Zeno dari Elea (495 – 430 SM) seorang filsafat Yunani kuno ingin menunjukkan bahwa setiap benda yang bergerak sebenarnya tetap berada pada tempatnya. Ia menciptakan sebuah paradoks yang disebut paradoks Zeno. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Seorang serdadu melihat di seorang pemanah di belakangnya berada pada jarak 100 m mengarahkan busur kepadanya. Prajurit itu berlari menjauh, dan pada saat yang sama anak panah dilepaskan. Anak panah itu mempunyai kecepatan sepuluh kali kecepatan prajurit. Menurut Zeno, yang dibutuhkan prajurit itu agar dapat selamat hanyalah berlari dengan kecepatan tetap.
Ketika anak panah menempuh jarak 100 m dan sampai di tempat prajurit semula, ia telah menempuh jarak 10 m dan terus berlari. Saat anak panah melewati jarak 10 m itu ia telah maju 10 cm. anak panah maju 10 cm, prajurit meninggalkannya sejauh 1 cm. begitu seterusnya, prajurit itu selalu mendahului anak panah. Jarak antara keduanya terus berkurang tapi tak pernah bersentuhan. Akankah prajurit itu selamat?
Tentu saja tidak ada orang yang cukup bodoh untuk mencoba hal ini, karena prajurit tadi pasti akan menerima “ciuman” anak panah. Namun di manakah letak kesalahan pengandaian yang tampak masuh akal ini?
Mari kita analisa,
Bayangkan kecepatan anak panah (u) adalah 100 m/s, dan prajurit itu berlari dengan kecepatan sepersepuluhnya yaitu 10 m/s (dilambangkan dengan v). Hubungannya:
Dari t = 0s sampai t = 1s, jarak yang ditempuh oleh anak panah itu adalah 100 m dihitung dari tempat pemanah, sedangkan pelari sudah berlari sejauh 10 m dari tempat semula. Pada saat t = 1s sampai t = 2s, anak panah akan menempuh jarak 200 m kalau tidak ada prajurit. Tapi karena ada prajurit yang menghalangi lintasannya, anak panah itu akan menancap di tubuh prajurit dalam jarak sekitar 120 m. karena pada saat itu prajurit sudah bergerak lagi sejauh 10 m ke depan.
Ini berarti, untuk menyelamatkan prajurit itu dari anak panah yang mengejarnya waktu harus dipotong – potong. Dengan jarak yang semakin diperkecil sebanyak sepersepuluh kalinya dan kecepatan tetap, berarti waktu juga harus disusutkan sebanyak sepersepuluh kali, terus dan terus.
Jadi,
Analisa ini tidak sah, sebab kita melakukan kesalahan dalam membagi waktu. Tampak bahwa ruang dan waktu dipotong menjadi bagian – bagian yang semakin kecil. Dan prajurit itu tentu tidak dapat melakukan pelarian dengan cara seperti ini karena waktu yang berlaku di dunia nyata tidak terpotong – potong. Jika kita mengganti anak panah dan prajurit dengan dua partikel yang saling mengejar, kita akan mendapati bahwa Zeno benar. Tapi hanya sampai pada batasan tertentu, sampai waktu dan ruang tidak dapat dibagi – bagi lagi (ingat panjang dan waktu planck). Setelah itu, kita semua akan mendapati punggung prajurit tersebut ditembus anak panah.
Sekitar 2000 tahun kemudian, Sir Isaac Newton mengusulkan cara lain untuk membagi ruang dan waktu yang benar, yaitu dengan membaginya ke dalam potongan – potongan kecil mendekati tak terbatas yang sama besar. Kemudian menjumlahkannya untuk mendapatkan perhitungan yang benar. Metode ini kemudian menjadi sangat penting dalam dunia fisika, dan secara terpisah juga dikembangkan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz yang menamakannya kalkulus. (Sir Isaac Newton juga memberi nama “Science of Fluxions”, tetapi kurang populer).