twitter


Huaaaaaaaaaahm... Aku telah menguap sebelum menulis ini. Sebab kejadian sore tadi amat melelahkan secara mental dan cukup menguras emosi. Memang, ini blogku yang kesekian dan aku berusaha agar sebisa mungkin menghindari penerbitan curhat. Akan tetapi jika itu adalah kritik atas suatu kejadian dan bukan keluh kesah semata, kupikir tak ada salahnya.

Sebelum aku memulai cerita akan kujelaskan secara ringkas tentang kurikulum yang berlaku di perguruan tinggi, sebut saja SKS. Kepanjangan dari SKS adalah Satuan Kredit Semester yang menunjukkan beban studi seorang mahasiswa. Satu SKS nilainya sama dengan 1 jam belajar di kelas (termasuk istirahat), 1-2 jam belajar sendiri di rumah serta 1-2 jam mengerjakan tugas dari dosen.(1) Aku masih ingat bagaimana DPA-ku(2) berpidato dengan gaya bahasa yang menusuk tapi justru membuatku bersemangat. Beliau bilang, “Kalau anda tidak siap dengan sistem SKS itu, mending anda segera mengundurkan diri. Daripada anda mengalami kegagalan saat sudah berada pada semester atas. Sayang kan?”

Sempat terbesit dalam benakku untuk bertanya, apakah peraturan itu harus benar – benar dipatuhi atau tidak. Artinya sama dengan pertanyaan apakah jika kita belajar mandiri selama kurang dari 50 menit, misalnya, sudah menjadi jaminan atas ketidak lulusan kita? Namun aku yang tak begitu berminat pada formalisme ini menyimpulkan bahwa bukan aturan kaku itu yang penting, melainkan hasil yang dicapai. Tidak masalah kita belajar kurang dari porsi yang telah ditentukan, asalkan hasil akhir yang kita capai memuaskan. Hanya saja, SKS adalah standar yang umum sehingga agak mustahil mencapai nilai sempurna dengan porsi belajar kurang dari yang telah ditentukan.

Kasus berikut adalahpengalaman yang ingin kubagi dengan para penghuni dunia maya, khususnya yang berstatus mahasiswa. Ceritanya demikian, dua minggu lalu dosen filsafatku memberi tugas kelompok untuk membuat makalah dengan tema “Cara Kerja Ilmu Sosial dan Humaniora”. Itu bab terakhir dalam silabus pak dosen, jadi jadwal presentasi untuk kelompokku adalah yang terkahir. Kalau benar demikian, berarti kami masih punya banyak waktu untuk mengerjakan tugas itu.

Namun demikian, untuk mengantisipasi hal – hal yang tidak diinginkan aku segera mencari rujukan di perpustakaan fakultas. Beruntung, aku menemukan buku terbitan kampusku sendiri. Dimana pembahasan dalam buku itu terkait dengan tugas kami, cukup lengkap. Sudah begitu, untuk sekali baca waktu yang kubutuhkan tidak sampai 30 menit.

Taruhlah kita perlu waktu 50 menit untuk membacanya sampai paham, berarti sepertiga tanggungan SKS kita dalam seminggu sudah kita laksanakan. Tapi tugas itu sudah diumumkan dua minggu lalu, artinya 100 menit tanggungan SKS kita dalam 2 minggu itu dapat kita pangkas menjadi 50 menit saja. Boleh dibilang, dalam kasus ini ada diskon 50% untuk SKS mata kuliah filsafat minggu ini. Dan secara aman dapat dikatakan bahwa mahasiswa yang belajarnya kurang dari itu berarti ia telah melalaikan tanggungjawabnya sebagai ‘mahasiswa’. Kecuali -seperti yang kusinggung tadi- otaknya demikian cerdas sehingga hanya dengan sedikit belajar dapat memahami banyak hal.

Nah, kemarin tersebar info yang menyatakan bahwa batas akhir pengumpulan tugas makalah tersebut adalah kamis depan. Anak – anak kelompokku pun segera kukumpulkan untuk mendiskusikan penyusunan makalah. Pikirku, mereka sudah membaca buku yang kutemukan di perpus tempo hari minimal satu kali, syukur kalau mau mencari referensi lain. Ya, aku yakin itu karena kemarin setelah aku memberi pengumuman untuk berkumpul, salah seorang anggota kelompokku menunjukkan kopian buku itu. Aku sendiri sudah meringkasnya menjadi enam poin yang nantinya akan dijabarkan kembali dengan bahasa yang telah disepakati kelompok. Sore ini kami berkumpul di lantai satu gedung fakultasku.

Tapi, aku sangat kecewa ketika semua teman kelompokku tidak siap dengan diskusi itu. Berbagai alasan mereka ucapkan, dari yang menganggap bahwa aku berpikir terlalu jauh sampai sikap terus terang bahwa ia belum membaca tentang materi untuk tugas itu sama sekali! Yang paling konyol, salah seorang temanku ngotot untuk menyelesaikan makalah itu tanpa harus memahaminya terlebih dahulu. Akupun menjawab dengan balik bertanya, bagaimana kita dapat menulis makalah tanpa memahami apa yang akan kita tulis? Lalu aku menegaskan sanggahanku dengan menuntut penjelasan atas sebuah kalimat, poin ketiga dari ringkasanku. Jika memang benar dia dapat melakukan seperti apa yang dia ucapkan, seharusnya menjabarkan kalimat tersebut dengan bahasanya sendiri bukan hal sulit baginya. Nyatanya tidak.

Alih – alih mengikuti saranku, dia punya ide untuk menjiplak buku itu. Tanggapku, secara pribadi jelas aku lebih memilih karya sendiri daripada jiplakan. Tapi bukan itu yang kupermasalahkan. Aku ingin sebelum kami mengerjakan tugas ini, setiap anggota kelompok harus paham akan materi yang hendak ditulis, minimal intinya.

Yah, karena kalah suara akhirnya aku menuruti keinginan mereka. Seperti kondisi Madara Uchiha yang menerima usul teman – temannya untuk mengadakan gencatan senjata dengan Klan Senju.(3) Namun demikian, pikiranku tak dapat beranjak dari masalah itu sampai saat aku menggarap tulisan ini. Anganku melayang jauh ke kota tempat tinggalku, di kolong langit dimana keluargaku bernaung. Lalu kembali ke kampus.

Aku teringat ayahku yang telah keluar dari masa produktifnya namun masih harus bekerja keras untuk membiayai kuliahku. Kampusku sendiri mendapat julukan kampus rakyat, sebuah instansi perguruan tinggi yang menyediakan fasilitas belajar dengan kualitas terjamin namun biayanya relatif tejangkau. Kukatakan, hampir pasti keluarga teman – temanku itu berada pada strata menengah ke bawah. Kubayangkan, sama seperti ayahku, ayah mereka juga bekerja keras demi kebutuhan keluarga dan biaya kuliah mereka. Dan jika aku dan mereka sampai melalaikan kuliah, maka itu berarti kami telah men-dzalimi orang tua. Bahasa kakak angkatan serta motivatorku, mending kau membantu bapakmu mencangkul di sawah kalau tidak serius kuliah!

Itulah sekelumit kisah hari ini. Harapanku, banyak yang ‘datang berkunjung’ dan berkomentar untuk mendiskusikan masalah ini.




  1. Rujukan untuk bagian ini adalah syaikhuna “Wikipedia”.
  2. Dosen Pembimbing Akademik
  3. Naruto chapter 399

2 komentar:

  1. wawawaaaa.....tetep semangat yah, jangan ikutan malas kayak temen-temenmu...jangan mau diperbudak sama kemalasan....kalau mulai malas, tanyakan dlm dirimu sendiri buat introspeksi..

    "mahasiswa bukan sih?"

    yah meskipun persepsi orang tentang mahasiswa itu beda. tapi ya,,,,gitulah...

  1. Iya bi, insya Allah. Kalau inget ortu yang sudah biayai kita sampe sini, jadi semangat lagi.

Posting Komentar

Monggo komentar...