twitter



Ketika aku sedang duduk merenung di lobby fakultas MIPA, seseorang yang terlihat bingung mendatangiku. Raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia hendak mengajukan suatu pertanyaan yang membosankan.

“Maaf Mas, mau tanya. Ruang dosen di sebelah mana ya?”

Benar kan?

“Ada di lantai dua. Kamu mau cari dosen jurusan apa?” Aku bertanya balik. Entah kenapa, spontan saja pertanyaan itu meluncur dari lidahku. Basa – basi tanpa sengaja, mungkin.

“Fisika Mas,” jawabnya

“Oh, kamu pasti maba.”

“Benar. Mas sendiri, jurusan apa?”

Orang di hadapanku ini tidak akan mungkin membuat perkiraan tentangku sebagaimana perkiraanku terhadapnya, bahwa aku adalah mahasiswa baru seperti dia. Karena salahku juga (yang mengawali basa - basi), sepertinya percakapanku kali ini akan sedikit lebih panjang.

“Fisika juga.” jawabku singkat.

“Kebetulan. Semester?”

“Tiga belas,” aku menjawab dengan tenang, dan jujur. Memang, saat ini aku telah menjadi mahasiswa tingkat “legendaris”. Sampai tahun terakhir pra-DO (yaitu tahun ini) pun, aku masih harus mengulang beberapa mata kuliah. Aku, adalah anggota MAPALASSKA alias MAhasiswa PAling LAma univerSitaS ...K...A (titik – titik silakan diisi sendiri).

Tiba – tiba dia tersenyum simpul, dan tak kusangka dia melontarkan pertanyaan lancang. “Berarti Mas bego dong?”

“Ya, dalam hal mengumpulkan nilai dari dosen!”

Aku pun tersenyum simpul juga, dalam hati. Jangan dikira kalau aku akan tersinggung lantas marah - marah karena tidak siap menjawab pertanyaan seperti itu.

“Lho, bukankah nilai itu mewakili kemampuan seseorang dalam menguasai ilmu yang bersangkutan? Bukankah, kalau nilai seseorang jelek, kemampuannya juga jelek? Begitu pula sebaliknya.”

“Ha ha ha!” Gelak tawa singkatku pun membahana.

“Well, itu sama sekali tidak benar. Contoh gampangnya sangat mudah untuk diberikan, misalkan kamu sangat pandai tapi sama sekali tidak mengikuti ujian. Maka kamu punya kemampuan yang sangat bagus tapi nilaimu nol,” paparku.

Aku belajar beberapa trik ‘bagaimana berpikir’ benar dari buku – buku logika, sehingga tidak sulit bagiku untuk menemukan kesalahkaprahan masalah hiruk – pikuk kampus seperti yang tersirat dalam ungkapan orang di depanku ini. Penyetaraan “nilai” dengan “kemampuan” jelas salah.

“Kamu sudah tahu sistem belajar-mengajar di perguruan tinggi?”

Seraut wajah yang menampakkan kecerdasan terpendam itu mengangguk.

“Begini, berdasarkan aturan yang telah berlaku, seorang mahasiswa dinyatakan lulus untuk suatu mata kuliah jika dia bisa mendapatkan nilai, katakanlah, C atau yang lebih tinggi dari itu. Tentu saja label “C atau yang lebih tinggi” ini diberikan oleh dosen yang bersangkutan, meskipun berdasarkan kontrak belajar yang telah disepakati sebelumnya. Dengan praanggapan bahwa dosen tersebut tidak mempunyai cacat dalam penilaian, kita masih dapat mempertanyakan apakah porsi materi yang disampaikan si dosen sudah tepat atau belum. Misalkan hampir semua mahasiswanya mendapat nilai jelek, jangan – jangan bukan karena mereka kurang cerdas, melainkan porsi kuliahnya terlalu banyak. Sebaliknya, jika hampir semua mahasiswanya mendapat nilai bagus, jangan – jangan materi dari si dosen terlalu sedikit dan akhirnya terlalu mudah.”

“Aku yakin, rata – rata temanmu menganggap ujian nasional matematika sangat mengerikan, tapi situasinya akan berbalik seratus delapan puluh derajat jika soal – soalnya diganti matematika SD. Penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pecahan, dan sebagainya.”

“Selain itu, untuk seorang mahasiswa yang mendapat nilai jelek, kita juga masih bisa mempertanyakan apakah mahasiswa itu memang tidak menguasai materi atau sekadar tidak berminat mendapat nilai. Kemungkinan kedua memang terdengar aneh, tapi sangat mungkin terjadi. Seperti yang telah kusinggung tadi, mahasiswa yang sebenarnya pandai pun pasti akan mendapat niai jelek kalau dia sama sekali tidak mengikuti ujian, apalagi tidak pernah mengumpulkan tugas dari dosen.”

Maba itu tidak menanggapi lebih jauh, senyum simpulnya berubah kecut. Ia hanya ngeloyor pergi setelah berpamitan singkat. Kudengarkan derap langkah kakinya menapaki tangga gedung yang menghubungkan lobby dengan lantai dua itu dengan penuh perhatian.

“Well... Sampai jumpa lagi di kelas Fisika Dasar, gadis lancang,” kataku dalam hati.

2 komentar:

  1. Hahaha

    Kalau kamu di Ushuluddin, orang kayak kamu gini banyak temennya mas. Saya punya beberapa temen yang pola pikirnya juga aneh: pengen lulus 14 semester. Jadi tenang, jangan merasa ter-subalternkan.. dunia luas

    Eh, cerpennya judulnya bagus, provokatif.. tapi alurnya cuma gitu doang, leaflet banget :P

    Oya, aku punya rekomendasi buku logika bagus dari Tan Malaka, judulnya Madilog.

  1. Hehe, nggak tahu juga. Lulus cepat berarti waktu belajar di kampus lebih singkat. Itu kan jelas... Aku emang nggak niat bikin cerpen sih, jadi alurnya nggak tak urus.

    Madilog sudah jadi daftar belanjaanku, tapi belum sempat beli...

Posting Komentar

Monggo komentar...