twitter


Bayi yang ditemukan terhanyut di sungai Gangga oleh Radha itu lalu diangkatnya menjadi anak. Ia menamainya Radheya yang berarti anak Radha. Adirata suaminya, ikut bergembira karena pasutri itu memang tidak punya  keturunan.

Lima belas tahun kemudian, Radheya menginjak usia remaja. Kegagahan mulai tampak dari postur tubuhnya yang kekar. Ia juga cerdas. Ini menambah kebahagiaan pasutri Adirata-Radha kendati Radheya bukan anak kandung mereka. "Radheya itu anak yang baik ya, Pakne," kata Radha di suatu sore yang cerah.

"Bune benar. Baktinya pada orang tua tidak diragukan lagi. Salah satu contoh, dia selalu bangun lebih dulu dariku. Pagi - pagi sudah menghilang, dan ketika metahari mulai meninggi ia kembali dengan beberapa keranjang penuh rumput segar. Sejak dia mulai melakukan itu, kerjaku jadi lebih ringan. Jadi sewaktu - waktu ndoro Destarastra ingin naik keliling kota naik kereta, misalnya, semuanya sudah siap." Adirata menimpali.

Perlu diketahui, Adirata adalah kusir pribadi raja Astina. Awalnya ia bekerja pada Prabu Abiyasa, dan setelah raja itu pensiun dan menyerahkan tampuk kekuasaan pada keturunannya, majikan Adirata berganti menjadi Pandhu. Pun juga, ketika Pandhu mangkat, ia bekerja pada raja berikutnya, Destarastra.

"Bune jadi ingin tahu siapa yang begitu tega membuang bayi Radheya di sungai Gangga." Terpikir oleh Radha kejadian lima belas tahun silam.

"Entahlah, yang mungkin dia bukan manusia. Singa yang kejam saja tidak akan membuang anaknya sendiri." Adirata berkata dengan mata menerawang, seolah ucapan barusan keluar begitu saja tanpa sadar.

"Pakne, bukankah jika ditelusuri ke atas, sungai Gangga itu lewat dekat ibukota kerajaan Mandura?"

"Iya, memangnya kenapa Bune?"

"Mungkin desas - desus itu benar Pakne."

"Desas - desus yang mana maksud Bune?" Adirata berubah penasaran.

"Itu, tentang Dewi Kunthi yang hamil sebelum menikah."

"Hus! Bune jangan bicara sembarangan. Dewi Kunthi itu kan permaisurinya ndoro Pandhu, kalau Bune bicara macam-macam tentangnya, Bune bisa dihukum."

"Lho, tapi kan masuk akal Pakne. Sungai Gangga menghubungkan beberapa daerah, dan yang terdekat dengan Astina ya Mandura itu. Kalau Radheya berasal dari daerah yang lebih pangkal lagi, kemungkinan besar dia bakal ditemukan orang Mandura kan?" Radha berargumen.

"Itu tidak cukup untuk membuktikan bahwa Radheya berasal dari Mandura, Apalagi lahir dari rahim Dewi Kunthi," sangkal Adirata. "Terkait hal ini, Prabu Pandhu pernah curhat padaku waktu beliau sedang dalam perjalanan melakukan inspeksi dan aku menjadi kusirnya. Beliau bercerita bahwa kedua permaisurinya Dewi Kunthi dan Dewi Madrim, adalah perempuan - perempuan baik dan berbudi luhur. Saat ndoro Pandhu menikahi mereka, keduanya masih perawan. Yah, Bune tahu lah maksudku," tambah Adirata.

"Tapi Pakne," Radha keberatan. "Teknologi zaman sekarang kan sudah canggih, bisa saja kan perempuan hamil dan melahirkan tetapi dia masih perawan."

"Alaah, itu tidak mungkin. Sudahlah Bune, kita tidak perlu membahas darimana asal - usul Radheya lagi. Bukankah kehadirannya saja sudah membuat kita bahagia. Lagipula kalau orang kerajaan sampai mendengar kasak – kusuk kita ini dan melapor pada Prabu Destarastra, trus aku diPHK, bagaimana? Kita juga kan yang rugi? Belum lagi masa depan Radheya akan terancam. Aku tidak ahu pekerjaan apa lagi yang bisa kulakukan, kalau sampai aku dipecat dari posisi kusir kerajaan."

"Ah Pakne ini! Sukanya berbelok ke mana - mana. Wong saya bicara asal - usul Radheya, kok malah ke PHK," sungut Radha.

"He he he." Adirata tertawa pelan. "Hyang Widhi mengaruniakan Radheya pada kita, seharusnya kita bersyukur dan bukan membicarakan hal - hal yang tidak penting seperti itu?"


Tak terasa percakapan mereka memakan waktu yang cukup lama. Tanpa sadar senja telah tiba. "Oh iya Pakne, ngomong - ngomong sudah mulai gelap tapi kok Radheya belum kembali ya?"

"Iya ya. Biasanya kalau main dengan teman - temannya tidak pernah sampai petang. Pakne kok jadi khawatir, coba Bune cek ke tetangga."

Sebelum yang diperintah menyanggupi, Radheya sudah muncul dengan tergopoh - gopoh. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuhnya. Matanya berbinar terang, "Maaf atas keterlambatan Dheya, Romo, Ibu," ujarnya dengan nafas terengah - engah.

"Kamu dari mana saja nak? Baru saja Ibu mau mencarimu," Kata Radha dengan nada khawatir.

"Dari... dari..."

"Tenang, ambil nafas dulu. Kamu kok seperti baru dikejar setan sih."

"Begini Ibu, saya... istana. Eh, maksud saya tadi habis dari taman di belakang istana. Saya terpukau dengan pangeran - pangeran Astina itu, Bu. Mereka belajar olah kanuragan pada seorang pendeta sakti dari Sokalima. Kalau tidak salah namanya Durna. Besok - besok, saya boleh ikut ya Bu?" pinta Radheya polos.

"Hoalah Le... Kamu itu mbok ya tahu diri. Begawan Durna itu kan orang pilihan, Prabu Destarastra membayarnya dengan gaji yang sangat tinggi untuk secara khusus membimbing para Pandawa dan Kurawa. Sementara Romo kan cuma kusir, gaji Romo tidak cukup untuk membayar Pandhita Durna." Adirata menjawab cepat.

"Tapi Mo," bantah Radheya. "Dheya ingin sekali belajar pada Pandhita Durna, terutama dalam seni memanah. Dheya bisa kok, lebih baik dari pangeran yang paling tampan itu," tambahnya sambil meniru gerakan orang membidik sasaran dengan panah.

"Pakne," Radha menyela "Niat Dheya kan baik, masa niat baik tidak mendapat apresiasi yang baik juga."

"Tapi Bune, jer basuki mowo beyo. Dan untuk hal ini aku tidak sanggup."

"Lewat cara lain kan bisa, misalnya bicara baik - baik ke ndoro Destarastra supaya anak kita boleh ikut belajar bersama anak - anaknya. Kasarnya minta beasiswa begitu."

"Alah Bune, seperti tidak tahu saja." Adirata melanjutkan kata - katanya setengah berbisik sehingga Radheya tidak dapat mendengar ucapannya. "Semenjak ndoro Pandhu meninggal dan posisi raja diambilalih oleh ndoro Destarastra, eksospol negara jadi kacau. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjamur dalam struktur pemerintahan. Jadi kita tidak bisa berharap pada dana pendidikan yang diberikan pemerintah, paling - paling masuk kantong pejabat."

Lalu Adirata berpaling pada Radheya. "Sebaiknya kamu mandi dulu le. Baumu seperti kembang setaman tuh."

Radheya kecewa dengan tanggapan yang dia diterima tidak sesuai dengan gambaran awalnya, namun ia bisa memaklumi bahwa apa yang dikatakan ayahnya itu memang benar. Sambil pergi ke kamar mandi, hatinya memberontak. Kenapa biaya pendidikan di Astina mahal dan hanya untuk anak - anak raja saja? Apa rakyat jelata tidak boleh mengenyam pendidikan? Sementara pikiran - pikiran seperti itu melayang - layang dala benaknya, sebesit ide melintas.

"Ah ya! Jika aku tak bisa mendapatkan ilmu pengajaran secara formal, maka aku tinggal mencuri saja. Toh mencuri ilmu itu tidak membuat orang yang bersangkutan kehilangan ilmunya, jadi sah - sah saja hukumnya. Aku akan ke taman belakang istana setiap hari, lalu mengintip dan mendengarkan pelajaran Pandhita Durna dari luar tembok istana. Terakhir, aku kembali ke rumah tepat waktu. Aku dapat ilmu dan Romo tidak perlu khawatir biayanya. Ide yang cerdas Radheya!" pujinya pada diri sendiri dengan tangan terkepal.

0 komentar:

Posting Komentar

Monggo komentar...