Sekolahku dulu adalah pondok pesantren. Tak heran jika ilmu agama yang kupelajari dari sana jauh lebih banyak daripada ilmu umum, khususnya fisika. Aku juga ingat bahwa guru - guru fisikaku bukan orang yang mampu mengajar fisika dengan baik. Dalam arti, sekurang – kurangnya seperti yang kuharapkan jauh di kemudian hari ketika aku telah mengenal fisika dengan baik.
Cara mereka mengajarkan fisika (dan kemungkinan kebanyakan guru fisika) menyiratkan kesan bahwa fisika adalah suatu upaya menghafal rumus, lalu melakukan perhitungan dengan rumus itu jika beberapa besaran yang dibutuhkan sudah diketahui. Permainannya tinggal bagaimana mengotak – atik rumus itu untuk menjawab soal ujian.
Aku ingat salah seorang guru fisikaku waktu itu menjelaskan perihal gravitasi. Beliau mengatakan sesuatu seperti ini : “Bumi dan bulan mempunyai gaya tarik yang disebut gravitasi. Itulah kenapa bulan dan bumi tidak pernah saling menjauh”. Ketika itu aku sangat kesulitan membayangkan pernyataan ini benar. Jika bulan dan bumi saling menarik, maka keduanya akan saling mendekat dan akhirnya bertabrakan, tetapi nyatanya hal itu tidak terjadi.
Ketika aku mengajukan keberatan ini, guruku menjawab dengan mengambil analogi lomba tarik tambang. Jika ada dua orang yang melakukan tarik tambang dan keduanya sama – sama kuat, maka salah satu tidak akan tertarik menuju yang lain. Gerak yang mungkin bagi kedua orang itu adalah ke sisi kiri atau kanan, yang berarti melingkar jika diteruskan.
Sesaat aku menerima penjelasan ini, tetapi kemudian muncul keberatan lain. Sebelumnya guruku menjelaskan bahwa gravitasi antara dua buah benda berbanding lurus dengan massa keduanya. Padahal massa bulan dan bumi sangat jauh berbeda, jadi analogi lomba tarik tambang itu tidak dapat dipakai. Tapi aku tidak membantah lebih jauh, sebab aku terlampau bingung. Aku justru mendapatkan jawaban atas keberatanku itu jauh di kemudian hari lewat ensiklopedia sains yang kudapatkan di perpustakaan daerah.
Begitulah, aku kemudian mempercayakan keterangan fisika yang hendak kupelajari pada ensiklopedia. Bagiku saat itu, ensiklopedia adalah jenis buku terbaik untuk dibaca ketika aku hendak memahami sesuatu, terlebih lagi fisika. Ensiklopedia menyajikan informasi ringkas namun padat, pun juga tidak memuat banyak persamaan matematis. Aku suka matematika, tetapi saat itu persamaan matematis yang digunakan untuk menggambarkan fenomena fisis sangat susah untuk dicerna.
Bicara soal ensiklopedia, perpustakaanku mempunyai beberapa koleksi ensiklopedia yang bagus. Aku meluangkan waktu setiap jam istirahat untuk membacanya, sejak aku mengenal ensiklopedia sains aku berniat mengkhatamkan koleksi perpustakaanku itu. Dikandung maksud agar aku lolos ujian nasional pada mata pelajaran fisika dengan gemilang, sebab skor try out fisika yang didapatkan kakak kelasku pada periode sebelumnya sangat rendah.
Aku segera merasa aneh dengan tindakanku itu. Bahasan yang tertulis dalam ensiklopedia itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan materi ujian nasional. Aku bahkan sama sekali asing dengan tulisan – tulisan di dalamnya. Aku membaca tulisan tentang teori relativitas umum yang disertai beberapa analogi ‘manusia pentol korek’, aku juga membaca tentang partikel elementer yang dilengkapi gambar seorang tokoh berkacamata tebal.
Saat itu aku tidak kenal tokoh ‘partikel elementer’ tersebut, namanya pun asing, karena dia tokoh fisika abad kedua puluh. Sementara nama – nama fisikawan yang sering disebut guruku di kelas adalah nama – nama orang abad kesembilan belas ke belakang seperti Faraday, Newton, Keppler dan sebagainya. Jauh di kemudian hari aku baru sadar bahwa tokoh berkacamata tebal itu adalah Stephen Weinberg semasa muda.
Kendati sama sekali tidak nyambung dengan materi yang diujikan dalam ujian nasional dan hampir sama sekali tidak paham dengan apa yang dibicarakan di ensiklopedia itu, aku justru meneruskan kegiatan membacaku. Setidaknya, ada bagian – bagian yang bisa kupahami dan terkait langsung dengan kegemaranku mengimajinasikan hal – hal berbau teknologi modern. Misalnya pada keterangan tentang plasma, dalam ensiklopedia tersebut dikatakan bahwa plasma dapat digunakan untuk memotong baja dengan mudah sebagaimana pisau panas memotong mentega, akan tetapi orang punya kesulitan dengan cara untuk mengendalikan plasma ini. Aku segera membayangkan bahwa jika aku dapat mengendalikan plasma, maka aku bisa membuat senjata sebagaimana pahlawan – pahlawan super dalam komik. Hal – hal semacam itulah yang pada giliran berikutnya memberiku semangat untuk terus membaca ensiklopedia tersebut.
Akhirnya, aku menyimpulkan bahwa fisika yang diajarkan padaku di sekolah adalah fisika yang salah. Kendati tidak mendapat banyak pemahaman berarti, tetapi dari ensiklopedia itu aku mendapatkan keyakinan bahwa fisika yang sebenarnya bukanlah fisika yang dikatakan guru sekolahku. Fisika bukanlah usaha untuk menghafal rumus yang susah, tetapi ia adalah upaya untuk memahami cara kerja “benda – benda” di sekitar kita. Dengan keyakinan itu, aku bertekad untuk belajar fisika dengan lebih serius.
Semangat yang kudapatkan dari ensiklopedia itu terus berkobar sampai sekarang, ketika aku telah menjadi mahasiswa jurusan fisika semester sembilan yang malas mengejar kelulusan karena terlalu asyik belajar...
6
komentar
Posted in
Label:
Cerita Mini,
Filsafat,
Paradoks
Pernahkah anda menyaksikan film “Predestination”? Film tersebut bercerita tentang perjalanan seorang penjelajah waktu yang cerita secara keseluruhan dapat diringkas sebagai berikut :
Seorang bayi perempuan ditemukan di depan sebuah panti asuhan dan dibesarkan di sana. Pemilik panti asuhan memberinya nama “Jane”. Jane tumbuh menjadi gadis remaja yang cerdas dan bertubuh kuat layaknya laki – laki, tetapi dianggap berkepribadian aneh sehingga tidak ada seorang laki – laki pun yang mau bersamanya. Suatu malam, Jane bertemu pria asing yang secara aneh dapat membaca pikirannya. Mereka berdua merasa saling cocok sampai singkat cerita melakukan hubungan seksual sehingga Jane mengandung. Kendati demikian, identitas si pria masih misterius. Suatu malam, pria itu berkata pada Jane bahwa ia hendak meninggalkannya sebentar, tetapi kenyataannya, Jane kehilangan dia selamanya. Pria itu menghilang secara misterius semisterius identitasnya.
Berbulan – bulan kemudian, Jane melahirkan anak hasil hubungannya dengan pria misterius itu di sebuah rumah sakit. Pasca kelahiran bayinya, dokter memberitahu Jane bahwa dia mempunyai kelainan kelamin. Rahimnya harus diangkat akibat kelahiran bayi tersebut, tetapi dia mempunyai cikal bakal kelamin laki – laki dalam tubuhnya. Karena Jane masih muda, ada kemungkinan bahwa cikal bakal itu tumbuh menjadi kelamin laki – laki sungguhan, dan dia bisa melanjutkan hidupnya sebagai seorang laki – laki. Karena tidak punya pilihan lain, maka Jane menerima tawaran sang dokter untuk berganti kelamin. Keseluruhan proses memakan waktu beberapa bulan.
Di tengah proses itu bayi yang dilahirkan Jane diculik orang, dan apapun upaya yang telah dia lakukan untuk menemukannya berbuah kegagalan. Dalam keadaan frustasi itu, Jane yang sudah menjadi laki - laki pindah ke Kota New York dan mengubah namanya menjadi “John”.
John mulai minum – minum di bar untuk meredam frustasinya. Suatu malam, John bertaruh untuk mendapatkan sebotol bir secara gratis dari bartender di bar itu jika dia bisa menceritakan suatu kisah yang dapat membuat si bartender terkesan. John kemudian mengatakan bahwa ia ingin sekali membunuh pria misterius yang sudah membuatnya menderita itu. Jadi ia terima tawaran si bartender yang kemudian mengajaknya menembus ruang-waktu, kembali ke tempat pertemuan John ketika masih menjadi Jane dan bertemu dengan si pria misterius.
Bartender itu ternyata seorang penjelajah waktu dari masa depan yang menjalankan suatu misi, yakni mencegah seorang teroris bergelar “Fizzle Bomber” untuk melakukan aksinya. Setelah memberi John sepucuk revolver sebagai senjata, si Bartender lalu meninggalkan John untuk beberapa lama, ia menembus ruangwaktu untuk kembali ke misinya, menggagalkan si teroris. Sayangnya si bartender gagal, dia hanya menemukan seseorang dengan luka bakar, hendak menggapai – gapai sebuah benda. Karena amat mengenali orang yang terbakar itu, dia lalu menyerahkan benda yang hendak digapainya, dan pergi dengan keterkejutan.
Di sisi lain, John tidak menemukan pria misterius yang ingin dibunuhnya sejak awal. Dia justru bertemu dengan Jane, dirinya di masa lampau ketika masih menjadi seorang perempuan tulen. John tahu bahwa Jane dianggap aneh dan tidak pernah mendapatkan cinta laki – laki. Pada akhirnya John mencintai Jane dan setelah berkencan, keduanya melakukan hubungan seksual yang berujung pada hamilnya Jane.
Si Bartender baru menampakkan batang hidungnya lagi ke ruangwaktu yang tidak jauh setelah itu. Ketika John dan Jane duduk berdua di bawah sebuah pohon, dia memberi isyarat pada John agar menemuinya tanpa sepengetahuan Jane. John kemudian mengatakan pada Jane bahwa dia akan pergi sebentar. Tahulah John bahwa pria misterius yang hendak dibunuhnya itu adalah dirinya sendiri yang pergi ke masa lalu. Bartender mengatakan bahwa John bisa membuat pilihan untuk menembak dirinya sendiri saat itu, tapi tidak dilakukan.
Si Bartender menyesali pilihan John itu, ia lalu menembus ruangwaktu, menculik bayi yang dilahirkan oleh Jane, kembali ke masa lalu dan menaruhnya di depan pintu panti asuhan. Ternyata bayi Jane itu adalah calon Jane dan John.
Sementara itu, alih – alih membunuh dirinya sendiri John justru menerima tawaran kedua Si Bartender, yakni untuk menggantikannya menjadi agen rahasia penjelajah waktu. Tugas utama Agen John adalah untuk menghentikan kejahatan sebelum terjadi. Pada misi ke sekian kali, Agen John gagal menghentikan bom yang hendak meledak. Bom itu sudah dimasukkan ke dalam koper khusus sehingga ledakannya tidak mengakibatkan kerusakan besar, tetapi naasnya wajah dan sebagian besar bagian tubuh Agen John terbakar.
Dalam keadaan sekarat, Agen John menggapai – gapai mesin waktu yang biasa dia gunakan untuk menjelajah. Saat itu ia melihat Si Bartender yang kemudian menyelamatkannya dengan cara mendekatkan mesin waktu itu sehingga terjangkau oleh Agen John sebelum akhirnya dia pergi dengan wajah terkejut. Agen John mengerahkan sisa kesadarannya untuk menembus waktu, kembali ke kantor tempat dia bekerja sebagai agen rahasia dan mendapat pertolongan. Singkat cerita, luka bakarnya sembuh, tetapi wajahnya harus dicangkok sehingga dia mendapat wajah baru.
Sembuh totalnya Agen John membuat atasannya menugaskannya kembali, untuk yang terakhir kali. Agen John diharuskan kembali ke masa lalu untuk menghentikan pengeboman yang dilakukan Fizzle Bomber. Dia harus menyamar menjadi seorang bartender di sebuah bar. Dari situlah dia kemudian bertemu dengan John, dirinya yang berasal dari masa lalu. Setelah mendengar cerita naas John, Agen John merasa iba dan menawari John untuk membunuh pria yang telah menghancurkan hidupnya. Jadi bartender itu adalah John dari masa depan yang lebih jauh.
Adapun Si Bartender yang pensiun itu, memilih ruang dan waktu di “dekat” peristiwa pengeboman yang dilakukan “Fizzle Bomber” untuk menikmati masa pensiunnya. Dia lalu merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mesin waktunya gagal dinonaktifkan, artinya status agen rahasia masih dia sandang. Setelah meneliti beberapa berkas mengenai pengeboman yang menjadi kasusnya, dia menyadari bahwa salah satu tempat yang menjadi lokasi pengeboman di masa depan, saat itu belum dibom. Jadi Bartender memutuskan untuk pergi ke sana dan menemukan pelakunya.
Benar saja, di lokasi tersebut Fizzle Bomber sedang duduk. Rupanya dia sudah tua, dan yang paling mengejutkan adalah bahwa Fizzle Bomber itu adalah Si Bartender yang sudah tua. Dia mengatakan bahwa dirinya melakukan beberapa aksi terorisme untuk menyelamatkan banyak nyawa. Bomber menunjukkan bukti klipping koran dari masa depan yang tidak pernah terjadi karena sudah dia cegah dengan aksi bomnya. Terakhir, dia mengatakan bahwa untuk menjadi dirinya, Si Bartender harus membunuhnya, tetapi itu tidak harus dilakukan. Mendekati akhir cerita, Si Bartender menembakkan beberapa peluru dari revolvernya untuk mengakhiri hidup Fizzle Bomber.
Awalnya saya mengira bahwa alur film “Predestination” ini dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah paradoks perjalanan menembus waktu, yakni jika seorang anak pergi ke masa lalu dan membunuh orang tuanya sebelum ia lahir. Untuk membunuh orang tuanya sendiri sebelum ia lahir, anak itu harus kembali ke masa lalu. Sementara untuk kembali ke masa lalu dia harus lahir terlebih dahulu. Akan tetapi dia belum sempat lahir karena orang tuanya dibunuh lebih dulu, dan seterusnya. Di sinilah letak paradoksnya.
Di sisi lain, film tersebut bercerita tentang satu orang yang mengalami lingkaran sejarah tanpa putus. Seseorang yang berganti kelamin dari perempuan menjadi laki – laki, kembali ke masa alalu untuk berhubungan seksual dengan dirinya sendiri sewaktu masih perempuan hingga perempuan itu mengandung dan melahirkan bayi yang ternyata adalah dirinya sendiri.
Hal ini tentu menyangkal perkiraan awal saya. Alur film ini tidaklah menyelesaikan masalah paradoks perjalanan menembus waktu, tapi justru merupakan salah satu pengejawantahan paradoks tersebut, bahkan ceritanya jauh lebih rumit daripada “seorang anak yang kembali ke masa lalu untuk membunuh orang tuanya sebelum dia dilahirkan”. Bagi pengetahuan fisika yang ada sekarang, kejadian sebagaimana kisah hidup Jane adalah sesuatu yang mustahil. Bukan karena kejadian itu belum terjelaskan oleh konsep – konsep yang ada, melainkan kejadian itu sendiri adalah paradoks. Susah membayangkan kisah hidup Jane menjadi sesuatu yang nyata, menggunakan teknologi masa depan yang canggih sekalipun. Fizzle Bomber ada karena bayi Jane ada, tapi Bayi Jane ada karena adanya Fizzle bomber.
Pertanyaannya adalah, bagaimana bayi Jane (atau Fizzle Bomber) yang pertama kali ada? Jika saja pertanyaan seperti itu bermakna...
Jane. |
John dan Bartender bertemu "untuk yang pertama kalinya". |
Bartender menyelamatkan Agen John. |
Jane dan John. |
Bartender membawa bayi Jane ke sebuah panti asuhan. |
Fizzle Bomber. |