twitter


Dul Karim yang nyentrik itu, sekarang sedang berjalan cepat ke rumah tetangga yang jaraknya kurang lebih tiga ratus meter dari rumahnya. Dia menghadiri selamatan, tetangganya itu lima hari yang lalu mendapat cucu baru. Sekalian, dia diminta untuk memberi nama si jabang bayi. Meskipun otaknya agak - agak gimana gitu, tapi kalau masalah kosakata dia yang paling ahli, setidaknya di antara sekian banyak warga desanya yang masih belum mengenyam pendidikan tinggi. Yap, desa tempat Dul Karim tinggal itu memang terletak di puncak bukit yang terisolasi dari peradaban. Jadi wajar saja.

Seorang teman memaksa ikut kendati tidak diundang, dia mengajukan berbagai alasan yang tak dapat ditolak Dul Karim. Sebenarnya, dalam hati dia sangat keberatan kalau Dul Karim yang diminta untuk memberi nama bayi berumur lima hari itu. Sebab dia merasa lebih pintar darinya. Singkat kata, diapun akhirnya ikut.

"Saya sudah memikirkan nama yang bagus untuk anak ini. Karena dia lahir sesaat setelah hujan rintik - rintik, bersamaan dengan munculnya matahari maka saya beri dia nama Tejo. Hm, tapi kurang panjang. Sebentar, saya pikirkan dulu tambahannya..." kata Dul Karim yang langsung mengrenyitkan dahinya itu.

Sejurus kemudian temannya tadi tertawa sendirian. "Nama apa itu? Kampungan sekali," ejeknya.
Dul Karim pun membalas dengan bertanya, datar. "O. Kurang keren, begitu?"
"Ya."
"Kalau diubah jadi Niji, bagaimana?"
"Hm, sedikit lebih modern."
"Kalau Rainbow?"
"Itu yang keren! Terdengar seperti rocker."
Dul Karim mengrenyitkan kening, "Memang kamu tahu apa artinya?" tanyanya diiringi gelengan kepala si teman.
"Goblok! Tiga kata itu punya arti yang sama," maki Dul Karim tanpa rasa bersalah.

Empunya hajatan dan semua tamu yang hadir di situ pun cekikikan menahan tawa.

0 komentar:

Posting Komentar

Monggo komentar...