twitter


“Apa itu?” tanyaku pada seorang adik kelas setelah melihat sebuah “dokumen” bersampul mika berwarna merah jambu di tangannya. “Coba pinjam,” pintaku pada gadis bergigi gingsul yang masih duduk di bangku kuliah semester empat itu.

“Tugas makalah Mas. Besok jam sembilan pagi harus dikumpulkan,” katanya sebelum benda itu sempat beralih tangan.

“Oh ya? Aku kok tidak tahu. Memangnya makalah seperti apa apa yang harus dikumpulkan?” Kebetulan aku juga mengambil mata kuliah yang sama. Jadi tugas itu berlaku untukku juga. Akan tetapi kurang update perkara tugas dosen, jadi tugas penyusunan makalah itu luput dariku.

“Membuat makalah tentang perangkat listrik alamiah dan buatan. Bapak ngasih tugas ini baru kemarin,” papar adik kelasku yang lain.

“Tugas akhir, hiu kepala martil dan...” Aku membaca judul makalah bersampul pink itu. Penggal pertama judulnya sedemikian mengesankanku sehingga sampai beberapa bulan ke depan, yakni ketika aku menuliskan cerita ini, aku masih dapat mengingatnya dengan jelas.

“Ini bikin sendiri?” tanyaku.

Si gigi gingsul pun tersenyum sehingga gigi gingsulnya makin terlihat dengan jelas. Dia memahami maksud pertanyaanku itu dan hanya mengatakan “Yaaa...” untuk menjawabnya.

Setelah membolak – balik beberapa halaman, aku menyimpulkan jawaban atas pertanyaanku barusan. “Copy-paste to ternyata?”

“Tapi yang depan doang Mas! Bagian belakangnya nggak.”

Aku lalu berpaling pada semua adik kelas yang duduk di depanku. “Kalian nggak ngerasa gimana gitu dengan tugas semacam ini?”

“Gimana... Gimana maksudnya Mas?”

Well, tugas makalah itu kalau mau diseriusi sulit. Setidaknya, butuh waktu yang relatif lama untuk mengerjakannya. Menentukan tema, mencari referensi, mengutip sana-sini, merangkai kutipan sampai menjadi tulisan yang baik. Sementara kita hanya diberi waktu satu hari untuk melakukan semua itu. Ditambah lagi, kalaupun kita mengerjakan tugas makalah dengan serius pun, pak dosen paling juga tidak melakukan penilaian dengan saksama. Mengingat jumlah mahasiswa yang menerima tugas ini,  makalahnya pasti dibaca sekilas saja. Aku yakin, jatuhnya juga banyak yang copy-paste,” paparku.

“Tapi kalau tidak mengumpulkan, nanti kan tidak dapat nilai Mas,” sanggah si gigi gingsul.

“Iya, yang penting mengumpulkan, dan nama kita tercatat dalam daftar mahasiswa yang mengumpulkan tugas ini,” timpal yang lain.

Gambar 1 : Hiu kepala martil.
Aku pun diam setelah itu, mencoba melihat skema percakapan barusan melalui kerangka sudut pandang yang lebih luas. Sampai kapan “sang hyang batara” dosen akan mengarahkan mahasiswanya untuk mengejar nilai -dan bukan kemampuan, seperti itu? Sampai kapan sistem tukar nilai dengan tugas “asal kumpul” itu akan diberlakukan?

Betapa memprihatinkan!

Betapa menyedihkan!

2 komentar:

  1. wah, itu judulnya lucu baaaaangeeeet... ^_^

  1. -_-

Posting Komentar

Monggo komentar...