Sementara itu, alam akhirat melampu pembelahan iman dan kafir, persahabatan dan permusuhan. Sebab persahabatan adalah penyebab dualitas, dan tak ada tempat untuk sifat itu di akhirat. Yang ada di sana hanyalah penyatuan murni.
Maka ketika seseorang telah mencapai alam itu, dia akan melepaskan kategorisasi persahabatan atau permusuhan, dua hal itu tak ada lagi di sana. Dan ketika seseorang telah mencapai alam itu, dia terpisahkan dari dualitas. Maka, jika dibandingkan dengan lam tersebut, dunia fana yang dia alami sebelumnya –yang besifat mendua, penuh cinta dan persahabatan- adalah lebih rendah dan rusak. (148)
Bagaimanakah sesungguhnya Sang Kekasih? Selama masih ada cinta untuk dirimu sendiri, meskipun hanya sehelai rambut, Dia tak akan menunjukkan wajah-Nya. Maka dia tidak akan apa – apa. Kau harus benar – benar melepaskan diri dari dirimu sendiri dan dunia. Jadilah musuh bagi dirimu sendiri atau Sang Kekasih tidak akan menunjukkan wajah-Nya. Sehingga, kalau agama telah merasuk dalam hati seseorang maka ia akan tetap bersemayam hingga ia mengambil hatinya untuk Tuhan dan menjauhkan diri dari segala yang tak berguna. (149)
Ketika persahabatan Mansur degan Tuhan telah melampaui logika, dia menjadi musuh bagi dirinya dan menghancurkan dirinya. Dia berkata, “Aku adalah Yang Nyata, aku telah meninggal; hanya Tuhan yang tersisa.”
Kata – kata hanya Tuhan yang ada ini adalah benar – benar kerendahhatian dan pembudakan. Adalah congkak untuk mengatakan, “Engkau Tuhan, aku pelayan,” karena dengan ini engkau menunjukkan keberadaan dirimu, dan dualitas segera mengikutimu.
Ketika engkau berkata, “Dia Tuhan,” dalam ungkapan itu ada pula sifat mendua, karena pemakaian kata “dia” tidak mungkin, kecuali bila ada orang pertama “aku”. Karena tidak ada sesuatu pun selain Tuhan, maka hanya Dia saja yang dapat berkata, “Aku adalah Tuhan.” (150)
Segala sesuatu berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, segalanya adalah manifestasi-Nya dan obyek yang Dia kendalikan. Maka, Dia tidak berada di luar langit dan alam semesta, dan tidak pula sepenuhnya berada di dalam keduanya. Sesungguhnya langit dan alam semesta tidak meliputi Dia, melainkan Dia-lah yang meliputi mereka sepenuhnya. (153)
Ungkapan “Aku adalah Tuhan” bukan timbul dari sifat meninggikan diri. Melainkan suatu kerendahan hati yang total. Seseorang yang berkata “Aku adalah hamba Tuhan” menyebutkan dua keberadaan, dirinya dan Tuhan. Sedangkan ungkapan “Aku adalah Tuhan” berarti peniadaan diri, yakni, dia menyerahkan keberadaan dirinya pada kekosongan.
Dikatakan “Aku adalah Tuhan” bermakna : “Aku tidak ada, segala sesuatu adalah Dia. Keberadaan adalah Tuhan sendiri, aku bukan keberadaan sama sekali, bukan apa – apa.” Pernyataan ini demikian luar biasa, lebih dari pengakuan segala kemuliaan. Sayangnya, banyak yang tidak memahami. (154)
Apabila manusia ingin menemukan jalannya hanya pada makna hakiki, dia dapat memperoleh kelebihan dari bakatnya. Tanpa mengambil kelebihan dari bakatnya, dia justru akan terhalangi. Seluruh seni dan kesempurnaan itu seperti permata yang di tempatkan di belakang cermin. Sehingga wajah cermin menutupi itu semua. Siapa pun yang memiliki wajah buruk akan menghasratkan punggung cermin itu karena orang itu dapat berlindung pada kecantikan sang cermin. (157)
Penghuni neraka lebih berbahagia di neraka daripada ketika mereka di dunia ini, karena justru di dalam neraka itulah mereka memiliki kesadaran akan Tuhan. Sedngkan di dunia ini mereka tidak memilikinya. Padahal tidak ada yang lebih manis daripada kesadaran pada Tuhan. Dan kalau pikiran jernih mereka merindukan dunia, itu tidak karena dunia ini lebih menyenangkan daripada neraka. Kesadaran pada Tuhan itulah yang membuat mereka memandang dirinya mampu melakukan sesuatu yang dilandasi manifestasi rahmat-Nya. (158)