twitter


Sekolahku dulu adalah pondok pesantren. Tak heran jika ilmu agama yang kupelajari dari sana jauh lebih banyak daripada ilmu umum, khususnya fisika. Aku juga ingat bahwa guru - guru fisikaku bukan orang yang mampu mengajar fisika dengan baik. Dalam arti, sekurang – kurangnya seperti yang kuharapkan jauh di kemudian hari ketika aku telah mengenal fisika dengan baik.

Cara mereka mengajarkan fisika (dan kemungkinan kebanyakan guru fisika) menyiratkan kesan bahwa fisika adalah suatu upaya menghafal rumus, lalu melakukan perhitungan dengan rumus itu jika beberapa besaran yang dibutuhkan sudah diketahui. Permainannya tinggal bagaimana mengotak – atik rumus itu untuk menjawab soal ujian.

Aku ingat salah seorang guru fisikaku waktu itu menjelaskan perihal gravitasi. Beliau mengatakan sesuatu seperti ini : “Bumi dan bulan mempunyai gaya tarik yang disebut gravitasi. Itulah kenapa bulan dan bumi tidak pernah saling menjauh”. Ketika itu aku sangat kesulitan membayangkan pernyataan ini benar. Jika bulan dan bumi saling menarik, maka keduanya akan saling mendekat dan akhirnya bertabrakan, tetapi nyatanya hal itu tidak terjadi.

Ketika aku mengajukan keberatan ini, guruku menjawab dengan mengambil analogi lomba tarik tambang. Jika ada dua orang yang melakukan tarik tambang dan keduanya sama – sama kuat, maka salah satu tidak akan tertarik menuju yang lain. Gerak yang mungkin bagi kedua orang itu adalah ke sisi kiri atau kanan, yang berarti melingkar jika diteruskan.

Sesaat aku menerima penjelasan ini, tetapi kemudian muncul keberatan lain. Sebelumnya guruku menjelaskan bahwa gravitasi antara dua buah benda berbanding lurus dengan massa keduanya. Padahal massa bulan dan bumi sangat jauh berbeda, jadi analogi lomba tarik tambang itu tidak dapat dipakai. Tapi aku tidak membantah lebih jauh, sebab aku terlampau bingung. Aku justru mendapatkan jawaban atas keberatanku itu jauh di kemudian hari lewat ensiklopedia sains yang kudapatkan di perpustakaan daerah.

Begitulah, aku kemudian mempercayakan keterangan fisika yang hendak kupelajari pada ensiklopedia. Bagiku saat itu, ensiklopedia adalah jenis buku terbaik untuk dibaca ketika aku hendak memahami sesuatu, terlebih lagi fisika. Ensiklopedia menyajikan informasi ringkas namun padat, pun juga tidak memuat banyak persamaan matematis. Aku suka matematika, tetapi saat itu persamaan matematis yang digunakan untuk menggambarkan fenomena fisis sangat susah untuk dicerna.

Bicara soal ensiklopedia, perpustakaanku mempunyai beberapa koleksi ensiklopedia yang bagus. Aku meluangkan waktu setiap jam istirahat untuk membacanya, sejak aku mengenal ensiklopedia sains aku berniat mengkhatamkan koleksi perpustakaanku itu. Dikandung maksud agar aku lolos ujian nasional pada mata pelajaran fisika dengan gemilang, sebab skor try out fisika yang didapatkan kakak kelasku pada periode sebelumnya sangat rendah.

Aku segera merasa aneh dengan tindakanku itu. Bahasan yang tertulis dalam ensiklopedia itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan materi ujian nasional. Aku bahkan sama sekali asing dengan tulisan – tulisan di dalamnya. Aku membaca tulisan tentang teori relativitas umum yang disertai beberapa analogi ‘manusia pentol korek’, aku juga membaca tentang partikel elementer yang dilengkapi gambar seorang tokoh berkacamata tebal.

Saat itu aku tidak kenal tokoh ‘partikel elementer’ tersebut, namanya pun asing, karena dia tokoh fisika abad kedua puluh. Sementara nama – nama fisikawan yang sering disebut guruku di kelas adalah nama – nama orang abad kesembilan belas ke belakang seperti Faraday, Newton, Keppler dan sebagainya. Jauh di kemudian hari aku baru sadar bahwa tokoh berkacamata tebal itu adalah Stephen Weinberg semasa muda.

Kendati sama sekali tidak nyambung dengan materi yang diujikan dalam ujian nasional dan hampir sama sekali tidak paham dengan apa yang dibicarakan di ensiklopedia itu, aku justru meneruskan kegiatan membacaku. Setidaknya, ada bagian – bagian yang bisa kupahami dan terkait langsung dengan kegemaranku mengimajinasikan hal – hal berbau teknologi modern. Misalnya pada keterangan tentang plasma, dalam ensiklopedia tersebut dikatakan bahwa plasma dapat digunakan untuk memotong baja dengan mudah sebagaimana pisau panas memotong mentega, akan tetapi orang punya kesulitan dengan cara untuk mengendalikan plasma ini. Aku segera membayangkan bahwa jika aku dapat mengendalikan plasma, maka aku bisa membuat senjata sebagaimana pahlawan – pahlawan super dalam komik. Hal – hal semacam itulah yang pada giliran berikutnya memberiku semangat untuk terus membaca ensiklopedia tersebut.

Akhirnya, aku menyimpulkan bahwa fisika yang diajarkan padaku di sekolah adalah fisika yang salah. Kendati tidak mendapat banyak pemahaman berarti, tetapi dari ensiklopedia itu aku mendapatkan keyakinan bahwa fisika yang sebenarnya bukanlah fisika yang dikatakan guru sekolahku. Fisika bukanlah usaha untuk menghafal rumus yang susah, tetapi ia adalah upaya untuk memahami cara kerja “benda – benda” di sekitar kita. Dengan keyakinan itu, aku bertekad untuk belajar fisika dengan lebih serius.

Semangat yang kudapatkan dari ensiklopedia itu terus berkobar sampai sekarang, ketika aku telah menjadi mahasiswa jurusan fisika semester sembilan yang malas mengejar kelulusan karena terlalu asyik belajar...

0 komentar:

Posting Komentar

Monggo komentar...