twitter



Udara panas yang datang bersama bulan Agustus menerobos jendela kamar kos dan menerpa wajahku. Hampir pukul dua belas siang, aku masih terpaku di depan layar laptop semenjak dua jam yang lalu. Aku tengah memberi sentuhan – sentuhan akhir bagi skripsiku agar menjadi skripsi yang sempurna, menurut kriteriaku sendiri.

Pintu kamar kubiarkan terbuka lebar, awalnya kumaksudkan agar ruangan yang relatif sempit itu sedikit lebih sejuk. Akan tetapi buah pikiran itu justru memberi kesempatan bagi teman kosku, yang kebetulan kuliah di jurusan yang sama lagi seangkatan denganku, tiba – tiba masuk. Mungkin dia sudah memperhatikanku selama beberapa saat, hanya aku saja yang tidak sadar.

“Kamu nggak ke kampus?” tanyanya. Pertanyaan itu sempat membuatku bingung, sebab kalau diperhatikan raut wajahnya tidak mencermikan keinginan untuk berbasa – basi. Dilihat dari dandanannya yang rapi, dapat disimpulkan bahwa ada suatu acara tertentu di kampus yang informasi mengenainya terlewatkan olehku.

“Memangnya adal apa Min?” tanyaku pada Wagimin dengan raut muka bego. “Aku nggak ada kegiatan di kampus hari ini.”

“Lho... Kamu ini bagaimana ta? Beberapa teman kita kan tadi diwisuda. Upacara formalnya sudah selesai, sekarang waktunya menjalankan tradisi, ngasih bunga sama foto bersama.”

“Pantas saja,” kataku dalam hati. Terjawab sudah, aku tidak harus bertanya balik mengenai alasan di balik kerapian Wagimin.

“Heh, kok malah bengong. Ayoh, gek ndang ganti klambi trus mangkat.”

“Apa? Aku nggak ke kampus kok.”

“Kamu nggak mau ngasih selamat ke teman – teman kita, khususnya yang seangkatan?”

“Untuk?”

“Ya atas diwisudanya mereka semua. Tahu nggak? Teman angkatan kita bahkan ada yang menyandang gelar cum laude, dua orang lagi. Wati dan Eko, keduanya beda tipis, masing – masing selesai dengan IPK 3,79 dengan masa studi tepat tiga tahun delapan bulan dan 3,80 dengan masa studi tepat tiga tahun sembilan bulan. Baru kali ini lho, jurusan fisika kita mendapat cum laude dobel. Pantas dong dikasih selamat.”

Aku hanya menggaruk – garuk kepala mendengar penuturan Wagimin. Tiba – tiba saja kulit kepalaku terasa gatal kendati aku yakin seratus persen bahwa aku tidak berketombe.

“Kamu tahu judul skripsi Wati dan Eko?” tanyaku, kali ini dengan mimik yang lebih serius.

“Iya.” Wagimin menyebutkan judul skripsi yang sudah diselesaikan oleh Wati dan Eko, keduanya sangat panjang sehingga tidak perlu kusebutkan kembali. Ia juga tidak lupa memuji kedua teman seangkatanku yang sudah lulus itu dengan mengatakan bahwa mereka menyelesaikan tugas akhirnya hanya dalam waktu satu bulan.

Well, aku pernah mencari judul – judul skripsi yang menarik di perpustakaan pusat. Sudah ada beberapa judul yang mirip dengan punya Wati dan Eko. Seingatku bahkan hampir sama, dan kalau tidak salah, hanya obyek penelitiannya saja yang berbeda.”

“Itu nggak jadi masalah, sebab tidak melanggar aturan kampus. Selebihnya, cepat selesai kan keren!”

“Cepat lulus kan berarti masa belajar di kampus lebih singkat daripada yang tidak. Masalahnya, apakah bisa dipastikan bahwa mahasiswa yang lulus cepat itu berarti mahasiswa yang mampu menyerap pengetahuan yang sama banyak, sama berat, tetapi lebih cepat daripada mahasiswa yang tidak segera lulus? Kalau IPK kan asalnya dari kumpulan nilai, dan yang berhak memberi nilai adalah dosen. Seperti yang pernah kukatakan, nilai tinggi untuk suatu mata kuliah bagi seorang mahasiswa tidak langsung berarti bahwa mahasiswa itu betul – betul menguasai mata kuliah yang bersangkutan.”

“Haisssah! Kok malah ngajak debat. Sudah, ayo berangkat.”

Aku hanya meringis menanggapi ajakan tak sabar dari kawanku itu, dan baginya gigi – gigiku sudah menunjukkan penolakan bagi ajakannya barusan dengan jelas. Dia pun segera ngeloyor pergi.

“Dasar orang aneh! Tukang debat!” umpatnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Monggo komentar...