ternyata isinya uang kertas kumal yang berjejalan, hampir seluruhnya bernilai nominal seribu. Ki dhedhel menggeram marah. Tapi tidak etis kalau dia tidak melayani pak Bakil lantaran sarahan-nya berupa uang receh. Itu menyalahi Undang – Undang Perdukunan pasal 28 ayat 1. Toh, kalau dihitung jumlahnya lumayan.



“Kita tunggu sampai tengah malam angger Bakil,” perintah Ki dhedhel dengan suara ngebas.

“Nggeh Ki,” Pak Bakil hanya menurut. Dia sudah pasrah bongkokan pada Ki dhedhel Semelekete.

Ki dhedhel dan Pak Bakil sekeluarga berkumpul di sebuah kamar di lantai dua rumahnya, interior gaya eropa klasik menghiasi ruangan itu. Dan itu dibeli dengan menggunakan uang jarahan Pak Bakil, uang yang didapatnya -entah dengan cara halal atau haram hukumnya di zaman sekarang ini- dari fakir miskin yang tertipu.

Jarum jam bandul di kamar atas itu hampir saling menindih dan menunjuk angka dua belas. Ki dhedhel segera duduk bersila menghadap jendela, ia melakukan persiapan kilat dengan membakar kemenyan dengan mulut komat – kamit, baca mantra. Sementara Pak Bakil yang bersembunyi di balik punggung Ki dhedhel waswas, ia seolah tahu kalau pocong Mat Maut bakal nongol dari depan.

Dan, prediksi Pak Bakil tepat. Asap putih mulai merembes keluar dari luar jendela dan sesegera mungkin memenuhi ruangan seolah kabut tipis di pagi buta. Brak! Jendela itu terbuka dengan paksa. Dan melompatlah sosok Mat Maut dari kepulan asap yang terus membanjiri ruangan itu. Sosok Mat Maut versi arwah penasaran, wajah pucat pasi bak terong rebus serta sorot mata dingin yang keluar dari timbunan kapas itu begitu menakutkan. Pak Bakil, Bu Bakil, serta anak semata wayang mereka Ibnu Jahlun, merinding seketika.

“Cepat! Keluar dan tunggu di bawah, di samping tangga,” perintah Ki dhedhel Semelekete.

“Baik Ki,” Pak Bakil menurut. Bertiga mereka keluar dan langsung berlari menuruni tangga sesuai perintah Ki Dedel.

“Iki Ki dhedhel Semelekete. Dhemit ora ndulit, setan ora doyan!” teriak Ki dhedhel lantang.

Pocong Mat Maut masih tetap tegar di tempatnya, ia menatap tajam ke arah Pak Bakil yang baru saja keluar dari kamar itu. Lalu ia melompat hendak mengerjarnya, namun Ki dhedhel lebih sigap untuk menghadang di depan. “Akulah lawanmu, pocong sialan!” Ki dhedhel berteriak sembari mengacung – acungkan kerisnya, Kyai Kere.

Sementara itu, pak Bakil sekeluarga menunggu di bawah tambah kalap. Mampukah dukun yang disewanya itu menghadapi pocong Mat Maut? Semuanya belum jelas kalau salah satu belum keluar dan menuruni tangga.

Brak! Terdengar suara daun pintu yang dibanting keras. “Aduh! Ki dhedhel itu bagaimana to? Kalau mau duel ya duel saja, tak usah merusak pintu segala. Mahal itu harganya. Dasar semelekete!” umpat Pak Bakil.

Tak lama kemudian, Ki dhedhel berlari turun diikuti Mat Maut yang melompat – lompat di belakangnya. Seperti yang terduga, lompatan Mat Maut itu kalah dengan larinya Ki Dedel. Maka Ki dhedhel yang lebih dulu sampai di bawah. Sementara Mat Maut masih melompat menuruni tangga dengan hati – hati, takut tergelincir. Dan, dengan sigap Ki dhedhel menjegal Pocong Mat Maut saat ia melompat. Walhasil, Mat Maut tergelincir dan bergulingan di tangga dan kesulitan untuk bangun karena seluruh tubuhnya terikat.

“Buka tali pocongnya, sebelum dia bisa berdiri lagi. Cepat!” pekik Ki dhedhel di sela batuknya.

Tanpa basa – basi lagi, Pak Bakil segera mendekati Mat Maut. Gunting yang sejak tadi dipersiapkannya segera diarahkan ke ikatan Mat Maut bagian kepala. Sekali gunting, tali itu putus. Mat Maut mengelepar, asap putih mulai keluar sementara tubuhnya lenyap perlahan - lahan.

Pak Bakil sekeluarga pun lega. Akhirnya, berakhirlah teror yang disebabkan oleh pocong Mat Maut. “Ha ha ha, baru seperti itu saja mau menagih hutang. Kau masih belum pantas,” ujar pak Bakil congkak.

“Itulah, kenapa saya bilang Mat Maut matre. Dia masih katutan ragaya, jadi masih bisa dipukul atau dijegal seperti tadi,” kata Ki dhedhel dengan senyum mengembang. Ia lalu menuruni anak tangga yang berjumlah dua puluh itu.

“Kamu boleh senang mengirim saya kembali ke alam baka, Pak Bakil. Tapi bagaimana dengan mereka?” tanya Mat Maut yang sekarang berujud suara tanpa rupa.

Pintu depan terbuka, kepulan asap merangsak masuk bersamaan dengan beberapa makhluk halus. Mbok Cikrak dalam wujud kuntilanak, Pak Gondrong yang dulu kurus sekarang bertubuh tinggi besar mirip genderuwo, Yu Tomblok yang punggungnya berlubang, dan lain – lain. Mereka adalah orang – orang yang semasa hidupnya menjadi korban keserakahan Pak Bakil sekeluarga.

“Maaf angger Bakil, ini diluar order saya. Daa.” Ki dhedhel buru – buru ngacir, cari selamat lewat pintu belakang. Cairan kuning pekat berbau pesing mengalir dari pangkal pahanya saat kabur, tapi ia tak peduli.

Sementara Pak Bakil mematung seketika. Kakinya bergetar dan tanpa terasa ia juga terkncing – kencing seperti Ki dhedhel barusan. Bedanya, ia tak kuasa untuk melangkahkan kakinya.

“Ampuuuun Pakdhe, Mbokdhe, semuanya,” Pak Bakil memohon.

Hantu – hantu itu begeming di tempatnya, mereka masih menatap tajam.

“Baik, baik, harta kalian yang saya rampas akan saya kembalikan pada keluarga kalian yang masih hidup. Tapi, tolong jangan ganggu kami lagi,” kata Pak Bakil memelas. Lalu ia pingsan di tempat.

Semenjak kejadian malam itu, di desa Pak Bakil tidak terdengar lagi cerita ia merampas hak orang lain. Entah kapok atau pindah ke tempat lain untuk meneruskan aksinya, tak ada yang tahu?

0 komentar:

Posting Komentar

Monggo komentar...