twitter


Dieng, 13-14 Juni 2015

Sabtu terakhir sebelum memasuki bulan ramadhan tahun ini, komunitas bahasa inggris "Great Community" mengadakan wisata ke Telaga Dringo yang berlokasi di puncak dataran tinggi Dieng. Saya yang termasuk anggota Great Community mengikuti wisata tersebut. Gila! tempat itu ternyata sangat dingin. Apalagi pada pertengahan musim kemarau seperti ini, kami masuk kawasan dataran tinggi Dieng tengah malam.


Mendekati tempat tujuan bensin motor salah seorang teman kami nyaris habis sehingga motor itu harus didorong mendaki jalanan berbatu nan menanjak. Dalam keadaan capai dan kedinginan itu kami baru mendirikan camp. Uniknya, kami memilih sebidang kecil tanah datar di pinggir jalan beberapa ratus meter sebelum mencapai telaga, agak jauh dari perkemahan wisatawan lainnya yang bertempat tepat di tepi telaga.

Kami berjumlah sembilan orang, sehingga kami membawa dua tenda untuk keperluan camping. Sebagian dari kami mengatur agar tenda berjenis dome yang kami bawa itu berdiri kokoh, sebagian yang lain memasak makanan. Setelah makan bersama, kami segera tidur agar panorama matahari terbit esok hari tidak terlewatkan. Percayalah! Kendati saya tidur sekitar jam tiga pagi, saya tidak kesulitan untuk bangun dua jam kemudian dan kembali "aktif", karena tidak tahan dengan hawa dingin yang menyerang selama semalam suntuk. Biasanya saya menghabiskan waktu sekitar tujuh jam perhari untuk tidur.

Pemilihan tempat kemah di tepi jalan itu ternyata menguntungkan bagi sifat narsis yang kami miliki. Salah seorang kawan menemukan jalan setapak ke arah bukit yang dibaliknya Telaga Dringo menunggu, tetapi itu bukan jalur umum. Jadi kami mendapatkan pemandangan telaga yang luar biasa dari bukit yang dimaksud, sebuah latar belakang yang sangat bagus bagi citra narsisme kami.





Puas dengan foto - foto berlatar belakang khas dataran tinggi semisal kebun stroberi, perbukitan dll, kami kembali memasak makanan untuk dimakan bersama. Baru kemudian menuntaskan perjalanan yang tersisa. Jarak (geodesik) antara tempat kami mendirikan tenda dengan Telaga Dringo kira - kira hanya 500 meter, tetapi untuk mencapainya menggunakan sepeda motor jalan memutar harus dilewati, sehingga bisa jadi dua atau tiga kali jarak itu harus kami tempuh. Tepat di tepi telaga yang dinobatkan sebagai Ranu Kumbolo KW itu, kami melanjutkan pengambilan foto dengan berbagai pose.


Omong - omong, satu perntanyaan yang masih tersisa dalam benak saya sampai rombongan Great Community tiba kembali di Yogyakarta adalah nama "Dringo" milik telaga yang kami kunjungi itu. Saya menduga, barangkali nama itu dipilih karena terdapat banyak tumbuhan "Dringo" yang tumbuh di sekitar telaga. Akan tetapi sejauh saya mengamati, tidak ada satu pun Dringo yang tumbuh di tepi telaga itu.


Setelah melakukan pencarian lewat mesin pencari Google, saya menemukan bahwa ternyata ada dua versi mengenai asal - usul nama "Dringo". Pertama, nama itu diambil dari nama tumbuhan "Dringo" sesuai dugaan saya sebelumnya. Kedua, nama "Dringo" diambil dari mitos pewayangan. Bagian Cupu Manik Astagina yang bernama Dringo jatuh ke tempat itu dan berubah menjadi telaga (baca bagian paling awal dalam cerita Ramayana, yakni bagian Subali-Sugriwa menjadi kera). Saya pun mengira, asal - usul nama "Dringo" yang kedua lebih masuk akal (bukan mitosnya), sebab banyak tempat wisata di kawasan dataran tinggi Dieng dinamai dengan istilah - istilah yang akrab dengan dunia pewayangan, misalnya Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Candi Arjuna, Candi Setyaki dan sebagainya.


Well, terlepas dari itu semua, perjalanan ini merupakan salah satu pengalaman yang tidak akan terlupakan seumur hidup...

0 komentar:

Posting Komentar

Monggo komentar...