twitter


Beberapa jam yang lalu saya membuka - buka sebuah buku yang telah lama menghuni rak buku saya, namun belum sempat saya baca sejak dibeli (:D). Buku tersebut berjudul "Tahafut At-Tahafut (Kerancuan Kitab Tahafut)" karya Ibnu Rusyd (1126-1198 M) yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Pustaka Pelajar. Sekadar info, Tahafut At-Tahafut adalah tanggapan bagi usaha Al-Ghazali untuk menyerang para filsuf zamannya yang tertuang dalam karya berjudul "Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf)". Konon, Tahafut At-Tahafut tidak dapat menanggulangi serangan Tahafut Al-Falasifah.

Singkat kata, saya tertarik dengan satu paragraf dalam buku tersebut :
"Lagipula, apakah Allah mampu menciptakan kebulatan kosmos yang lebih kecil meskipun hanya sehasta atau dua hasta, dari apa yang telah tercipta? Dan apakah ada perbedaan antara dua kadar tersebut yang menjadikan keterisian dan kebutuhan akan tempat ada atau tiada? Sesungguhnya keterisian yang lenyap saat berkurangnya dua hasta itu lebih banyak datioada saat berkurangnya satu hasta. Maka kehampaan menjadi sesuatu yang dapat ditakar dan diestimasikan (muqaddar), padahal kehampaan bukanlah apa - apa. Bagaimana ia bisa ditakar?"

Meskipun kalimat di atas masih sangat jelas mencerminkan gaya bahasa aslinya (bahasa Arab) yang rumit, kita dapat menangkap maksud Ibnu Rusyd secara gamblang. Filsuf islam ini menyatakan ketidakmungkinan Allah untuk memperkecil ukuran kosmos (alam semesta) barang sehasta, yang kemudian dibuktikan melalui kontradiksi.

Kosmolog muslim modern mungkin tidak akan menanggapi pernyataan Ibnu Rusyd ini oleh karena telah "diketahui" secara umum bahwa alam semesta mengembang dan sama sekali berbeda dengan praanggapan Ibnu Rusyd maupun filsuf - filsuf sezaman dengannya.

Terlepas dari itu semua, menarik juga untuk mengkritisi pernyataan tersebut melalui argumen logis berdasarkan praanggapan yang sama. Setelah "diterjemahkan" dalam bahasa logis-matematis, pernyataan di atas menjadi bagian - bagian sebagai berikut :
Definisi : Ketiadaan bukan apa - apa (bukan sesuatu), maka tidak mempunyai sifat (geometris) apapun.
Aksioma : Kosmos (alam semesta) merupakan ciptaan Allah yang mempunyai bentuk bulat dengan volume berhingga.
Aksioma : Di luar tapal batas kosmos adalah ketiadaan.
Proposisi : Allah tidak mungkin memperkecil ukuran kosmos barang sehasta, atau dua hasta.
Bukti : Misalkan kosmos mempunyai volume berhingga dan berjari - jari R. Kosmos yang diperkecil sehasta berarti kosmos dengan jari - jari R-c, dengan c sehasta. Kosmos yang diperkecil dua hasta analog dengan itu. Volume kosmos "sebanding" dengan jari - jarinya. Andaikan jari - jari kosmos dapat diperkecil sejauh sehasta atau dua hasta. Maka volume kosmos yang diperkecil sejauh dua hasta (berjari - jari R-2c) pastilah lebih kecil daripada volume kosmos yang diperkecil sehasta (berjari - jari R-c). Karena volume yang hilang itu menjadi kehampaan dan kita dapat mengukurnya, maka kehampaan menjadi sesuatu yang terukur (artinya mempunyai sifat geometris tertentu). Hal ini bertentangan dengan definisi ketiadaan.

Kesimpulan yang ditarik dalam pembuktian di atas memuat masalah. Akar masalah tersebut ada pada penyusutan ukuran kosmos yang digunakan untuk mengukur ketiadaan, kendati secara intuitif nampaknya demikian. Ketika telah disepakati (didefinsikan) bahwa "ketiadaan" bukanlah apa - apa, termasuk tidak mempunyai sifat geometris apapun, maka kita tidak dapat berbicara banyak mengenai "ketiadaan" itu, termasuk menyematkan ukuran perubahan volume padanya (yang diambil dari volume kosmos pasca penyusutan). Maka tidak sah menjadikan ukuran penyusutan kosmos sebagai ukuran (pertambahan) ketiadaan. Jadi pembuktiannya salah.

0 komentar:

Posting Komentar

Monggo komentar...