twitter


Cerita ini berawal saat aku pulang dari jalan - jalan di Bookfair yang dilaksanakan di GOR UNY akhir bulan lalu. Aku yang merasa dahaga serta kecanduan kopi yang tak dapat ditahan membuatku mengharuskan diri untuk mampir di warung angkringan. Sebuah warung berbasis gerobak yang biasanya hanya ada pada malam hari. Karena gerobak itulah, pemiliknya tak harus menyewa tempat jualan. Selain itu mereka mudah berpindah tempat. Kenikmatan tiada tara kurasakan saat itu.

Dalam sepekan terakhir aku mulai membudayakan ngopi di angkringan depan toko Social Agency Baru (SAB) Ambarrukmo, sambil menghabiskan beberapa potong pisang goreng. Ya, pisang goreng adalah salah satu makanan kesukaanku. Namun kurang bijak rasanya jika aku tak mengimbanginya dengan aktifitas lain, dan bagi anak kos - kosan yang 'over perthitungan' sepertiku ini membeli makanan ringan bisa kukategorikan sebagai pemborosan. Karenanya, segelas kopi itu kunikmati sambil membaca buku sehingga aktifitas tersebut fungsional positif.

Aku telah memburu terjemahan Misykat Cahaya - Cahaya karangan Al - Ghazali selama hampir setahun, tapi usahaku sia - sia. Secara kebetulan, di Bookfair itu aku melirik sebuah buku yang pada covernya nama Al - Ghazali dicantumkan. Sebenarnya aku sudah tahu adanya buku itu dan berniat membelinya sejak masih berdomisili di Ponorogo, namun baru sekarang ada anggaran untuk membelinya. Lagipula aku juga tidak tahu kalau karya Al - Ghazali dalam buku itu adalah Misykat. O iya, aku lebih suka menyebut Al - Ghazali sebagai Mbah Jali. Agaknya peyoratif, tapi sungguh hal itu hanya berdasarkan lidah ke-jawa-anku saja dan bukan untuk merendahkan beliau.

Al - Ghazali (Mbah Jali)

Malam ini aku menghabiskan paket standar (tiga potong pisang goreng dan segelas kopi) di warung angkringan itu. Sementara tangan kananku sibuk menyuapi mulut dengan pisang sambil sesekali meneguk hangatnya wedang kopi, tangan kiriku sibuk membolak - balik halaman buku tersebut.

Well, dalam buku terjemahan itu ditulis, bahwa pada halaman - halaman awal Misykat-nya Mbah Jali mengadakan studi mengenai cahaya dalam arti fisik. Pada bab ini Mbah Jali membagi objek, dalam kaitannya dengan indera penglihatan, menjadi tiga. Pertama, objek yang tidak dapat dilihat dengan sendirinya, misalnya benda- benda gelap. Kedua, objek yang terlihat dengan sendirinya namun tidak dapat membuat obyek lain terlihat, misalnya bintang di langit dan bara api kecil. Ketiga, objek yang terlihat dengan sendirinya serta dapat membuat obyek lain terlihat, contohnya adalah cahaya matahari dan bulan, kobaran api serta lampu.

Selanjutnya dijelaskan bahwa esensi utama cahaya adalah penampakan bagi seseorang yang melihat, karenanya semua faktor 'penampakan' bisa disebut cahaya. Dalam hal ini, mata dan akal juga cahaya. Untuk mata, Mbah Jali menerangkan bahwa warna putih pada biji mata adalah faktor yang membuat "sinar mata" yang mendistribusikan sinar dan memperlemah dayanya. bandingkan dengan konsep dalam ilmu Biologi, yang berfungsi mengatur intensitas "cahaya" yang masuk ke mata adalah lensa dan bukan warna putihnya.

Menurut Mbah Jali, jika dibandingkan dengan akal maka mata manusia memiliki tujuh kelemahan, yakni :

Pertama : Mata tidak dapat memandang dirinya sendiri, sedangkan akal bisa (baca : presepsi).
Kedua : Mata tidak dapat mengenali objek yang terlalu dekat dengannya, namun  bagi akal jarak bukan masalah.(1)
Ketiga : Mata tidak dapat melihat objek di balik tirai, sedangkan akal dapat menembusnya (dengan memikirkan sesuatu yang tersembunyi di balik tirai itu).
Keempat : Mata hanya memandang permukaan luar suatu benda, sementara akal dapat menembus bagian dalamnya.
Kelima : Mata hanya dapat melihat satu sisi bagian yang ada, yakni warna dan bentuk, Sedangkan aspek lain semisal suara, panas-dingin, dan sebagainya tidak. Sedangkan akal mengatasi semua itu.
Keenam : Mata tidak dapat memahami suatu konsep, sedang akal tidak ada masalah dengannya. Misalnya dapat kita tilik dalam ilmu hitung, mata dapat melihat angka - angka tapi tidak dapat menjelaskan lebih jauh hubungan berbagai angka. Sedangkan akal dapat mengkombinasikannya, seperti melakukan penjumlahan dan pengurangan.
Ketujuh : Jauh dekatnya suatu objek mampu menipu mata sedangkan akal tidak, dalam hal ini ukurannya. Misalnya, bagi mata bintang di langit adalah kecil, tapi bagi akal seorang astronom sekalipun terlihat kecil sebuah bintang adalah besar dan bahkan lebih besar dari bumi yang kita tinggali ini.(2)

Terakhir, Mbah Jali menyebutkan bahwa dalam kaitannya dengan penglihatan mata dapat dikatakan sebagai cahaya. Namun secara relatif terhadap akal, ia tak lebih daripada kegelapan. Karenanya akal lebih layak mendapat predikat "cahaya" daripada mata.

Tapi tunggu dulu, ini masih ringkasan subbab pertama. Dua subbab selanjutnya menjelaskan tentang "cahaya" yang lebih tinggi daripada akal budi, yakni Al - Quran. Akan diterangkan juga tentang dunia yang kasat dan tak kasat mata. Sayangnya sampai di sini paket standarku sudah habis, jadi lain kali lah aku teruskan membaca dua bab itu. Komentarku, analisis Mbah Jali itu -terutama mengenai fungsi organ mata- masih sangat primitif dilihat dari sudut pandang sains modern. Namun jika kita menilik perspektif kaum intelek yang sezaman dengan beliau, kurasa penjelasan itu sangat jenius.

Huaaaaaaaahm, dah ngantuk nih. Lagian aku juga harus mempersiapkan energiku untuk mata kuliah mekanika kuantum besok pagi. Jadi, sekian dulu tulisanku...


(1) Ada satu kalimat menarik di bagian ini. Mbah Jali mengatakan bahwa akal merupakan sampel atau pola dari sebagian sifat Allah, dan sampel tersebut pasti memiliki kesesuaian dengan yang asli meskipun beleum tentu dapat dikatakan "mirip".

(2) Pada contoh yang lain, Mbah Jali menyebut suatu hadits yang memuat pengetahuan fisika. Nabi bertanya pada Jibril, "Sudahkah matahari bergerak?". Jibril menjawab, "Tidak - ya". "Mengapa demikian?" tanya Nabi. Dan Jibril pun menjawab, "Di antara jawabanku ya dan tidak ia telah bergerak sejauh jarak yang sama dengan lima ratus tahun." Terlepas dari shahih atau dla'if-nya hadits tersebut, yang jelas pada saat cerita itu muncul telah ada -setidaknya- asumsi tentang gerak -relatif- matahari yang sangat cepat. Akan lebih menarik jika kita menelitinya lebih lanjut menurut perspektif sains modern. Aku tertarik untuk mencantumkan hadits ini sebagai catatan kaki sebab sore tadi seorang kawan bertanya tentang hadits yang mengandung sains fisika.

0 komentar:

Posting Komentar

Monggo komentar...