Yudhistira |
"Yayi," kata Sang Prabu membuka pembicaraan. Kalimatnya yang bernada berat mengisyaratkan akan adanya suatu masalah. Namun helaan nafasnya yang jarang mengatakan bahwa "masalah" itu tak lebih dari sekedar ujian dari Yang Maha Kuasa.
"Hamba kakang," sahut sang istri. Perempuan itu bernama Drupadi, adalah putri kerajaan Pancala yang dihadiahkan pada Yudhistira atas keberhasilan adiknya, Arjuna, memenangkan kontes memanah. "Jika kakang punya masalah, jangan ragu untuk mengutarakannya. Sebagai seorang istri paduka, hamba wajib membantu," lanjutnya.
Yudhistira menghela nafas sebentar demi untuk membuat jiwanya lebih tenang. "Begini yayi, seandainya diluar sana ada orang yang tergila – gila padamu dan telah mengatakan padaku agar menyerahkan dirimu, tanpa peduli dengan atau tanpa perlawanan, apa gerangan yang hendak kau lakukan?"
Drupadi agak terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tahu dan paham betul watak suaminya, barangkali kata "seandainya" itu hanya untuk memperhalus bahasa saja. Barangkali memang benar - benar ada yang menginginkan dirinya. Sungguh aneh jika seorang istri diminta oleh orang lain lantas suaminya merelakannya begitu saja. Namun begitulah Yudhistira yang terkenal berdarah putih, tak pernah merasa memiliki. Apapun yang diminta orang lain darinya termasuk istri, pasti akan diberikan.
“Kakang sendiri bagaimana? Apa kakang rela aku diambil orang dan dipaksa untuk menghianati cinta suci kita?” tanya Drupadi memastikan. Sekalipun ia tahu apa yang akan dikatakan suaminya, namun ia ingin mendengarnya langsung.
“Apapun yang dipahami orang – orang sebagai “milikku” sejatinya bukanlah milikku, melainkan titipan dari Yang Maha Esa. Apakah kita bisa protes jika suatu saat Dia mengambil titipan-Nya kembali? Kurasa tidak. Soal apakah Dia mengambil dengan cara paksa atau halus dan menyakitkan atau tidak itu tergantung dari cara manusia menyikapi. Namun yayi, rasanya tak bijak kalau dalam perkara ini aku memutuskannya sendirian, lantaran kau juga punya hak untuk memilih.”
“Aku sudah menduga kalau kakang akan berkata demikian. Jika ini sudah menjadi kehendak-Nya, apa yang bisa aku lakukan? Aku bersedia kakang. Namun ketahuilah, sampai mati pun aku tidak akan pernah menghianati cinta suci kita. Orang itu boleh memiliki tubuhku, tapi tidak cintaku,” jawab Drupadi mantab, berusaha untuk mengimbangi “darah putih” suaminya.
Malam berikutnya, yudhistira telah bersiap. Itulah saat dimana ia harus berpisah dengan sang istri. Pintu diketuk, tapi teryata yang muncul adalah Bima. Ia datang dengan alasan ingin mengajak kakaknya begadang lantaran tak bisa tidur. Padahal sebenarnya ia tahu ada yang tidak beres. Kemarin sore ia mendengar kasak – kusuk para kurawa tentang Drupadi. Meskipun Bima tidak tahu dengan jelas apa masalahnya, tapi kalau berhubungan dengan kurawa hampir dapat dipastikan kalau itu niat jahat. Dan ia hendak menggagalkan rencana itu dengan caranya sendiri. Sebab jika ia mengkonfirmasi langsung pada Yudhistira, hanya kekecewaan yang akan ia dapatkan. Kakaknya itu seolah justru membela para kurawa.
Akhirnya penculikan Drupadi malam itu tak jadi dilakukan. Utusan Kurawa yang ditugasi untuk membawa Drupadi diam – diam, tidak bisa masuk. Adanya Bima yang mengawasi tempat itu bisa menjadi masalah serius. Menurut pengalaman, siapapun yang berurusan dengan Bima, jika ia berada pada posisi yang salah maka ia akan menemui ajal dengan sangat mengenaskan. Yudhistira menyadari hal ini, ia pun menyarankan pada Kurawa agar utusan mereka masuk lewat pintu belakang. Jika Bima datang lagi maka ia akan berusaha untuk membuatnya lengah.
Dan benar, pada kesempatan lain setelah larut malam utusan itu datang lagi. Kali ini ia lewat pintu belakang sesuai rencana. Namun Bima tentu saja tidak sebodoh itu, kemungkinan ini telah diantisipasi dengan menyuruh anaknya, Gatotkaca, bersembunyi di balik mendung untuk mengawasi istana Indraprastha dari langit. “Jangan sampai ada sekor tikus pun yang masuk!” perintah Bima.
“Lalu romo, jika penyusup itu masuk apa yang harus saya lakukan?” tanya Gatotkaca.
“Hmm, benar. Pakdhemu itu pasti akan membela Kurawa. Dia pikir dengan menyerahkan semuanya pada Yang Kuasa, kejahatan akan sirna begitu saja. Romo pikir itu keliru, doa penting tapi usaha tidak boleh ditinggalkan. Selama kita benar, kita berhak melawan sampai titik darah penghabisan.”
“Jadi?” sela Gatotkaca.
“Begini, kita biarkan dulu penyusup itu masuk dan menculik kang mbok Drupadi. Seharusnya dia membawa tempat barang atau semacamnya agar tidak begitu mencolok. Kau masuklah ke wadah itu tanpa sepengetahuannya. Ambil budhemu dan sembunyikan dalam cincin, gunakan kesaktianmu untuk melakukannya. Setelah si penyusup membuka kotak itu di depan majikannya, jangan tanggung – tanggung, langsung mengamuk. Ngerti kowe Tot!?”
“Wah, tak biasanya romo bicara terlalu banyak. Tapi aku suka bagian terakhirnya, mengamuk tanpa – tanggung – tanggung.”
Bima menang, rencananya lah yang berjalan mulus. Penyusup itu yakin yang dia masukkan ke dalam peti semalam adalah Dewi Drupadi. Namun begitu sampai di depan Dursasana sang majikan dan membukanya, Gatotkaca yang keluar. Tanpa pikir panjang lagi ia langsung membabi buta, apapun yang ada di hadapannya diterjang. Sebagai penutup ia hantamkan lengan kirinya ke tanah setelah merapal mantra aji brajamusti. Dalam waktu singkat rumah Dursasana runtuh seperti habis kena gempa 10.0 skala richter. Puas mengamuk, ia pun langsung terbang kembali ke Indraprastha.
Ketika Gatotkaca telah tampak dari kejauhan, Bima menyambut dengan senyum yang agak dipaksakan. Sifat kaku menahannya untuk tersenyum lebih lebar. Sementara hatinya bangga akan dua hal, anak yang dapat diandalkan dan peristiwa yang dapat digunakan untuk menjatuhkan presepsi integralisme kakaknya. “Dengan kejadian ini saya harap mbarep bisa berubah pikiran. Kepasrahan total pada Tuhan tanpa adanya usaha hanya akan membuat kejahatan merajalela. Mbarep bisa bayangkan sendiri jika saya dan Gatot tidak membantu, kang mbok Drupadi pasti sudah dijadikan mainan oleh Kurawa sialan itu.”
“Adikku yang baik,” jawab Yudhistira, “Apakah kau pikir bantuanmu itu murni darimu?“
“Maksud mbarep?” tanya Bima tak mengerti.
“Sederhana. Apakah kau pikir bantuanmu itu lepas dari kehendak Tuhan?”
“Eh!” Bima tercekat.
“Tidak ada sesuatu pun yang lepas dari kehendak-Nya. Kata – kata kita, pilihan – pilihan kita, jalan hidup serta takdir kita berada dalam naungan kehendak Hyang Widhi. Jangan kau berpikir bahwa ‘usahamu’ itu benar – benar ‘usahamu’ dan terlepas dari kehendak-Nya. Kita tak dapat merubah takdir, kita hanya tak tahu takdir kita secara pasti. Ketidakpastian inilah yang oleh banyak orang dipahami sebagai ‘Manusia yang berusaha, sedangkan Tuhan yang menentukan.’ Jika ada orang yang berkata bahwa takdir itu dapat dirubah, itu berarti pemahamannya akan Tuhan masih belum benar seratus persen menurut ukuran makhluk. Ya, kita hanya dapat menggunakan ukuran makhluk, karena mustahil seseorang dapat mencapai ukuran Tuhan,” kata Yudhistira sambil berlalu.